![]() |
Sumber foto: merdeka.com |
SEJAK kemarin saya melihat banyak sekali perayaan dan hiruk pikuk seputar Hardiknas. Di
seluruh daerah digelar apel dan mendengarkan pidato tentang tema pendidikan. Dari
berita seorang teman, yang istimewa di Kabupaten Kuningan, panitia membuat
acara khusus setelah apel dan di dalam acara tersebut ada satu acara yang cukup
menggelitik, meski sedikit konyol.
Tiba-tiba saja seluruh orang di acara tersebut diwajibkan
membaca selama 10 menit. Sontak semua orang membaca apa yang bisa dibaca,
kebanyakan koran, yang memang disediakan panitia. Tapi yang menarik dari adegan
sepuluh menit tersebut adalah nikmatnya melihat beberapa orang (bisa dihitung
dengan jari) yang memilih tidak membaca koran. Mereka lebih suka membaca buku yang mereka bawa sendiri.
Adegan mengeluarkan buku dari tas, kemudian membacanya
barang sejenak, bagi saya adalah pemandangan langka, setidaknya di negeri ini. Negeri
yang indeks minat membaca masyarakatnya nungsep,
hanya mencapai angka 0,001. Artinya, jika ada 1.000 orang di negeri ini, hanya
ada satu orang saja di antaranya yang membaca. Maka tak heran jika Mohamad
Sobary menyebut masyarakat negeri ini sebagai “umat yang jarang membaca”.
Benarkah demikian rendah tingkat literasi masyarakat Indonesia? Terutama para pelajar dan mahasiswanya?
Saking penasarannya, saya kerap kali mengamati tingkah polah
pelajar dan mahasiswa di sekitaran. Seringkali saya juga mengajak mereka
diskusi tentang litrasi. Beberapakali juga saya berbincang dengan anak-anak SMA
yang saya temui di berbagai acara pelatihan jurnalistik maupun yang ikut
mengelola rubrik di koran.
Hasilnya, mayoritas dari mereka menjawab hobi dan seringkali
membaca buku. Bahkan, mayoritas pelajar SMA yang saya ajak ngobrol mengatakan
bahwa dia membaca buku paling sedikit satu jam sehari.
Tralala.. betapa
terkejut saya ketika baru paham bahwa “buku” yang mereka maksud adalah sebentuk
lembaran tugas yang lazim disebut “LKS” dan sebuah “buku paket” untuk menyebut
buku pelajaran sekolah.
Saat saya tanya buku apakah yang terakhir kalian baca? Selalu
jawabannya adalah buku biologi, buku kimia, buku fisika, dan lain-lain
sebagainya. Dalam bayanganku, buku-buku semacam itu tidak masuk hitungan buku.
Entah UNESCO atau Ahmad Sobary mengartikan buku dengan pengertian yang mana?
Tapi yang pasti, saya berpendapat bahwa LKS dan buku paket sama sekali bukan
buku. Mereka berdua lebih mirip rangkuman dan lembar tugas.
Mau diakui atau tidak, nyatanya generasi kita sudah kadung “dibentuk”
untuk menuruti logika tertentu yang jauh dari kehidupan nyata. Mereka terbiasa
belajar tentang kehidupan dari pelajaran di sekolah yang mengkotak-kotakkan
realitas. Alih-alih bisa memahami kehidupan, pendidikan kita semakin menjauhkan
alam pikir manusia dari realitasnya. Kabur
mawur.
Pendidikan demikian hanya akan menghasilkan manusia yang pandai
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kehidupan seperti “apa” dan “bagaimana”? Bukan
pertanyaan yang kritis, manusiawi dan reflektif seperti “kenapa”?
Hasil akhir dari masyarakat yang jarang membaca dan sistem pendidikan
yang pabriksistik adalah manusia-manusia yang kaku dalam menghadapi kehidupan.
Manusia kering tanpa empati. Penuh dengan rasa penasaran tapi minim emosi dan
kepedulian. Manusia yang abai dengan kondisi masyarakat dan manusia lain yang
ditimpa kemalangan. Manusia biner, yang melihat segala sesuatu dari kacamata
hitam dan putih, salah dan benar. Duh.
Setelah berbincang dan berdialog dengan mereka, anak-anak
SMA dan para mahasiswa, saya kemudian mengajukan alternatif-alternatif buku
yang perlu mereka baca. Salah satunya dan yang utama adalah sastra.
Sastra bagi
saya adalah ketidaksetujuan. Kita perlu banyak mendapat banyak ketidaksetujuan
untuk bisa mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang kehidupan. Sastra juga
adalah warna. Pelajar kita perlu mengetahui alternatif dan cara yang berbeda
memandang dan menyikapi kehidupan yang tidak sederhana.
Sastra juga melatih
empati dan seringkali membuat kita memahami perbedaan dengan berlatih merasakan
secara imajinatif menjadi orang lain, di tempat lain, komunitas dan cara
pandang yang berbeda.
Kedua, pelajar kita perlu dikenalkan pada buku-buku yang
membahas lebih banyak hal secara mendalam dibandingkan dengan mengenalkannya
pada buku “rangkuman” yang berisi bahan-bahan untuk menghadapi ujian.
Pelajar
kita perlu disadarkan bahwa buku dan pengetahuan itu bukan doktrin tapi sesuatu
yang membebaskan. Buku itu bukan yang memberikan kita batasan tapi yang
memberikan keluasan. Pada akhirnya, buku adalah kehidupan itu sendiri.
Ketiga, pelajar dan mahasiswa sepertinya perlu dikenalkan
dengan komunitas-komunitas yang menunjang hobi, minat dan ketertarikannya masing-masing.
Belajar dengan komunitas akan semakin mengasah kemampuan sekaligus wawasan
mereka.
Semua masukkan itu bukan untuk mengatakan yang telah ada itu jelek. Saya yakin tidak semua pelajar dan mahasiswa Indonesia seburuk itu.
Banyak di antara mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Beberapa bahkan
muncul ke muka publik dengan sumbangsih yang tidak kecil bagi masyarakatnya dan
bangsa ini.
Usaha dari pemerintah dan pihak-pihak terkait pun tak pernah
berhenti untuk selalu menjawab berbagai tantangan di dunia pendidikan. Yang
cukup menarik dari sekian usaha itu adalah seperti apa yang sudah dilakukan Kabupaten
Kuningan di atas.
Dari situ paling tidak ada secercah harap agar bangsa kita
benar-benar menjadi bangsa yang gemar membaca buku bukan bangsa yang senang bergombal ria, menjadikan gerakan membaca menjadi sekadar gembar gembor belaka, yang cuma
hadir di setiap perayaan lahirnya Ki Hajar Dewantara.***
Comments
Post a Comment