Skip to main content

Bertemu Nyi Mas Gandasari (2)

MAGELUNG mengembara tak tentu arah. Tapi kakinya itu membawa dia berjalan ke arah barat laut dari tempat dia bertemu Sunan Gunung Jati. Langkah demi langkah dilewati hingga dia tiba di daerah yang disebut Selapandan. Semakin masuk ke perkampungan, dia menjumpai keramaian. Orang-orang berkumpul seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukkan. Ah, ternyata ada adu tanding digelar di tengah mereka.

Sayembara yang diikuti orang-orang sakti mandraguna dari berbagai daerah itu digelar oleh Ki Ageng Selapandan atau Mbah Kuwu Cirebon. Orang-orang sakti tersebut bertarung, beradu kesaktian dengan seorang perempuan ayu jelita, Nyi Mas Gandasari. Meskipun perempuan, dia tak terkalahkan dalam sayembara tersebut.

Nyi Mas Gandasari sering dikenal dengan nama Syarifah Muthmainnah, putri Syekh Datuk Soleh dari Kerajaan Pasai. Dia merupakan adik kandung Fadhilah Khan atau yang sering disebut Faletehan. Nyi Mas Gandasari konon dibawa serta Mbah Kuwu Cirebon saat dia pulang dari berhaji.

Gandasari diboyong dari Pasai ke Cirebon untuk menyelamatkannya dari sebuah wabah yang berbahaya di daerah asalnya. Setelah diajak menetap di Cirebon, Gandasari kemudian dididik oleh Mbah Kuwu Cirebon sehingga memiliki kemahiran beladiri yang tak tertandingi. Selain memiliki kemahiran ilmu bela diri, Gandasari diceritakan sebagai perempuan yang cantik jelita, rupawan, molek dan lincah laiknya Srikandi dalam lakon pewayangan.

Mbah Kuwu Cirebon juga mendidik Gandasari dengan ajaran agama Islam dengan mengirimnya ke Pesantren Syekh Quro di Karawang. Dari pesantren yang berada di Karawanglah kemudian berita tentang kecantikan Gandasari menjadi perbincangan orang-orang dari berbagai daerah. Banyak orang terutama para pembesar dari negeri seberang akhirnya ingin menikahi perempuan yang mempunyai keunggulan kanuragan, agama dan ayu itu.

Dalam sayembara, tersebut satu aturan siapapun yang bisa mengalahkan Gandasari akan dijadikan sebagai suaminya. Namun sayang, nyatanya tidak ada satu pun orang yang bisa mengalahkannya. Setelah semua pembesar (gegeden) tidak ada yang bisa mengalahkan Gandasari, Magelung yang terpesona oleh Gandasari pun turut serta dalam sayembara. Setelah melalui pertandingan yang sengit, akhirnya Magelung mampu mengalahkan Gandasari. 

Namun entah mengapa, mengetahui ada orang yang bisa mengalahkannya, Gandasari seketika itu juga lari tunggang langgang, kemudian minta perlindungan ke arah daerah Gunung Jati. Melihat Gandasari berlari, Magelung pun mengejarnya. Sesampainya di daerah Gunung Jati, Gandasari menjumpai Sunan Gunung Jati, dia pun bermaksud berlindung kepada Sang Sunan dari kejaran Magelung.

Magelung pun terkejut kembali bertemu dengan orang tua yang bisa memotong rambutnya. Magelung pun seolah lupa dengan tujuan awalnya datang ke Tanah Jawa. Saat ditanya Sunan, dia menjawab ingin memperistri Gandasari. Dia merasa berhak mendapatkan Gandasari karena hanya dia yang bisa mengalahkan Nyi Mas Gandasari. Dan aturan sayembara menyebutkan bahwa yang menang atas Gandasarilah yang berhak mengawininya.

Magelung benar-benar lupa tujuannya datang dari tanah seberang menuju Tanah Jawa. Saat sosok guru sebagai tujuannya itu sudah berdiri di depannya, dia malah menginginkan seorang ayu jelita yang baru saja dikenalnya.

Tapi Sang Sunan begitu bijaksana, dia pun mempersilakan keduanya untuk menikah. Akan tetapi beliau berujar bahwa pernikahan yang patut bagi kedunya bukan pernikahan di dunia yang fana, melainkan pernikahan abadi di akhirat. Kedua insan manusia itu akhirnya mengerti yang dimaksud Sunan dan menerima keputusannya. Magelung dan Gandasari menjadi suami istri tanpa melakukan hubungan jasmani.

Magelung dan Gandasari akhirnya menjadi murid Sunan Gunung Jati dan turut serta dalam upaya penyebaran ajaran agama Islam di Cirebon. Catatan juga menyebutkan keduanya memiliki peranan penting dalam penaklukan Rajagaluh dan Talaga oleh Cirebon.

Pada masa selanjutnya, Magelung menetap di sebuah daerah yang dipenuhi belantara. Di daerah tersebut banyak tumbuh pohon Kendal. Di daerah yang kita kenal sekarang sebagai Desa Karangkendal itu, Magelung mengajarkan ajaran Islam kepada para murid-muridnya. Sebagai seorang yang mengajarkan agama Islam, masyarakat kemudian menyematkan gelar ‘Syekh’ kepada Magelung hingga dia dikenal dengan nama Syekh Magelung.

Sementara Gandasari dikenal dengan gelar kehormatan Nyi Mas. Sambil terus belajar dan berjuang menyebarkan Islam di Cirebon, Nyi Mas Gandasari mendiami daerah Selapandan yang sekarang dikenal sebagai Desa Panguragan.*** (bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: