![]() |
Ilustrasi. Diambil dari diana-agustine.blogspot.com |
PAGI masih gelap
saat sekelompok perempuan berangkat ke sawah untuk menanam padi. Setitik kabut
dan tetesan embun memenuhi udara pagi yang dingin, menusuk tulang. Kaki-kaki
mereka tak beralas meski jalan penuh dengan kerikil-kerikil tajam. Kadang
mereka menghindari lubang yang tergenang hujan semalam. Tapi tak jarang ada
satu atau dua orang yang lebih suka berjalan dengan memasukkan kakinya ke
kubangan. Toh sama saja pada akhirnya seluruh badan akan kotor, terkena air tanah
dan lumpur.
Samar-samar terdengar suara orang
mengaji dari pengeras suara masjid dan tajug. Satu sama lain bersahutan, yang
satu terdengar keras yang lainnya sedikit jelas ada pula yang begitu lirih.
Tapi kelakar perempuan-perempuan itu mengalahkan semuanya. Memang tak pernah
ada keheningan saat perempuan berkumpul dalam satu tempat. Mereka selalu senang
untuk saling bertukar informasi atau hanya sekadar bergunjing dan bergosip.
Pergi ke sawah di pagi buta bukan
pemandangan yang terjadi saban hari. Hanya pada hari-hari tertentu saja. Seperti
saat masa tanam orang-orang desa pergi selepas subuh.
Harapannya, pekerjaan
bisa selesai setengah hari dan selanjutnya bisa bekerja di sawah lain atau pulang
ke rumah saat dzuhur tiba. Masa tandur[1]
adalah masa yang sangat berarti karena selain mendapat upah, mereka juga secara
otomatis mendapat bagian saat panen raya tiba. Masa tandur juga berarti semua
orang harus siap menghadapi masa paceklik,
menunggu musim panen tiba.
Pada saat paceklik itulah, sepasang suami istri dari Kampung Dukuh pindah ke
kampung sebelahnya, Kampung Menukan, untuk memulai hidup baru. Sebagaimana
biasanya adat mengatur sang suami tinggal di daerah istrinya. Abadi pun
boyongan dari kampungnya ke kampung istrinya di Menukan. Terlalu berat
meninggalkan kampung yang dicintainya. Dari tajug dan orang-orang kampung dia
belajar mengaji. Setiap sehabis maghrib dia wuruk[2]
kepada kyai kampung dan belajar membaca ayat suci. Setelah semuanya berjalan lancar
jodoh pula yang harus menghapus segala kenangan.
Abadi ingat betul kata kyai bahwa
menikah bukan hanya memperistri perempuan tapi juga memperistri masyarakat. Orang
yang sudah menikah boleh melakukan kegiatan yang berkaitan dengan masyarakat. Bahkan
khatib Jumat pun harus laki-laki yang sudah menikah. Masyarakat percaya bahwa
hanya pria yang sudah menikah saja yang bisa membawanya pada kesempurnaan beragama.
Dia belum mengerti benar sebelum
akhirnya dia melangkahkan kaki dan masuk ke masjid Kampung Menukan waktu maghrib
hari itu. Tak seperti di kampungnya, di masjid ini dia melihat sesuatu yag
berbeda. Anak-anak muda yang mengaji tak seramai dan sesemarak di kampungnya. Besoknya
dia pergi da keliling ke tajug-tajug di pelosok-pelosok kampung, total ada 16
tajug dia datangi secara bergiliran, malam demi malam. Dari semuanya dia
mendapati ilmu mengaji anak-anak masih memprihatinkan. Mereka belum bisa
mengaji, baru bisa mengeja alif ba ta dengan kaidah Baghdadiyah. Alif jabar a.. alif jare.., alif pese u.., a
i u. Abadi terketuk pintu hatinya. Ucapan kyai tempo hari membuatnya
semakin bertekad untuk membantu anak-anak kampung belajar mengaji, melafalkan
ayat-ayat suci.
***
Matahari sudah tinggi dan Abadi
masih termenung di depan rumah. Mukanya kusut, kelopak matanya jarang berkedip.
Istrinya dari selepas subuh sudah ribut sendiri. Sesekali menyebut nama
suaminya dengan nada tinggi. Maklum, dari kemarin tidak ada beras yang bisa
dimasak. Tak ada lauk untuk dimakan.
“Ma[3],
hari ini kita makan apa. Bagaimana
ini? Ada apa saja tidak masalah buat
makan kita hari ini,” kata istrinya.
“Iya Mi[4],
saya cari sesuatu. Barangkali ada yang bisa kita makan,” jawabnya.
Tak pikir panjang Abadi pun
berlalu dari pandangan istrinya. Doa selalu dipanjatkan agar suaminya membawa
sesuatu atau sedikit uang untuk membeli beras di warung Bi Watini. Dia tak
pernah tahu apa yang dikerjakan suaminya untuk mendapatkan uang. Tetangga
banyak yang bilang, suaminya bekerja serabutan. Apa yang bisa dikerjakan dia
kerjakan, diberi upah atau tidak kadang tak jadi masalah. Tapi tiap kali dia
bertanya tentang pekerjaanya, suaminya selalu menolak menjawab, dia ahli
berkilah.
“Urusan nafkah itu adalah
urusanku. Jangan pernah kau pikirkan. Sebab ini adalah tanggung jawabku sebagai
suami,” tegas Abadi.
Sudah lima tahun menikah, tapi
Castri tak juga merasa keluarga kecilnya beranjak dari kemiskinan. Suaminya,
Abadi tak punya pekerjaan. Dia melihat suaminya hanya sibuk mengurusi anak-anak
mengaji di tajug dekat rumahnya. Puluhan anak dari 16 tajug di kampungnya mengaji
padanya, belajar membaca ayat-ayat suci dengan benar, dengan tartil, dengan
tajwid dan makhorijul huruf yang
tepat.
Abadi sadar betul, berkiprah di
tengah masyarakat tak akan pernah mudah. Apalagi di kampung orang, di kampung loran. Salah satu kampung yang terkenal sebagai
daerah mbeling, sarang preman-preman,
bajing luncat dan para penjahat. Legenda setempat menyebut leluhur penduduk kampung
loran[5]
adalah para prajurit Mataram Islam yang kalah sebelum berperang. Perintah
Sultan Agung kepada mereka untuk menundukkan Sunda Kelapa tak pernah dapat
dilaksanakan. Perbekalan habis, tenaga pun sudah terkuras. Banyak di antara
mereka yang mati di tengah perjalanan, karena malaria juga karena kelaparan. Di
antara mereka yang selamat kemudian menetap di loran, tak pernah berani pulang ke Mataram.
Tapi api tekad dalam diri Abadi
tak pernah padam. Segala daya upaya dikerahkan. Dia pun tak segan mengeluarkan
makanan dan minuman yang ada di rumah untuk disantap anak-anak yang mengaji
kepadanya. Dia yakin, seberapa bejat manusia dia pasti punya hati. Hati akan
selalu memanggil seseorang melakukan kebaikan, memenuhi panggilan agama, mengaji
ayat-ayat suci yang kelak akan menyelamatkannya. Meski Abadi tak punya harta
bahkan untuk makan pun susah tapi memberikan minuman dan kudapan untuk murid
ngajinya sudah seperti kewajiban baginya.
“Biarlah, kalau tidak dengan cara
seperti ini, belum tentu mereka mau belajar mengaji,” katanya suatu hari, menenangkan
istrinya yang sedikit interupsi.
“Iya Ma, silakan. Saya juga ikhlas, barangkali dengan jalan ini kita
bisa masuk surga,” ujar istrinya.
***
Abadi tak pernah dipanggil dengan
gelar kiai, syekh atau ustadz. Dia tetap dipanggil man, Man Abadi, sebuah
panggilan untuk laki-laki biasa yang bukan agamawan maupun negarawan. Panggilan
rendahan yang dulunya ditujukan bagi pekerja pribumi dalam proyek ambisius pembangunan
jalan pos. Para meneer anak buah Daendels suka memanggil para pribumi itu
dengan sebutan man.. manke.. monkey, artinya monyet.
Tapi pamor Man Abadi melebihi
pamor para kiai di kampung itu. Anak-anak dan remaja lebih memilih belajar
mengaji ke dia dibandingkan pada para kiai. Semakin hari, tajugnya semakin
ramai saja. Laki-laki dan perempuan semakin banyak yang datang dan belajar
membaca ayat-ayat suci kepadanya. Lewat pengajian itu pun, Man Abadi
menyambungkan silaturahmi para muridnya dengan menceritakan para orang tua
mereka yang bersaudara. Dengan begitu ikatan antar muridnya pun menjadi semakin
kuat.
Kebiasaan Man Abadi menyajikan
aneka rupa penganan dan minuman kepada para muridnya juga membuat pengajiannya
semakin ramai. Anak-anak seakan menemukan oase, mata air di tengah kegersangan
kampungnya. Betapa tidak, gurunya adalah orang yang pandai, bijak bestari dan
dermawan. Tak pernah sekalipun dia mengeluh dan menuntut murid-muridnya
memberikan sejumlah uang, sebagai upah dia telah mengajarkan cara membaca
ayat-ayat suci yang baik dan benar. Kalaupun ada orang tua murid yang
memberikannya uang, dengan halus dia menolaknya. Takut disangka pamrih.
Ketenaran Man Abadi langsung
merebak seperti harum melati yang tertiup angin. Kebaikan dan kecerdasannya
diperbincangkan orang-orang di pojok-pojok masjid hingga jondol-jondol[6].
Wanginya masuk ke dalam relung-relung jiwa masyarakat kampung Menukan. Dia dicintai
oleh muridnya dan dikenal sebagai orang baik oleh masyarakatnya.
Kecuali tentu bagi orang-orang
tertentu yang tidak senang dengan adanya melati dan kesejukan. Orang-orang yang
hidup dan terhormat dari kegersangan. Salah satunya adalah Pak Lurah. Dia tak
pernah terlihat sumringah mendapati seseorang yang bukan asli dari kampung
memberikan pengaruh sebegitu luas kepada masyarakatnya. Orang-orang kaya dan
para agamawan yang lebih tua pun tak pernah bahagia melihat Man Abadi
dielu-elukan masyarakatya. Walhasil, Man Abadi sendirian dan seakan dibiarkan sebatang
kara mengurusi masyarakat.
Pernah suatu waktu ada
pembangunan tajug di Blok Kebon Gedang. Setelah tajugnya jadi, masyarakat pun
amat senang karena tempat mereka mengaji dan beribadah semakin banyak saja.
Tapi sayang, di tajug yang baru itu belum ada pengeras suara, sehingga adzan,
pujian dan iqomat dari tajug itu masih belum terdengar luas.
Kabar belum adanya pengeras suara
di tajug tersebut akhirnya pun didengar juga oleh Man Abadi. Sebagai guru
mengaji yang sebatang kara, dia pun memberikan solusi agar tajug yang mempunyai
dua pengeras suara untuk meminjamkannya satu kepada pengurus tajug Kebon
Gedang. Merasa bahwa Man Abadi adalah guru mereka, masyarakat pun sedemikian
percaya.
Ada salah seorang pemuda pengurus tajug Blok Wanakaya yang mengatakan
bahwa dia dua pengeras suara. Dia pun menyerahkan pengeras suara tersebut
kepada Man Abadi untuk selanjutnya agar bisa diserahkan ke tajug Kebon Gedang. Masalah
pun bisa teratasi dengan mudah, peran Man Abadi yang menjembatani antara
tajug-tajug inilah yang diacungi jempol banyak orang. Banyak masalah akhirnya
bisa dipecahkan dengan mudah dan murah.
***
Selepas Isya, para orang tua di
tajug Wanakaya bermusyawarah. Mereka berkumpul membahas pengeras suara yang
rusak dan butuh perbaikan. Salah seorang kemudian mengingatkan bahwa tajug mereka
masih punya satu lagi pengeras suara yang sudah setahun lamanya belum
dikembalikan. Akhirnya semua orang pun sepakat untuk mengutus seseorang dari
mereka untuk menanyakan hal tersebut dan mengambil kembali pengeras suaranya.
Setibanya di tajug Kebon Gedang, si utusan melihat masih ada ketua pengurus
sedang duduk santai. Kebetulan sekali.
“Assalamu’alaikum. Punten, saya
mau mengambil pengeras suara. Ini sudah satu tahun dan pengeras suara itu
hendak kami ambil kembali,” kata salah satu utusan dari Wanakaya.
“Wa’alaikumsalam. Maksudmu
bagaimana? Kami tak pernah meminjamnya,” kata ketua pengurus tajug Kebon
Gedang.
“Jangan begitu, sudah jelas tepat
setahun kemarin Man Abadi bilang bahwa pengeras suara kami dipinjam untuk tajug
ini,” timpalnya dengan nada kesal.
“Aiih, kamu kira kami masyarakat
yang tak tahu diri. Tunggu sebentar!!” sekonyong-konyong dia meninggalkan
ruangan, menuju ke rumah seseorang, sempat terdengar ada percekcokan sebelum
beberapa saat kemudian ketua pengurus tajug Kebon Gedang kembali menemui si
utusan.
“Ini buktinya. Ada kuitansi
pembelian pengeras suara dan ditandatangani Man Abadi. Kami tidak pinjam tapi
kami beli dari dia. Beli dengan uang patungan,” tegasnya.
Kuitansi dengan tanda tangan Man
Abadi itu adalah bukti kuat bahwa tidak ada akad pinjam-meminjam waktu itu,
melainkan akad jual beli. Seorang guru mengaji menjual pengeras suara tempat
ibadah dan membohongi masyarakat banyak. Seorang guru mengaji mengambil uang
masyarakat hasil penjualan pengeras suara dan menyembunyikan fakta yang
sebenarnya. Seorang guru mengaji menciderai kepercayaan masyarakat dan menodai
kesuciannya. Seorang ajengan yang dielu-elukan adalah seorang pencuri,
pembohong sekaligus pengkhianat.
Dengan muka merah menahan amarah,
si utusan langsung bergegas ke rumah Man Abadi. Dia ingin ada kejelasan dan tak
ingin syak wasangka serta tuduhan pengkhianatan yang mengarah kepada gurunya
itu adalah kebenaran. Dia datang ke rumah Man Abadi untuk mendengarkan bahwa gurunya
itu tak bersalah. Tapi apalah mau dikata, yang dia dapat bukan penjelasan tapi
amarah yang luar biasa.
“Kurang ajar. Kamu menuduh saya
menjualnya? Kurang ajar!” api amarah Man Abadi tumpah tak tertahan. Kehormatan yang
selama ini dia jaga seakan-akan hancur sudah oleh peristiwa remeh temeh.
“Saya anggap sampeyan adalah guru
dan punya bakti yang tidak sedikit kepada masyarakat. Kalau memang benar
mengaku sajalah. Kami juga akan maklum panjenengan memang lama hidup susah,”
katanya.
Man Abadi tertegun, pandangannya
terpaku ke depan seperti baru saja ada anak panah yang menembus dadanya. Terus
didesak oleh si utusan, Man Abadi tak pernah mau mengaku. Dia bersikeras tapi
dia tahu itu percuma. Mungkin saja memang ada konspirasi lurah dengan para
orang kaya di kampung untuk menjatuhkan dirinya. Tapi kuitansi berlabel Abadi
tak bisa untuk tak diimani sepenuhnya. Secarik kuitansi dan fakta bahwa sang
guru adalah orang yang melarat adalah logika hukum yang cukup kuat untuk
membuktikan bahwa yang bersangkutan memang bersalah.
Kuitansi itu, sekali lagi adalah
bukti bahwa telah terjadi pengkhianatan. Ucapan dan pembelaan macam apapun dari
Man Abadi, orang yang miskin papa itu, tak pernah didengar. Penjelasan Man
Abadi kalah dibandingkan dengan kabar tentang aib dan gosip yang menyebar
dengan cepat, dari mulut ke mulut. Dengan sekejap masyarakat menghakimi seorang
bijak bestari itu.
Pelan-pelan namun pasti, murid-murid Man Abadi pun enggan
mengaji, satu demi satu mereka tidak mau lagi belajar melafalkan ayat-ayat suci
dengan benar. Hati dan pikiran mereka teracuni oleh berita tentang kuitansi
Abadi.
Puluhan tahun hidup susah,
berkorban harta benda, merelakan waktu dan kasih sayang untuk mengajar mengaji
masyarakat seakan sia-sia. Tak ada buah dari berpuluh-puluh tahun mengabdi dan membaktikan
diri. Setitik nila itu menghancurkan semuanya, mengubah pujian-pujian menjadi
caci maki dan penghinaan, dan akhirnya membuat masyarakat kembali menjauhi para
ajengan dan agama.
Man Abadi dengan beberapa orang
muridnya mencoba bertahan, masih istiqomah belajar mengaji dan memperdalam laku
agama dengan amalan-amalan tambahan. Tapi bersabar di tengah terpaan badai tak
pernah mudah. Ajakannya kepada masyarakat untuk kembali belajar mengaji tak pernah
diindahkan bahkan kata-kata kotor yang dia dapatkan. Man Abadi bukan nabi, dia
hanya seorang man. Dia bukan kiai, bukan syekh, bukan pula ustadz. Dia orang
melarat yang tak berdaya, sendirian melawan dugaan.
Man Abadi pun menyerah. Dia
memilih kembali ke kampungnya. Terakhir kali ada kabar bahwa dia pergi ke
Banten, bukan untuk mengajar mengaji tapi untuk bekerja. Mencari uang dan
menafkahi keluarga seperti orang pada umumnya. Menjadi orang biasa saja yang
hanya mengejar dunia untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Tapi harta dan
kenikmatan dunia benar-benar sudah kadung menjauhinya, dia tetap hidup melarat
seperti dulu. Tiap maghrib tiba, dia selalu menangis. Matanya selalu tertuju
pada kitab ayat-ayat suci sambil meratapi masa lalu hingga ajal menjemputnya.***
Comments
Post a Comment