SELALU saja ada yang menarik saat saya mencoba untuk ngobrol dengan para penjaja makanan di pinggir Jalan Raya Cirebon-Indramayu. Kemarin, sekitar jam setengah lima sore, saat tenaga matahari mulai melemah, saya dan istri yang sedang hamil jalan-jalan sore sambil mencari sekadar cemilan.
Baru saja berangkat dari rumah kami di Desa Kapetakan dan
melewati Kreteg Kembar langsung masuk
daerah Desa Grogol, sebuah tenda kecil tempat jualan srabi (sorabi) di pinggiran jalan raya berhasil menarik perhatian. Kue
klasik seperti srabi di zaman serba
instan ini bagi kami seperti eksotisme pulau Prawan. Antik.
Lidah yang terbiasa makan makanan berbungkus menarik pada
akhirnya kangen juga mencicipi srabi yang
sudah mulai langka itu. Begitu motorku berhenti tepat di samping penjual srabi,
belum juga pantat bergeser dari jok, si pedagang srabi langsung menyergap
dengan sapaan yang khas wong loran.
“Gage mumpung masih anget, Dek,” katanya dengan penuh rayuan.
“Gage mumpung masih anget, Dek,” katanya dengan penuh rayuan.
Aku hanya senyum tipis sambil di dalam hati merasa
tersanjung penuh penghormatan. Bayangkan saja, belum apa-apa sudah dikasih
senyum dan diinformasikan ada srabi yang masih hangat. Wah, istimewa sekali
rasanya sore hari makan srabi hangat.
Saya pun memesan beberapa srabi padanya, tiga srabi merah,
tiga srabi putih dan satu srabi spesial pake
telor. Sambil menunggu srabi dibuat, saya tertarik untuk mengamati dengan
seksama cara perempuan paruh baya ini membuat srabi. Sepintas kulihat adonannya
'tidak pelit'.
Dia bikin dengan campuran irisan buah kelapa yang cukup banyak. Mudah saja menilai srabi enak atau tidak. Kalau kelapa yang ada pada adonannya sedikit hampir pasti srabi akan terasa kurang enak. Kurang gurih dan kurang menggigit.
Dia bikin dengan campuran irisan buah kelapa yang cukup banyak. Mudah saja menilai srabi enak atau tidak. Kalau kelapa yang ada pada adonannya sedikit hampir pasti srabi akan terasa kurang enak. Kurang gurih dan kurang menggigit.
“Tenang bae, Dek, kien
kih bahan adonan e bagus. Beras bagus. Dijamin pulen. Bli kaya kang sejen e,” katanya
mempromosikan dagangannya.
Temanku pernah bilang, begitulah marketing gaya orang-orang Cerbon.
Mereka para pedagang Cirebon memasarkan dagangannya dengan bahasa yang lugas
meyakinkan seolah-olah lawan bicara adalah orang dekat. Sepertinya sudah akrab.
Gaya penuturannya pun tanpa sungkan sedikitpun.
Jangan heran bila mereka tiba-tiba saja menanyakan tempat
tinggal, tetangga, keluarga, paman, bibi, nenek, kakek dan ujungnya adalah menarik
kesimpulan bahwa antara dia dengan sang pembeli yang baru dikenalnya itu masih
saudara atau paling tidak orang dekat atau sama-sama dekat dengan yang dia
kenal.
Atau paling paling tidaknya lagi adalah sama-sama kenal dengan orang yang dikenal banyak orang.
Atau paling paling tidaknya lagi adalah sama-sama kenal dengan orang yang dikenal banyak orang.
Inilah cara pedagang menanamkan keterikatan pembeli dalam ilmu marketing tradisional Cirebon yang masih diamalkan hingga hari ini.
Kelebihannya gaya seperti ini tampak natural, tidak kaku dan dibuat-buat
seperti pelayan di swalayan. Jual beli tidak melulu hanya sebagai transaksi
murni melainkan di dalamnya ada interaksi.
Interaksi inilah yang membuat pedagang maupun pembeli, selain mendapat apa yang mereka inginkan, juga menjadi semakin pintar. Sebab, interaksi semacam ini bisa membuka wawasan-wawasan baru. Kelemahannya, bila harga yang ditawarkan tidak seduluran maka pelan tapi pasti orang akan meninggalkannya.
Interaksi inilah yang membuat pedagang maupun pembeli, selain mendapat apa yang mereka inginkan, juga menjadi semakin pintar. Sebab, interaksi semacam ini bisa membuka wawasan-wawasan baru. Kelemahannya, bila harga yang ditawarkan tidak seduluran maka pelan tapi pasti orang akan meninggalkannya.
Sambil mengupayakan diri untuk berbincang dengan
pelanggannya, dia pun menuangkan adonan srabi ke dalam wajan tembikar dengan
gesitnya. Di bawah wajan nampak nyala api keluar dari kayu-kayu kecil. Nyala
apinya sedang, tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar. Tungku yang juga
terbuat dari tembikar membuat api sama sekali tak terpengaruh angin.
Srabi yang sudah matang kemudian dia angkat dengan spatula kecil. Untuk menahan wajan tetap stabil, dia menggunakan semacam garpu besar bergigi dua. Alat itu digunakan untuk menggapit wajan dan menahannya tetap stabil saat perempuan yang mengenalkan diri dengan nama Bi Surini itu mengambil srabi yang sudah matang.
Yang mengagetkan adalah saat Bi Surini mengatakan dengan
bangganya bahwa alat penjepit wajannya itu merupakan benda berharga baginya.
Alat itu merupakan warisan turun temurun dari pendahulunya yang juga jualan srabi. Dia tak menyebutkan persis berapa generasi sudah yang berjualan srabi seperti dia. Mungkin itu hanya sesumbar tapi mungkin juga benar jika melihat betapa penjepit itu sudah kelihatan hitam pekat, tanda sering berciuman dengan kerak srabi.
Alat itu merupakan warisan turun temurun dari pendahulunya yang juga jualan srabi. Dia tak menyebutkan persis berapa generasi sudah yang berjualan srabi seperti dia. Mungkin itu hanya sesumbar tapi mungkin juga benar jika melihat betapa penjepit itu sudah kelihatan hitam pekat, tanda sering berciuman dengan kerak srabi.
Di dalam hati, tentu saja saya menertawakannya. Bagaimana
mungkin orang tua terdahulu, nenek buyutnya itu lebih memilih mewariskan
penjepit srabi dibandingkan sesuatu yang lebih berharga? Bisa jadi memang
demikian dan aku yang salah. Tapi bisa jadi juga sebenarnya tukang srabi sedang
menciptakan mitos tentang penjepitnya itu.
Mitos penjepit yang diturunkan secara turun temurun tersebut
bisa menjadi legitimasi bagi dia sebagai penjual srabi yang memang sudah teruji
zaman. Hanya penjual srabi yang berkualitas sangat baik dan istimewa saja yang
bisa bertahan di tengah gelombang perubahan zaman. Dan dia memilikinya. Ini
seperti persis seperti kisah tongkat Nabi Musa saja.
Setelah selesai semua srabi pesananku dibuatnya, dia pun
menghitung harga, srabi putih seribuan tiga jadi tiga ribu, ditambah tiga srabi
merah seribu lima ratusan jadi tujuh ribu lima ratus, ditambah srabi telor jadi
sebelas ribu. Murah banget, pikirku. Setelah saya makan rasanya pun tak
mengecewakan.
Kalau anda ingin mencicipi srabi yang enak, murah sekaligus
yang mencerahkan dan mengandung banyak pengetahuan, saya sarankan sesekali
untuk plesiran ke Cirebon dan mampir ke Desa Grogol Kecamatan Kapetakan
Kabupaten Cirebon.
Tapi saya sarankan jangan ke situ saat pedagangnya sedang kecapekan. Sebab pasti dia tidak jualan. Bukan tanggal merah atau hari kejepit nasional yang membuatnya libur tapi masalah otot dan encok saja yang membuatnya tak menggelar dagangannya.***
Tapi saya sarankan jangan ke situ saat pedagangnya sedang kecapekan. Sebab pasti dia tidak jualan. Bukan tanggal merah atau hari kejepit nasional yang membuatnya libur tapi masalah otot dan encok saja yang membuatnya tak menggelar dagangannya.***
Comments
Post a Comment