PEREMPUAN yang ikut dalam grup seni masres atau sandiwara di Cirebon biasanya menempati tiga posisi, sebagai dalang (pemeran), penari dan juru kawi (penyinden). Jika dilihat dari kuantitasnya, jumlah perempuan di dalam grup sangat sedikit. Dari sekitar 50-an personel, hanya ada sekitar 3-5 perempuan di dalam grup.
Penari dan penyinden jelas adalah peran yang dilakukan
perempuan. Selain dua posisi itu, perempuan juga bisa menjadi dalang, meski dalam setiap pementaran
hanya dibutuhkan 2-3 dalang perempuan. Biasanya mereka mendapatkan peran
sebagai sosok yang cantik jelita, sosok ibu ataupun sosok antagonis semacam
wanita sihir.
Para perempuan masres ini bagi anggota grupnya adalah keluarga yang dituakan atau dihormati. Antar anggota grup terjalin hubungan kekeluargaan karena saban hari mereka bekerja bersama dalam waktu yang relatif lama. Mereka juga, dengan perannya masing-masing, saling membutuhkan di dalam grup. Lazim pada sebuah grup masres kemudian seorang perempuan dipanggil Yu atau Mbak Yu.
Menurut Koentjaraningrat, panggilan-panggilan seperti itu adalah panggilan yang biasanya digunakan kepada orang karena merasa sebagai teman dekat, bekas teman sekolah atau teman sekerja.
Para perempuan masres ini bagi anggota grupnya adalah keluarga yang dituakan atau dihormati. Antar anggota grup terjalin hubungan kekeluargaan karena saban hari mereka bekerja bersama dalam waktu yang relatif lama. Mereka juga, dengan perannya masing-masing, saling membutuhkan di dalam grup. Lazim pada sebuah grup masres kemudian seorang perempuan dipanggil Yu atau Mbak Yu.
Menurut Koentjaraningrat, panggilan-panggilan seperti itu adalah panggilan yang biasanya digunakan kepada orang karena merasa sebagai teman dekat, bekas teman sekolah atau teman sekerja.
Perempuan masres mendapatkan posisi yang terhormat karena
kelompok selalu mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap mereka. Perempuan
adalah tulang punggung sekaligus penentu sukses tidaknya pertunjukkan, juga
penentu sedikit banyaknya saweran yang diperoleh dalam sebuah grup.
Jika kita lihat dari panggilan orang kepada pemain masres,
maka kita tidak akan pernah menemukan perbedaan antara pemain laki-laki dan
perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dipanggil dalang. Berbeda
dengan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang memisahkan actres/aktris untuk pemeran perempuan
dan actor/aktor untuk menyebut
pemeran laki-laki.
Selanjutnya, jumlah perempuan yang sedikit dibarengi dengan
tingkat keahlian yang dimiliki oleh perempuan masres tergolong langka membuat
mereka sangat dihargai mahal. Bayaran yang diberikan kepada mereka setiap kali
manggung termasuk yang paling besar bersama penabuh kendang dan suling.
Kelangkaan bakat menjadi seorang perempuan sinden ini juga ternyata membuat
mereka mendapat posisi tawar yang tinggi di mata pimpinannya.
Baik perempuan maupun laki-laki mendapat jam kerja yang
sama. Perempuan masres manggung selama beberapa adegan dalam beberapa stage
saja. Hanya saja akan sangat berat bagi mereka jika melakukan panggungan sampai
larut malam. Hanya kebutuhan akan materi untuk kelangsungan hidupnya yang
membuat mereka tetap bekerja dengan semangat meskipun sampai subuh.
Relasinya dengan Agama
Perempuan seni masres adalah simbol dewi bagi yang
mengaguminya dan simbol iblis bagi yang membencinya. Kenyataan ini tidak bisa
ditampik oleh karena berbagai macam pandangan dalam masyarakat. Akan tetapi,
eksistensi grup masres bukan pada ada banyak orang yang tidak suka, melainkan
ada orang yang menyukainya.
Terlepas dari pandangan yang merespon positif terhadapnya.
Ternyata banyak juga pandangan orang-orang terhadap perempuan masres bahwa
mereka adalah perempuan pengumbar nafsu. Gerak tari yang dibawakan mereka
erotis, lagu cirebonan yang mereka nyanyikan vulgar, pakaian yang mereka pakai
ala kerajaan jawa tempo dulu yang memperlihatkan bagian atas dada adalah bagian
dari ritual yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai pornoaksi.
Padahal, sifat erotis, vulgar, porno, nafsu dan birahi bukan melulu urusan perempuan, lebih kepada kesan psikologis penontonnya.
Padahal, sifat erotis, vulgar, porno, nafsu dan birahi bukan melulu urusan perempuan, lebih kepada kesan psikologis penontonnya.
Agama di daerah perempuan masres lahir, tumbuh, berkembang
dan manggung adalah ripikal agama yang diajarkan di kampung-kampung kecil di Cirebon.
Ambillah satu contoh pengajaran dan penyebaran ajaran agama seperti di daerah
Kapetakan adalah agama yang berbasis atas pembacaan teks (baik teks al-Qur’an,
hadits ataupun kitab kuning) yang leterlek (skripturalis).
Kitab yang digunakan dalam hukum Islam (fiqh) biasanya
bersumber dari kitab Safinah an-Najah, ataupun yang semi tasawuf seperti Sulam
at-Taufiq. Kitab tafsir dalam memahami al-Qur’an biasanya digunakan tafsir
Jalalain atau pun tafsir pegon al-Ibriz.
Tidak semua kiayi, ataupun ustadz di madrasah menggunakan
kitab itu sebagai bahan dalam pengajiannya. Kebanyakan pengajaran agama di
masjid dan musala menggunakan ilmu agama sekadarnya yang diperoleh secara oral
dari kyai-kyai kampung yang mengaji kitab tersebut. Pengajaran agama dengan
cara demikian (oral) dan teks agama yang digunakan adalah teks yang arab-sentris melanggengkan
anggapan pada perempuan yang bias gender. Apalagi jika teks itu tidak dikaji
dengan kritis.
Sehingga wajar, sampai saat ini agama yang bersumber dari
teks otoritatif di atas, terutama fiqh belum bisa mendamaikan masyarakat
beragama dengan masres. Masyarakat masres biasanya mempunyai tafsiran yang
berbeda terhadap agama Islam demi kelangsungan tradisi dan budayanya.
Mereka adalah orang-orang yang teguh menjaga tradisi yang
diamanatkan Keraton, Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu Cirebon. Dalam
berargumentasi mengenai masalah agama, biasanya mereka tidak langsung
mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah tetapi pada mbah Kuwu dan Sunan Gunung Jati
terlebih dahulu.
Pengetahuan tentang ajaran kedua tokoh ini pun biasanya
diperoleh secara oral, turun temurun. Dan yang ditransformasikan secara oral
inilah yang biasanya mengakar kuat dan sangat fundamen di masyarakat. Bagi
sebagian orang, taklid dan ketaatan demikian tidak rasional, akan tetapi
masyarakat punya logikanya sendiri berdasarkan lokalitas kulturalnya.
Sehingga perihal masalah banyak orang yang mengecam perempuan masres karena pendasaran agama sebenarnya tidak terlalu membuat lemah kontestasi mereka di masres. Ada pandangan agama yang lebih moderat dalam memandang mereka, agama yang sudah dibumikan oleh Sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu Cirebon yang ajarannya dipahami oleh masyarakat dan menjadi keseharian yang sangat sulit dicongkel oleh otoritas apapun.
Relasinya dengan
Negara
Bagi negara, perempuan masres bisa jadi menguntungkan.
Seringkali mereka diundang dalam acara-acara kedianasan terutama dinas
Kebudayaan dan Pariwisata di Kabupaten atau Kota Cirebon. Akan tetapi jika kita
lihat lebih jeli, pemerintah dengan seperangkat regulasinya menghamabat
perempuan masres. Lihat bagaimana birokrasi yang harus ditempuh untuk
mendapatkan ijin keamanan dari aparat keamanan negara.
Alasan mereka biasanya karena alasan yang berdasar pada
kesadaran gender yang bias, yang sepakat dengan anggapan masyarakat yang
menganggap perempuan sebagai penebar birahi. Stereotipe yang seperti ini
digunakan oleh mereka untuk mengambil keuntungan dari pungli-pungli keamanan di
setiap pagelaran.
Negara pun sangat berpotensi untuk membatasi ruang gerak
kreatifitas perempuan masres dengan diberlakukannya peraturan tentang
pornoaksi. Ataupun regulasi lainnya yang berangkat dari asumsi adat, agama, dan
asumsi masyarakat yang bias seksualitas dan bias gender.
Takluk pada Pasar
Kontestasi perempuan masres di atas panggung saat sekarang
sangat bergantung pada minat pasar. Hal ini sangat menentukan, oleh karena itu
pimpinan masres harus jeli jika ingin rombongan masres yang dipimpinnya ingin
tetap eksis. Sulama, seorang pemimpin masres Jaya Baya -juga yang lainnya-
melakukan manuver marketing yang sangat bagus. Cara dia mengikat penanggap
sangat mengagumkan.
Dia anggap semua orang yang menganggapnya sebagai saudara.
Dia tidak sungkan untuk memberikan batu cincin atau berlama-lama ngobrol dengan
masyarakat penonton masres hanya untuk mendengarkan mereka itu ingin
pertunjukan yang seperti apa.
Cara Sulama yang mencari kebutuhan penonton dari masresnya
ini pada akhirnya akan menyerahkan segala kontestasi masresnya, termasuk
perempuan masres ke dalam pusaran tuntutan pasar. Tidak jarang dia harus
berdebat lama dengan dalang perempuannya, atau berbicara dengan nada tinggi
saat menghendaki para dalangnya untuk melakukan yang menurut dia “menghormati
tuan rumah”.
Para perempuan masres, terutama sinden dan dalang yang
bernyanyi untuk memenuhi permintaan penonton yang memberikan saweran harus
memenuhinya dengan alasan tadi. Tanpa adanya saweran, para awak masres tidak
punya lebihan uang. Jadilah, segala kontestasi perempuan masres adalah atas
dasar permintaan pasar, maunya seperti apa.
Pola demikian akhirnya membuat pemain masres, termasuk
perempuan masres cerdas dan tanggap dalam hal dengan siapa mereka berhadapan
dan untuk orang macam apa mereka melakukan suatu eksperimentasi pertunjukan.
Walaupun tetap sesekali pimpinan masres mengintruksikan
harus bagaimana dia tampil, lagu apa yang harus dinyanyikan, tapi sebenarnya
mereka, seperti pelaku masres lainnya telah memahami pekerjaannya. James L.
Peacock menyebut situasi ini dengan “pertunjukkan telah terbangun sebelumnya”.***
Comments
Post a Comment