Skip to main content

Anak Ketiga

Ilustrasi: arbamedia.com
MEMBACA koran hari itu mengingatkan kejadian yang membuatku pilu. Kejadian yang menimbulkan sesal dan keprihatinan mendalam. Waktu itu, tetangga depan rumahku bekerja sebagai tenaga kerja luar negeri di Arab Saudi. Dia adalah Wati, seorang istri bagi suaminya dan ibu bagi kedua anaknya. Wati menyerahkan sepenuhnya segala urusan rumah tangga kepada suaminya, Dasman, selagi dia pergi ke tanah rantau mencari duit untuk keberlangsungan hidup dan kehormatan keluarganya.

Tiba pada suatu hari, Wati pulang setelah beberapa lama bekerja di luar negeri. Dia pun disambut begitu hangat oleh keluarganya dan para tetangganya. Aku ingat betul, waktu itu aku pun ikut larut dalam kebahagiaan menyambut pahlawan devisa, tetangga depan rumahku itu.

Aku ingat sekali Wati, tetanggaku itu. Aku kenal dia sejak kecil. Dia perempuan yang gesit dan lincah. Meskipun dia tidak pintar karena tidak sekolah, tapi dia ringan tangan. Sejak kecil dia tidak pernah menolak setiap disuruh orang tua, uwak, pamannya ataupun orang tua yang bukan keluarganya. Tiap kali dia disuruh bapa tua-nya membelikan klobot, dia berangkat ke warung sambil menari dan menyanyi dengan lirik keceriaan. 

Hal ituah yang kemudian membuat Dasman kesengsem. Pemuda pendiam yang berambut gimbal tersebut sejak kecil terlihat selalu ingin bermain bersama Wati. Melihat kelincahan perempuan itu, hati Dasman berbunga-bunga. Meskipun cukup dengan memandanginya saja.

Dasman selalu senang jika bermain gerobak sodor bersama Wati. Karena dia bisa menangkap perempuan pujaannya itu dengan mesra. Dasman juga senang bermain petak umpet dengan Wati. Dia selalu berkorban dengan berpura-pura kalah dan terus mengalah. Dia senang meski digencret, asalkan Wati senang. 

Tapi dari semua permainan sewaktu kecil, saya tahu betul bahwa Dasman sangat bahagia bila dia bermain raja-rajaan. Dia menjadi raja dan Wati menjadi ratunya. Keduanya bermahkotakan tiara dari daun pohon nangka yang sudah kering. Keduanya duduk dalam singgasana tanah dan kembang kingkong yang berwarna-warni pun bertaburan. Aku tahu itu, karena Dasman selalu cerita padaku setiap dia selesai bermain dengan Wati.

Sialnya, cinta Dasman yang tumbuh subur hingga dewasa itu tidak disetujui orang tua Wati. Saat Dasman memberanikan diri melamar Wati, orang tua Wati menolak. Alasannya, keluarga Dasman miskin. Calon suami Wati harus orang kota yang kaya. Orang yang karena kekayaannya mampu untuk mengangkat kehormatan keluarganya yang miskin. Kalau menikah dengan Dasman yang miskin, tentu saja tidak merubah apa-apa. 

Mama dan mimi-nya Wati selalu mengkhawatirkan anaknya itu berkubang dalam kemiskinan yang telah lama mereka dan hampir semua warga di kampungnya alami. Dasman pun boleh kembali lagi melamar Wati setelah dia bisa membawa lamaran yang cukup lumayan untuk mengangkat kehormatan keluarga Wati di depan orang-orang kampung.

“Kehormatan sialan! Dari mana saya dapatkan uang sebanyak itu?” kecam Dasman hari itu.

Tapi kedua orang tua Wati toh akhirnya luluh juga. Raja Dasman dan Ratu Wati itu pun akhirnya menikah setelah Wati diketahui keluarganya hamil di luar nikah. Pria kota yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab. Laki-laki yang dikenalnya di pasar itu bukan orang baik-baik. Dia mengajak Wati menginap di salah satu hotel melati di pinggir Stasiun Cirebon. 

Wati yang sepanjang hidupnya tinggal dan bermain di kampung itu pun tidak merasa curiga. Bahkan dia merasa bangga dan berencana akan menceritakan pengalaman pertamanya menginap di hotel yang bagaikan istana itu kepada semua teman-teman di kampungnya. Wati yakin, teman-temannya itu akan berdecak kagum dengan ceritanya.

Tapi, rencana Wati itu tak pernah terwujud. Cerita indah tentang hotel dan istana itu tak pernah keluar dari mulutnya yang ranum. Sejak kejadian di  hotel itu, dia hanya diam membisu. Sepanjang hari dia hanya melamun dan tak ada satupun orang yang bisa mengajaknya bicara, kecuali Dasman yang dari kecil mencintainya. Meskipun keperawanannya sudah terenggut, Dasman tetap cinta pada wanita gesit yang telah hilang kelincahannya itu.

“Aku sudah terlanjur cinta,” kata Dasman waktu itu.

Keduanya pun akhirnya menikah dengan cara yang sederhana. Pernikahan itu dilangsungkan hanya untuk memenuhi syarat agama saja. Ada penghulu, dua mempelai dan dua orang saksi. Tidak ada resepsi, tidak ada perayaan, tidak ada organ dangdut ataupun masres. Tidak ada undangan ataupun ulem-ulem

Dasman pun datang seorang diri, saudara, uwak, paman dan bibinya tidak sudi hadir lantaran sakit hati yang tak kunjung sembuh saat lamaran Dasman ditolak keluarga Wati. Penolakan lamaran yang menurut saudara-saudaranya membuat Ibunya yang sudah renta meninggal dunia. Aku tahu, malam sebelum menikah, Dasman bertengkar hebat dengan keluarganya. 

Tapi itulah Dasman yang pendiam, dia selalu mengagumi pujaan hatinya itu. Tak peduli rintangan menghadang.

***

Kehangatan tetangga depan rumahku itu tak bertahan lama. Di rumah yang kemarin baru saja sumringah, tiba-tiba membuncah seperti letusan lava yang bergulung-gulung lengkap bersama wedus gembelnya. Dasman menghardik istrinya yang dinikahinya dengan penuh Cinta dan pengorbanan. Suaranya kencang sekali, bergetar penuh tenaga. Energinya yang besar memancing para warga kampung untuk mencari dimana suara itu berasal.

Ya ampun, masalah apa yang membuat Dasman yang pendiam itu membuncahkan amarah sebegitu rupa?” kataku membatin.

Tidak cukup menghardik, di dalam rumahnya, terdengar cuara kaca dan piring pecah. Suara pecahan satu dengan yang kedua kemudian yang ketiga dan seterusnya tak berselang lama. Disusul dengan jeritan seorang wanita, raungan, geraman dan tangisan anak-anak kecil yang meledak tanpa komando.

Masyarakat yang sedari tadi berkumpul mengerubuti rumah tetangga depan rumahku itu bergumam satu dengan yang lainnya. Aku pun ikut mendekat dan bersatu dengan kerumunan warga. Para orang tua dari tadi bergumam lirih bahwa mereka perlu masuk ke dalam rumah tersebut untuk menyelamatkan wanita malang itu dari amarah suaminya. 

Ada pula suara yang menginginkan agar kedua anaknya itu diselamatkan dari derita nestapa keluarganya. Tapi semuanya hanya dalam gumaman, rasa iba itu ada dalam suara tipis dari bibir yang gemetar. Mereka sejatinya hanya penasaran, bukan berempati.
Sejurus kemudian, jeritan dari wanita malang itu pun semakin melengking. Suaranya meraung-raung yang diikuti tangisan keras anak-anaknya.

“Toloong, tolonggg...!,” suara perempuan malang itu disusul kemudian dengan suara kulit beradu. ”Puk,,, puk,, puk. Rasakan kau!”

Warga pun berduyun-duyun hendak masuk ke dalam rumah. Tapi sekejap ada suara tegas yang menghentikan langkah mereka. Salah satu warga yang berucap paling keras dibanding lainnya. Sepertinya dia sengaja mengeraskan suaranya agar didengar warga yang lain.

“Ah, itu biasa. Itu urusan rumah tangga mereka. Kita tidak boleh ikut campur urusan dapur orang lain. Hayo siapa yang berani masuk nanti tanggung urusannya sendiri, tanggung getahnya sendiri,” katanya sambil memicingkan matanya.

Entah mengapa, diri seperti setuju. Dan saya pun tidak sendirian, warga juga seolah setuju. Kita tidak berhak mencampuri urusan orang lain.

Dalam hening sesaat, tiba-tiba pintu rumah yang penghuninya sedang bertengkar itu terbuka. Seorang wanita lari tunggang langgang sekarat kadal. Tak jelas kemana dia akan menuju. Tak berapa lama suaminya keluar. Dengan muka merah hitam, dia berujar dengan penuh kebengisan.

“Wanita jalang tidak tahu malu. Jangan kembali lagi ke sini,” katanya dengan penuh emosi dan langsung sejurus kemudian menutup pintu keras-keras hingga menimbulkan suara yang menyakitkan telinga.

Malam itu, setelah pintu ditutup, ratusan warga yang sedari tadi menonton bubar dengan sendirinya. Mungkin karena hari juga sudah larut malam, ataukah mereka kembali pada kursi empuk mereka dan menyaksikan tayangan televisi kesayangan mereka.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Ada gundah dalam hati. Malam itu, tangisan pilu kedua anak-anak tetangga depan rumahku setia menemani kegelisahan hatiku.

“Kenapa aku diam saja?? 

Seorang mengejar istrinya dan warga hanya diam saja. Wanita itu menjerit, tapi masyarkat hanya terpukau, setelah itu mereka diam saja. Apa yang dilihatnya itu bagaikan tontonan di layar kaca. Sinetron itu menjadi nyata di depan mata. Sinetron yang selalu enak ditonton dan menggelorakan emosi. Saat sinetron itu hadir di depan mata, dia tetap sinetron. Meskipun sebenarnya itu nyata, kejadian sebenarnya.

Besoknya, gonjang-gunjing di tengah masyarakat pun semakin ramai saja. Gosip itu menuduh Wati mengandung anak ketiga, tapi jelas bukan anak dari Dasman. Bagaimana mungkin Dasman mempunyai anak sementara dia sudah terpisah dengan istrinya itu lima tahun lamanya. 

Dasman mengurusi kedua anaknya di kampung sambil bekerja serabutan sebagai buruh tani maupun tukang bangunan. Sementara Wati bekerja di Arab Saudi sebagai babu. Anak ketiga Wati tak lain adalah hasil yang tak diharapkan.

Raja dan ratu itu pun sekarang hidup terpisah. Dasman tak pernah mau menerima lagi Wati, meski cintanya tak pernah luntur. Kasihnya kepada Wati tumpah dan hanya dia curahkan untuk kedua anak Wati. Tidak untuk anak ketiganya yang masih berada di dalam kandungan. Sebulan kemudian, Wati ditemukan gantung diri di dapur rumah orang tuanya. Dasman pun masih tetap dingin dan menolak datang saat pemakaman istri yang tidak pernah dia ceraikan itu.

Lama setelah kejadian bunuh diri Wati dan kemurungan Dasman, banyak sekali raja dan ratu di pantura Cirebon yang cerita cintanya hancur gara-gara bekerja menjadi babu di luar negeri. Cukup kiranya Dasman dan Wati saja yang menjadi korban negara yang abai terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Kalau di dalam negeri mereka bisa bekerja, tidak seharusnya pergi menjadi babu, mengorbankan biduk rumah tanggadan membuat anak-anak tumbuh tanpa kasih.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: