Sumber ilustrasi: hate-speech.org |
PADA zaman serba digital, ujaran kebencian (hate speech) dengan berbagai macam
bentuknya seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak
menyenangkan, provokasi, penghasutan ataupun penyebaran berita bohong meluncur
dengan cepat. Sekali saja disebarkan, ribuan bahkan jutaan orang bisa
terpengaruh. Ujaran kebencian melalui media sosial ataupun sebuah forum di
internet tak pelak berpotensi sangat besar memicu konflik antar golongan.
Dulu, tidak semua orang bisa mengabarkan
informasi ke orang lain secara massif. Manusia perlu waktu berminggu-minggu,
berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk menyampaikan informasi hanya ke
satu orang. Kini, dengan semakin pesatnya teknologi, semua orang bisa
menyampaikan informasi dengan cepat. Bukan hanya itu, informasi bisa disebarkan
kepada jutaan orang.
Hal tersebut tentu menggembirakan karena kita
jadi lebih efektif dan efisien dalam berkomunikasi dengan orang lain. Akan
tetapi masalah muncul ketika informasi yang disebarkan tersebut memuat konten
yang negatif. Pengguna media sosial pada umumnya tidak mempunyai kemampuan yang
cukup untuk memfilter informasi yang datang kepadanya.
Mereka juga tidak mempunyai standar
penyaringan informasi seperti verifikasi ala jurnalisme. Pengguna medsos
menjadi sangat rentan menerima informasi yang tidak bertanggung jawab dan
terprovoksi ikut dalam kebencian yang disebarkan. Contoh dampak buruknya
seperti terjadinya konflik antar golongan di Sumbawa dan Lampung. Ya, konflik
tersebut berawal (hanya) dari sebuah ujaran kebencian di media sosial atau
forum di internet.
Pada Selasa, 30 Agustus 2016 kemarin beredar berita statemen Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa medsos mempermudah
seseorang melakukan provokasi kepada orang lain secara massal dalam waktu yang relatif
singkat. Bahkan dia menyebutkan untuk memicu konflik, zaman sekarang seseorang
tak perlu pemimpin, cukup dengan medsos saja.
"Orang berkonflik sekarang tanpa
pemimpin, beda dengan dulu. Kalau sekarang yang memimpin adalah Facebook,
WhatsApp, SMS dan lainnya" kata Wapres saat memberi ceramah kepada peserta
Program Pendidikan Sespimti Polri Dikneg ke-25 TA 2016 bertema Kajian Strategi
Penanganan Konflik Dalam Negeri di Jakarta, Senin (29/8).
Apa yang dikatakan Wapres ada benarnya, meski
tidak sepenuhnya. Sebagai Wapres dia memang harus berupaya untuk mengokohkan
jajaran pemerintah, terutama kepolisian untuk lebih awas terhadap ujaran-ujaran
kebencian di dalam jagat internet. Untuk itu, petugas kepolisian dan jajaran terkait,
menurutnya, diharuskan untuk mengetahui bahkan menguasai medsos dan internet.
Tapi, disadari atau tidak, medsos dan
internet (media digital) bukan subjek dalam komunikasi, ia bukan subjek pengirim
atau penerima informasi. Ia hanya media. Akan tetapi, karakteristik media ini
berbeda dengan media komunikasi yang lainnya.
Media digital yang muncul dalam masyarakat yang semakin demokratis dan egaliter ini bersifat lebih bebas. Semua pengguna media digital bisa mengirim dan menerima informasi dengan sama bebasnya. Berbeda dengan zaman terdahulu yang lebih cenderung menjadi penerima informasi.
Media digital yang muncul dalam masyarakat yang semakin demokratis dan egaliter ini bersifat lebih bebas. Semua pengguna media digital bisa mengirim dan menerima informasi dengan sama bebasnya. Berbeda dengan zaman terdahulu yang lebih cenderung menjadi penerima informasi.
Informasi banyak arah dan komunikasi yang
bebas tak terasa mengikis secara perlahan formalitas dan birokrasi kebenaran.
Akibatnya, tidak ada satu lembaga informasi pun yang lebih dipercaya dibanding
yang lain. Semuanya sama.
Terlepas dari positif atau negatif, sebuah informasi itu pada akhirnya bisa dibagikan banyak orang dan diterima banyak orang. Tanpa filter dari apapun atau saringan dari siapapun.
Terlepas dari positif atau negatif, sebuah informasi itu pada akhirnya bisa dibagikan banyak orang dan diterima banyak orang. Tanpa filter dari apapun atau saringan dari siapapun.
Pengokohan penegak hukum untuk menguasai
media digital sendiri, seperti yang Wapres katakana, sepertinya tak lebih dari
sebuah upaya memperkuat penindakan. Dalam zaman yang serba cepat ini upaya penindakan
saja rasanya belumlah cukup.
Kasus lain akan muncul saat kasus satunya sedang ditindak. Kasus-kasus baru yang terus bermunculan tidak akan pernah sangggup untuk ditindak satu per satu. Maka, yang lebih penting yakni mengupayakan tindakan pencegahan.
Kasus lain akan muncul saat kasus satunya sedang ditindak. Kasus-kasus baru yang terus bermunculan tidak akan pernah sangggup untuk ditindak satu per satu. Maka, yang lebih penting yakni mengupayakan tindakan pencegahan.
Pemerintah sebenarnya bisa saja mengupayakan agar
setiap anggota masyarakat mempunyai tanggung jawab sosial yang baru di zaman
digital ini. Tanggung jawab sosial tersebut yakni pertama, mereka harus menyebarkan
informasi secara bertanggung jawab; dan kedua, mereka dilatih untuk menerima
informasi secara skeptis atau tidak mudah percaya dengan informasi.
Penerima informasi harus mempunyai sikap
seperti para jurnalis yang tidak mudah menerima berita begitu saja. Perlu ada
verifikasi atau informasi pembanding dari sudut yang berbeda.
Dalam istilah Jasques Derrida, seorang filsfuf post-strukturalis asal Perancis, harus ada penundaan (epoche) pemaknaan dalam setiap informasi yang hadir dalam kehidupan kita. Epoche mewajibkan kita untuk maletakkan dulu segala jenis klaim kebenaran, ideologi ataupun fanatisme buta dalam setiap penilaian informasi.
Dalam istilah Jasques Derrida, seorang filsfuf post-strukturalis asal Perancis, harus ada penundaan (epoche) pemaknaan dalam setiap informasi yang hadir dalam kehidupan kita. Epoche mewajibkan kita untuk maletakkan dulu segala jenis klaim kebenaran, ideologi ataupun fanatisme buta dalam setiap penilaian informasi.
Upaya menyadarkan adanya tanggung jawab yang
besar kepada masyarakat sebagai penerima informasi lebih diutamakan karena jika
masyarakat sudah menerima informasi secara bertanggung jawab, maka otomatis
mereka juga akan menyebarkan informasi secara bertanggung jawab pula. Dan upaya
tersebut bisa dimulai dari edukasi terus menerus dari semua lembaga pendidikan,
formal maupun yang ada di tengah masyarakat. ***
Comments
Post a Comment