Skip to main content

Banyak Hal Tentang Cirebon Bisa Dituliskan Secara Ringan


HAL yang kecil biasanya diabaikan dan dibiarkan berlalu begitu saja. Entah itu karena tidak penting, tidak berbobot atau memang remeh temeh. Tapi bagi seorang penulis dan wartawan, sebenarnya tidak ada hal yang kecil. Sebab, besar kecilnya sesuatu adalah sejauh mana daya nalar dan wawasan orang yang melihatnya.

Satu peristiwa kebakaran bisa jadi kecil jika dilihat hanya sebagai peristiwa kebakaran. Tapi peristiwa kebakaran menjadi sangat besar jika kita bisa membongkar konspirasi pemerintah dan pengusaha di balik kebakaran tersebut. Kira-kira contohnya demikian. Jadi yang membuat besar dan kecilnya nilai tulisan bukan pada fenomenanya, tapi pada seberapa tajam pandangan kita terhadap fenomena tersebut.

Seorang teman yang baru saya kenal, M Anis Hilmi, ngobrol barang sejenak di lobi kantor. Dia bercerita tentang banyaknya hal-hal kecil yang belum dituliskan secara menarik. Hal-hal kecil tersebut dia katakana menjadi menarik karena mempunyai nilai kelokalan dan keunikan yang tak terdapat di daerah lain. Dia contohkan seperti pedagang daun pisang di Pagongan.

Pedagang bagi kebanyakan orang adalah fenomena kehidupan yang biasa. Dia berdagang, lalu ada yang membeli barang dagangannya. Begitu. Tapi pernahkah berpikir bahwa orang yang berjualan adalah manusia-manusia ulet yang berjuang untuk menafkahi keluarganya. Mereka berjualan barang yang secara nalar tidak 'menjual': daun pisang. Tapi toh usaha tersebut sudah berlangsung puluhan tahun dan ada saja orang yang datang ke situ untuk membeli.

Sejarah perdagangan daun pisang di Pagongan pun menjadi sudut pandang menarik untuk ditulis. Begitu pun dengan kukuhnya usaha para pedagang untuk bertahan hidup. Siapa saja pelanggan yang kerap membeli daun pisang di Pagongan? Dari daerah mana dan untuk apa saja? Saya kira juga menjadi pertanyaan yang tepat untuk mendapatkan data tulisan yang menarik.

Bagi saya, sesuatu yang unik dan menarik adalah sebuah surga bagi tulisan-tulisan ringan semacam feature ataupun essai. Dan seringkali yang unik tersebut bersifat amat lokal dan kecil. Hingga nyaris tak terlihat. 

Ataupun sesuatu yang sudah amat lumrah. Sehingga sangking lumrahnya membuat orang nyaris melupakan sisi lainnya yang lebih menarik.

Cirebon dengan kekayaan budaya dan keanekaragaman penduduknya mengandung banyak hal menarik tersebut. Dengan begitu, segala hal yang berkaitan dengan Cirebon atau kecirebonan akan selalu menarik jika dilihat dari kacamata yang lebih tajam, cerdas, fresh dan ringan.

Jadi, tidak perlu lagi mengungkap Cirebon dengan cara yang (seolah-olah) serius dan besar, toh yang ringan akan selalu seksi dan menggoda untuk dibaca. Dan belum tentu yang ringan itu tak berarti dan sia-sia.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...