Cover majalah Tempo terbitan tahun 1983. |
BUKAN bermaksud sombong, tapi
bolehlah cerita kalau saya termasuk ke dalam orang yang suka membaca buku,
mencari informasi dan senang berdiskusi. Paling tidak itulah selintas yang
sering diceritakan kawan seperjuangan. Tapi segala itu, seolah tak ada artinya saat duduk-duduk
di jondol bersama-sama orang kampung
di desa saya.
Bagaimana tidak,
saya yang selama bertahun-tahun sekolah dan mengenyam pendidikan yang lebih
tinggi dari orang-orang kampung ternyata tak tahu apa-apa tentang peristiwa
yang begitu membahana. Peristiwa di kampungku sendiri, di dekatku, bahkan
sangat dekat. Mereka sering menyebut peristiwa itu dengan nama Petrus. Perlu hidup 25 tahun bagi saya
untuk sekadar
mendengar
riwayat peristiwa keji itu.
Di Desa Kertasura
Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, tepatnya di Blok II Siwalan ada sebuah
jondol. Jondol adalah semacam balai persegi yang ditopang empat buah tiang dari
kayu dolog atau bisa juga bambu besar. Jondol dibuat seperti rumah panggung
dengan dindingnya tertutup setengah dan di salah satu dindingnya terbuka,
dimaksudkan untuk pintu. Kadang, keempat sisi jondol dibuat terbuka semua, agar
siapapun bisa leluasa masuk. Sementara lantainya terbuat dari bilah bambu
ataupun papan kayu.
Pembuatan jondol
dimaksudkan sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda dan masyarakat kampung.
Tempat berkumpul ini dibangun sederhana dengan hanya atap genteng ataupun asbes
saja. Dulu, saat ramai program siskamling, jondol selalu ramai. Sekarang,
meskipun tidak seperti dulu, jondol masih menjadi tempat berkumpul warga.
Setiap habis Isya,
warga senang sekali berkumpul di jondol dan membicarakan banyak hal. Jondol
yang ramai biasanya di sampingnya berdiri warung kopi, warung tebruk atau
warung indomie. Di situ, segala masalah diperbincangkan, dari mulai masalah
pertanian, ekonomi, politik hingga gosip-gosip yang anget-anget kuku.
Tema
obrolan di jondol pun tidak pernah dikomando, ia meluncur sendiri dan berbelok
ke kanan dan ke kiri seenaknya. Tanpa ada yang mengetahui dari mana ujung
pangkalnya? Tak jelaslah mana moderator, mana narasumber dan mana panelisnya.
Barangkali di jondol inilah, tradisi lisan masyarakat Cirebon berkembang dan
lestari.
Entah dimulai dari
mana, malam itu pembicaraan mengerucut ke persitiwa misterius tahun 1980-an. Salah
seorang pria berusia 67 tahun, Sukarya, menceritakan kengerian saat terjadi peristiwa itu, peristiwa Petrus,
begitu dia menyebutnya. Saya yang dari tadi ngantuk-ngantuk tak tertarik
mengikuti obrolan, tiba-tiba saja terhipnotis dengan daya ceritanya.
“Dulu, waktu tahun
80-an, semua orang yang bertato ditembak di tempat. Mayat-mayat mereka
dimasukkan ke dalam karung dan dipertontonkan di depan umum,” katanya, khas
orang bercerita.
Sukarya, pria yang sudah punya dua orang cucu itu bercerita
kembali, seakan membuka luka lama masyarakat terhadap peristiwa yang membuat
bulu kuduknya merinding itu. Dia menegaskan bahwa Petrus
adalah nama seorang jenderal ABRI yang anak perempuannya diperkosa dan tewas di terminal di
Jakarta.
Anak perempuan Si Petrus itu, menurutnya, diperkosa oleh preman-preman
terminal yang bertato. Sejak peristiwa tersebut, Petrus pun memerintahkan anak
buahnya dari Sabang sampai Marauke untuk memberi pelajaran kepada para preman
bertato.
“Pokoknya yang
punya tato dia langsung ditembak. Tak pandang itu sebenarnya preman apa bukan?
Kasian juga saat itu banyak anak-anak muda yang gaya-gayaan memakai tato,
padahal dia bukan preman,” lanjutnya dengan bibir yang kian basah.
Terakhir saya baru
tahu, ternyata yang dikatakan Sukarya ada benarnya. Meskipun tidak sepenuhnya. Setelah saya cari referensi dari berbagai buku,
ternyata waktu itu Orde Baru sedang memasuki tahap akhir dari proses penggalian
kubur untuk dirinya sendiri. Proses setelah terlewatinya tahun-tahun masa
puncak kejayaan orde baru.
Setelah pada 1973
partai difusi, orde baru di masa 70-80 melenggang dengan lancarnya. Orde ini
pada jaman itu dianggap sebagai orde yang menjanjikan karena PDB nya berkisar
pada 7,7 persen. Masa depan yang gemilang jika saja pemerintah orde baru bukan
rezim yang kejam, brutal, korup dan hanya dikuasai 1 orang.
Rezim yang digdaya
itu pada tahun 1983-1985 harus menumpas gelombang pasang kejahatan yang
terjadi di masa itu. Negara membunuh tanpa jalur pengadilan terhadap 5.000
tersangka kriminal di seluruh negeri.
Pembunuhan bernama Petrus (penembakan
misterius) ini dilaksanakan oleh polisi dan militer, yang kemudian membuang
mayat-mayat di tempat-tempat umum sebagai peringatan. Dalam otobiografinya
tahun 1989, Soeharto menegaskan bahwa pembunuhan itu memang merupakan
"terapi kejut" yang disponsori negara.
“Saya yakin Sukarya tidak tahu itu,”
batinku.
Segala reka daya
negara saat itu sungguh luar biasa. Satu peristiwa besar di depan mata warga,
hanya dilihat sebagai suatu masalah sepele. Satu praktik kediktatoran dilihat
sebagai sebuah dendam satu orang jendral bernama Petrus. Jenderal yang tidak pernah
tercatat dalam absensi dinas militer di negeri ini. Satu kesimpulan dari cerita
di jondol: pembantaian yang rapi.
Sukarya kembali bercerita, saat itu, bisa
dikatakan, Kapetakan adalah daerah yang paling banyak jatuh korban akibat
peristiwa jenderal ngamuk tersebut. Bagaimana tidak, Kapetakan adalah daerah yang
dicap merah, daerah asal preman yang menguasai pasar, terminal dan pusat
keramaian di Cirebon dan sekitarnya.
Jadi tidak salah kalau, saat peristiwa
Petrus, Kapetakan menjadi daerah merah membara. Target operasi utama di Cirebon
dan sekitarnya.
“Mereka yang punya
tato harus tetap waspada. Mereka tidak pernah tidur di rumah, takut ditembak
dari jauh oleh militer,” cerocosnya.
Para preman dan
anak muda tanggung yang bertato harus bermain cerdik dengan para intel-intel
Kodim dan Polsek. Sebab, saat itu banyak para intel militer yang menyamar untuk
menguntit para pemilik tato. Tidak jarang dari para intel yang menyamar menjadi
tukang krupuk, es cuwing, hingga tukang sayur. Gerak-gerik mereka halus dan tak
terdeteksi. Tapi orang kampung mengenal setiap wajah baru yang keluar masuk
daerahnya.
“Ada orang yang
jualan krupuk cuma sehari dua hari, setelah itu dia tidak muncul lagi. Kami tahu itu
intel. Tapi biarkan saja, kita asal tahu saja, tidak berani apa-apa,” kata yang lainnya.
Kalau sudah mendengar ada peristiwa di daerah sebelah atau ada informasi bawah tanah yang cukup meyakinkan, para pemuda bertato di Kapetakan konon takut tidur di rumah. Mereka membawa sarung, bantal dan tidur di kuburan atau di pohon besar dekat sawah yang sekiranya aman dan nyaman.
Rupanya rekaman mengenai persitiwa Petrus dalam
ingatan masyarakat pun sudah semakin samar, menyebar dari mulut ke mulut dan
membiaskan penyebab sebenarnya. Lah iya, masak sih, kejadian itu terjadi cuma karena
di Jakarta ada anak perempuan seorang jenderal besar diperkosa dan dibunuh
preman, akibatnya semua preman pun dibunuh karena balas dendam jenderal.
Sedangkan menurut
sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan mengatakan bahwa alasan mengenai
operasi ini tidak ada kaitannya dengan alasan di atas. Sumber-sumber itu
mengatakan bahwa alasan operasi tersebut yakni upaya pencegahan kriminalitas
ala Orba. Soeharto mengakuinya sebagai shock
therapy, terapi goncangan agar para kriminal saat itu jera.
Apapun itu, yang pasti pembantaian dalam peristiwa Petrus mewariskan ideologi kekerasan dan kesadisan pada masyarakat. Mereka semakin mafhum dengan cara kerja
kekerasan untuk merebut dan mengontrol sebuah kekuasaan.
Luka Petrus seolah memberikan pelajaran kepada masyarakat bahwa kekerasan adalah modal utama untuk mencapai kekuasaan. Persis sama dengan
ajaran Mein Kampf.***
Comments
Post a Comment