Skip to main content

Orang Cirebon Menyebutnya dengan Gusti dan Kanjeng

Masjid Sang Cipta Rasa. Sumber: detik.com
MASIH hangat di pikiran bagaimana saat itu saya menawarkan kepada kakakku, Syukron untuk memanggil Allah sepantasnya dia sebagai  yang disembah, dihormati dan diagungkan. Waktu itu belum lagi beranjak masuk ke SD, saya usul kepada dia dan teman-teman sepermainan di kampung untuk memanggil Allah dengan disertai panggilan hormat di depannya. Lucunya, saat itu saya mengusulkan panggilan "kang" (panggilan untuk saudara yang lebih tua), "wa", atau "mang" (panggilan untuk paman).

Pikirku, memanggil dengan hanya namanya saja itu tidak sopan, maka sudah sepantasnya diiringi dengan kata yang mengagungkan-Nya. Waktu itu saya belum tahu sepenuhnya bahwa dalam tradisi Cirebon panggilan kehormatan dan ketundukan kepada Allah SWT adalah dengan memberinya pangkat "gusti". Orang-orang Cirebon suka memanggil tuhannya itu dengan "Gusti Allah". Bahkan dalam beberapa kalimat maupun doa hanya disebutkan "gusti" saja. Kata "gusti" di situ mengandung arti tersirat di dalamnya yakni kata "Allah".

Aduh gusti, kula nyuwun pangapura ing sekatahe dosa. Dosa-dosa e kula,” satu bait lirik pujian yang merupakan terjemahan dari syiir Abu Nawas, Ilahi Lastu.

Penyebutan "gusti" dengan tidak diikuti kata "Allah" mungkin karena untuk menyederhanakan, juga mungkin karena orang Cirebon zaman dulu sedikit sulit untuk mengucap "Allah" dengan pengucapan bahasa Arab yang benar. Seringkali pengucapan "Allah" dalam lidah orang Cirebon terdengar seperti kata "Owoh", "Gusti Owoh".

Mengagungkan nama Pengeran (Tuhan) pada setiap kesempatan bagi orang Cirebon pun sudah membentuk tradisi yang begitu kokoh. Selain atribut penghambaan di atas, segala atribut keagungan seperti nama-nama Tuhan pun sudah mendapat tempat dalam bahasa sehari-hari masyarakat. Seperti Kang Maha Welas (Ar-Rahman, Maha Pengasih), Kang Maha Asih (Ar-Rohim, Maha Penyayang), dan sebagainya.

Selain bagi Allah, panggilan "gusti" juga ternyata disematkan kepada Nabi Muhammad SAW. Perbedaannya, penyebutan "gusti" selalu diikuti dengan atribut lainnya: "kanjeng", menjadi Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Atau dengan "kanjeng" saja: Kanjeng Nabi Muhammad.

Gusti Kanjeng Nabi laire ana ning Mekah. Dina ne Senen wulan Mulud taun Gaja.

Lirik syair pujian tarikh Nabi Muhammad di atas kerap dilantunkan selepas adzan sebelum iqomat, sambil menunggu jamaah sholat datang ke tajug (istilah lokal untuk menyebut musala). Lirik syair pujian yang lain menunjukkan cukup dengan atribut "kanjeng" saja.

Kanjeng Nabi Muhammad yaiku Menusa. Tapi ora kaya menusa biasa.” Syair ini sering diselipkan di setiap marhabanan (pembacaan Maulid Nabi Karya Syeikh Al-Barzanji).

Panggilan "gusti" dan "kanjeng" ini sebenarnya punya akar sejarah di mana masyarakat menggunakannya untuk menyebut para pembesar pada masa awal penyebaran agama Islam di wilayah ini. Seperti Kanjeng Sunan dan Gusti Sinuhun Jati. Kedua sebutan itu digunakan untuk memanggil Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), salah seorang peletak ajaran Islam di Cirebon.

Dari analisis bahasa sederhana yang diperoleh dalam tradisi lisan di atas kita mendapati beberapa gambaran penting tentang wajah Islam Cirebon: pertama, bahwa orang-orang Cirebon sangat mengagungkan tuhannya dan sangat memuliakan nabinya. Pengagungan tersebut merupakan puncak dari segala pengagungan mengingat tidak ada atribut penghormatan di atas gusti dan kanjeng.

Kedua, orang Cirebon sangat dekat dengan Tuhan dan nabinya itu. Hal itu diindikasikan dari penggunaan bahasa sendiri lebih sering digunakan dibandingkan dengan atribut dari bahasa asalnya. 

Ketiga, Islam dan Cirebon sudah tidak bisa dipisahkan lagi karena keduanya saling melengkapi dan saling mengakomodasi. Nilai-nilai kebaikan dari keduanya mempererat jalinan antar keduanya.

Keempat, orang Cirebon mempunyai kecerdasan kebudayaan dengan menyerap Islam ke dalam budayanya. Islam yang datang dari Arab itu "dipaksa" oleh orang Cirebon untuk menjadi miliknya, mentradisi dan membumi. Aktivitas kebudayaan ini disebut Gus Dur sebagai pribumisasi Islam.

Kelima, orang Cirebon begitu menghayati agama. Tuhan dan nabi bagi mereka bukanlah seperangkat objek pikiran yang berada jauh teramati. Tapi, Tuhan dan nabi bagi mereka adalah yang amat dekat dengan keseharian.

Purifikasi

Beberapa bulan yang lalu, saya mendapati beberapa orang di kampung sudah mulai terlepas dari tradisi Cirebon yang sangat luhur dan kaya. Mereka mengenalkan ajaran Islam model baru yang berbeda dengan Islam yang biasa diamalkan orang-orang di kampungku. Mereka menawarkan pemurnian (purifikasi) Islam dari segala tradisi masyarakat penganutnya. Tradisi ini mereka anggap sebagai residu-residu yang mengotori Islam, sehingga ajaran Islam perlu dibersihkan.

Mereka tidak menghiraukan sejarah dan geneologi keislaman masyarakat Cirebon. Mereka juga menawarkan Islam Arab sebagai model Islam yang murni dan terbebas dari campur tangan manusia. Padahal, Islam Arab adalah juga Islam yang tercampuri oleh tradisi, tradisi Arab. Bahkan Islam sendiri mengakomodasi tradisi-tradisi pra-Islam untuk dan memasukannya dalam ajaran agama. Maka sebenarnya tidak ada yang murni dalam dunia manusia. Semua kebudayaan manusia sejatinya adalah sinkretis (pencampuran) untuk tidak dikatakan sebagai mimesis (peniruan).

Kembali ke mereka yang mulai lepas dari tradisi Cirebon, dari sekian ajaran model baru tersebut, mereka mengharamkan tahlil, melarang marhabanan, tawasul, ziarah kubur, dan tradisi-tradisi lainnya yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat. 

Mereka juga melarang bersholawat kepada nabi dengan menyertakan atribut penghormatan kepada beliau. Karena menurutnya, atribut itu tidak seharusnya, berlebihan dan mendekatkan diri pada pemujaan terhadap manusia. Mereka mencukupkan diri bersholawat dengan kalimat “allohumma sholli ‘ala Muhammad” saja, tidak menyertakan kata “sayyidina” sebelum kata "Muhammad" yang sering diterjemahkan oleh orang Cirebon dengan “gusti kula.

Menghadapi tawaran Islam puritan tersebut, tentu saja orang-orang di kampungku banyak sekali yang tidak sependapat, utamanya orang-orang NU dan masyarakat tradisi. Akan tetapi, tentu orang kampung juga tidak punya argumen berupa nalar keilmuan baik yang berasal dari kitab suci, hadits maupun pendapat ulama-ulama terdahulu yang ada di turats. Meski demikian, ternyata mereka masih mempunyai satu nalar yang cukup canggih: nalar moral dari tradisi mereka. Ya. mereka menepis ide-ide purifikasi itu dengan nalar yang sangat sederhana, namun sangat mengena.

Nalar moral tersebut yakni dengan cara mengukur pantas tidaknya seseorang di dalam masyarakat Cirebon dipanggil dengan namanya saja. Sebut saja namanya Ahmad. Maka dia tidak dipanggil dengan sebutan "Kang Ahmad", "Mang Ahmad", "Wa Ahmad", "Ustadz Ahmad" atau "Kyai Ahmad". tapi cukup dengan "Ahmad" saja. Nah, eksperimentasi kebudayaan tersebut dilakukan orang-orang NU di kampungku kepada mereka dari golongan puritan.

Orang NU lantas memanggil pemimpin golongan mereka, Ahmad tadi, hanya dengan namanya saja. Tidak ada embel-embel kiai, ustadz, haji, kang, mang, wa tau atribut apapun. Dan nyata saja, mereka ternyata tidak senang dan marah dengan model panggilan tersebut. Menurut mereka hal itu tidak sopan diucapkan kepada orang tua. 

Orang-orang NU pun dengan enteng menjawab bahwa kalau mereka dari golongan puritan sendiri tidak mau dipanggil namanya saja kenapa coba-coba melucuti Kanjeng Nabi Muhammad dari semua atribut kehormatannya. Dengan begitu sikap mereka tidak konsisten dan terbukti pemahaman keagamaan mereka sudah keliru sejak dalam pikiran.

Itulah satu contoh nalar tradisi yang kerap digunakan orang-orang Cirebon untuk menangkis mereka yang menawarkan kepalsuan berkedok pemurnian Islam. Jadi sekali lagi perlu ditegaskan, orang Cirebon itu menyebut Tuhannya dengan "Gusti Allah" dan nabinya dengan "Kanjeng Nabi Muhammad". Bukan memanggil hanya dengan "Allah" dan "Muhammad" saja.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.