![]() |
Ilustrasi: arbamedia.com |
MEMBACA koran hari
itu mengingatkan kejadian yang membuatku pilu. Kejadian yang menimbulkan sesal dan keprihatinan mendalam. Waktu itu, tetangga depan rumahku bekerja sebagai
tenaga kerja luar negeri di Arab Saudi. Dia adalah Wati, seorang istri bagi
suaminya dan ibu bagi kedua anaknya. Wati menyerahkan sepenuhnya segala urusan
rumah tangga kepada suaminya, Dasman, selagi dia pergi ke tanah rantau mencari
duit untuk keberlangsungan hidup dan kehormatan keluarganya.
Tiba pada suatu hari, Wati pulang setelah beberapa lama bekerja di
luar negeri. Dia pun disambut begitu hangat oleh keluarganya dan para
tetangganya. Aku ingat betul, waktu itu aku pun ikut larut dalam kebahagiaan
menyambut pahlawan devisa, tetangga depan rumahku itu.
Aku ingat sekali Wati, tetanggaku itu. Aku kenal dia sejak kecil.
Dia perempuan yang gesit dan lincah. Meskipun dia tidak pintar karena tidak
sekolah, tapi dia ringan tangan. Sejak kecil dia tidak pernah menolak setiap
disuruh orang tua, uwak, pamannya
ataupun orang tua yang bukan keluarganya. Tiap kali dia disuruh bapa tua-nya membelikan klobot, dia
berangkat ke warung sambil menari dan menyanyi dengan lirik keceriaan.
Hal
ituah yang kemudian membuat Dasman kesengsem. Pemuda pendiam yang berambut
gimbal tersebut sejak kecil terlihat selalu ingin bermain bersama Wati. Melihat
kelincahan perempuan itu, hati Dasman berbunga-bunga. Meskipun cukup dengan
memandanginya saja.
Dasman selalu senang jika bermain gerobak sodor
bersama Wati. Karena dia bisa menangkap perempuan pujaannya itu dengan mesra.
Dasman juga senang bermain petak umpet dengan Wati. Dia selalu berkorban dengan
berpura-pura kalah dan terus mengalah. Dia senang meski digencret, asalkan Wati senang.
Tapi dari semua permainan sewaktu
kecil, saya tahu betul bahwa Dasman sangat bahagia bila dia bermain raja-rajaan. Dia menjadi raja dan Wati
menjadi ratunya. Keduanya bermahkotakan tiara dari daun pohon nangka yang sudah
kering. Keduanya duduk dalam singgasana tanah dan kembang kingkong yang berwarna-warni pun bertaburan. Aku tahu itu,
karena Dasman selalu cerita padaku setiap dia selesai bermain dengan Wati.
Sialnya, cinta Dasman yang tumbuh subur hingga dewasa itu tidak
disetujui orang tua Wati. Saat Dasman memberanikan diri melamar Wati, orang tua
Wati menolak. Alasannya, keluarga Dasman miskin. Calon suami Wati harus orang kota
yang kaya. Orang yang karena kekayaannya mampu untuk mengangkat kehormatan
keluarganya yang miskin. Kalau menikah dengan Dasman yang miskin, tentu saja
tidak merubah apa-apa.
Mama dan mimi-nya Wati selalu mengkhawatirkan
anaknya itu berkubang dalam kemiskinan yang telah lama mereka dan hampir semua
warga di kampungnya alami. Dasman pun boleh kembali lagi melamar Wati setelah
dia bisa membawa lamaran yang cukup lumayan untuk mengangkat kehormatan
keluarga Wati di depan orang-orang kampung.
“Kehormatan sialan! Dari mana saya dapatkan uang sebanyak itu?” kecam
Dasman hari itu.
Tapi kedua orang tua Wati toh akhirnya luluh juga. Raja Dasman dan
Ratu Wati itu pun akhirnya menikah setelah Wati diketahui keluarganya hamil di
luar nikah. Pria kota yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab. Laki-laki
yang dikenalnya di pasar itu bukan orang baik-baik. Dia mengajak Wati menginap
di salah satu hotel melati di pinggir Stasiun Cirebon.
Wati yang sepanjang
hidupnya tinggal dan bermain di kampung itu pun tidak merasa curiga. Bahkan dia
merasa bangga dan berencana akan menceritakan pengalaman pertamanya menginap di
hotel yang bagaikan istana itu kepada semua teman-teman di kampungnya. Wati
yakin, teman-temannya itu akan berdecak kagum dengan ceritanya.
Tapi, rencana Wati itu tak pernah terwujud. Cerita indah tentang
hotel dan istana itu tak pernah keluar dari mulutnya yang ranum. Sejak kejadian
di hotel itu, dia hanya diam membisu.
Sepanjang hari dia hanya melamun dan tak ada satupun orang yang bisa
mengajaknya bicara, kecuali Dasman yang dari kecil mencintainya. Meskipun
keperawanannya sudah terenggut, Dasman tetap cinta pada wanita gesit yang telah
hilang kelincahannya itu.
“Aku sudah terlanjur cinta,” kata Dasman waktu itu.
Keduanya pun akhirnya menikah dengan cara yang sederhana.
Pernikahan itu dilangsungkan hanya untuk memenuhi syarat agama saja. Ada
penghulu, dua mempelai dan dua orang saksi. Tidak ada resepsi, tidak ada
perayaan, tidak ada organ dangdut ataupun masres.
Tidak ada undangan ataupun ulem-ulem.
Dasman pun datang seorang diri, saudara, uwak,
paman dan bibinya tidak sudi hadir lantaran sakit hati yang tak kunjung sembuh saat
lamaran Dasman ditolak keluarga Wati. Penolakan lamaran yang menurut saudara-saudaranya membuat Ibunya yang sudah renta meninggal dunia. Aku tahu,
malam sebelum menikah, Dasman bertengkar hebat dengan keluarganya.
Tapi itulah
Dasman yang pendiam, dia selalu mengagumi pujaan hatinya itu. Tak peduli
rintangan menghadang.
***
Kehangatan tetangga depan rumahku itu tak bertahan
lama. Di
rumah yang kemarin baru saja sumringah, tiba-tiba membuncah seperti letusan
lava yang bergulung-gulung lengkap bersama wedus gembelnya. Dasman menghardik istrinya yang dinikahinya dengan penuh Cinta dan pengorbanan. Suaranya
kencang sekali, bergetar penuh tenaga. Energinya yang besar memancing para
warga kampung untuk mencari dimana suara itu berasal.
“Ya ampun, masalah apa yang membuat
Dasman yang pendiam itu membuncahkan amarah sebegitu rupa?” kataku
membatin.
Tidak cukup menghardik, di dalam rumahnya, terdengar cuara kaca
dan piring pecah. Suara pecahan satu dengan yang kedua kemudian yang ketiga dan
seterusnya tak berselang lama. Disusul dengan jeritan seorang wanita, raungan,
geraman dan tangisan anak-anak kecil yang meledak tanpa komando.
Masyarakat yang sedari tadi berkumpul mengerubuti rumah tetangga
depan rumahku itu bergumam satu dengan yang lainnya. Aku pun ikut mendekat dan
bersatu dengan kerumunan warga. Para orang tua dari tadi bergumam lirih bahwa mereka perlu masuk ke dalam rumah tersebut untuk
menyelamatkan wanita malang itu dari amarah suaminya.
Ada pula suara yang
menginginkan agar kedua anaknya itu diselamatkan dari derita nestapa
keluarganya. Tapi semuanya hanya dalam gumaman, rasa iba itu ada dalam suara
tipis dari bibir yang gemetar. Mereka sejatinya hanya penasaran, bukan
berempati.
Sejurus kemudian, jeritan dari wanita malang itu pun semakin
melengking. Suaranya meraung-raung yang diikuti tangisan keras anak-anaknya.
“Toloong, tolonggg...!,” suara perempuan malang itu disusul kemudian dengan suara kulit beradu. ”Puk,,, puk,, puk. Rasakan kau!”
Warga pun berduyun-duyun hendak masuk ke dalam rumah. Tapi sekejap
ada suara tegas yang menghentikan langkah mereka. Salah satu warga yang berucap
paling keras dibanding lainnya. Sepertinya dia sengaja mengeraskan suaranya
agar didengar warga yang lain.
“Ah, itu biasa. Itu urusan rumah tangga mereka. Kita tidak boleh
ikut campur urusan dapur orang lain. Hayo siapa yang berani masuk nanti
tanggung urusannya sendiri, tanggung getahnya sendiri,” katanya sambil
memicingkan matanya.
Entah mengapa, diri seperti setuju. Dan saya pun tidak
sendirian, warga juga seolah setuju. Kita tidak berhak mencampuri urusan orang
lain.
Dalam hening sesaat, tiba-tiba pintu rumah yang penghuninya sedang
bertengkar itu terbuka. Seorang wanita lari tunggang langgang sekarat kadal. Tak jelas kemana dia akan
menuju. Tak berapa lama suaminya keluar. Dengan muka merah hitam, dia berujar
dengan penuh kebengisan.
“Wanita jalang tidak tahu malu. Jangan kembali lagi ke sini,”
katanya dengan penuh emosi dan langsung sejurus kemudian menutup pintu
keras-keras hingga menimbulkan suara yang menyakitkan telinga.
Malam itu, setelah pintu ditutup, ratusan warga yang sedari tadi
menonton bubar dengan sendirinya. Mungkin karena hari juga sudah larut malam,
ataukah mereka kembali pada kursi empuk mereka dan menyaksikan tayangan
televisi kesayangan mereka.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Ada gundah dalam hati. Malam itu,
tangisan pilu kedua anak-anak tetangga depan rumahku setia
menemani kegelisahan hatiku.
“Kenapa aku diam saja??”
Seorang mengejar istrinya dan warga hanya diam saja. Wanita itu
menjerit, tapi masyarkat hanya terpukau, setelah itu mereka diam saja. Apa yang
dilihatnya itu bagaikan tontonan di layar kaca. Sinetron itu menjadi nyata
di depan mata. Sinetron yang selalu enak ditonton dan menggelorakan
emosi. Saat sinetron itu hadir di depan mata, dia tetap sinetron. Meskipun sebenarnya itu nyata, kejadian sebenarnya.
Besoknya, gonjang-gunjing di tengah masyarakat pun semakin
ramai saja. Gosip itu menuduh Wati mengandung anak ketiga, tapi jelas bukan
anak dari Dasman. Bagaimana mungkin Dasman mempunyai anak sementara dia sudah
terpisah dengan istrinya itu lima tahun lamanya.
Dasman mengurusi kedua anaknya
di kampung sambil bekerja serabutan sebagai buruh tani maupun tukang bangunan.
Sementara Wati bekerja di Arab Saudi sebagai babu. Anak ketiga Wati tak lain
adalah hasil yang tak diharapkan.
Raja dan ratu itu pun sekarang hidup terpisah. Dasman
tak pernah mau menerima lagi Wati, meski cintanya tak pernah luntur. Kasihnya
kepada Wati tumpah dan hanya dia curahkan untuk kedua anak Wati. Tidak untuk
anak ketiganya yang masih berada di dalam kandungan. Sebulan kemudian, Wati
ditemukan gantung diri di dapur rumah orang tuanya. Dasman pun masih tetap
dingin dan menolak datang saat pemakaman istri yang tidak pernah dia ceraikan itu.
Lama setelah kejadian bunuh diri Wati dan kemurungan
Dasman, banyak sekali raja dan ratu di pantura Cirebon yang cerita cintanya
hancur gara-gara bekerja menjadi babu di luar negeri. Cukup kiranya Dasman dan
Wati saja yang menjadi korban negara yang abai terhadap kesejahteraan
masyarakatnya. Kalau di dalam negeri mereka bisa bekerja, tidak seharusnya
pergi menjadi babu, mengorbankan biduk rumah tanggadan membuat anak-anak tumbuh
tanpa kasih.***
Comments
Post a Comment