Sumber foto: kompas.com |
Hasilnya, setiap bunyi yang keluar akan menghasilkan nada yang menghanyutkan. Konon katanya, nada-nada itu memanggil orang datang ke pagelaran semisal wayang dan mereka merelakan diri masuk Islam untuk mengenal Tuhan lebih dalam.
Hingga sekarang, setiap Muludan tiba, gamelan di Cirebon yang disebut gong sekati ditabuh. Orang-orang berduyun-duyun datang. Bahkan orang-orang dari Trusmi rela berjalan kaki puluhan kilometer untuk mendengarkan alunan yang 'memabukkan' itu.
Tuhan benar-benar merasuk dalam kalbu mereka lewat nada ritmis nan syahdu. Menimang jiwa lewat telinga mereka.
Entah kenapa, tiba-tiba terpikir bahwa Tuhan dalam agama-agama tradisional adalah Tuhan yang didengar. Tuhan masuk lewat telinga dan hadir dalam diri manusia lewat bunyi nan indah. Lalu masuk ke dalam hati. Seperti bunyi-bunyian, Tuhan selalu dirindukan. Dia hilang bahkan setelah diucapkan. Tuhan muncul dalam rapalan dan doa-doa. Dalam syair dan ayat-ayat pemujaan.
Tuhan masuk lewat telinga dan perlu peresapan batin yang khusyuk untuk mempertahankannya lebih lama. Agar dapat berdiam di dalam diri sesaat saja. Tapi Tuhan tetap tak pernah berdiam. Dia selalu luput dari pelukan dan hamba pun perlu membaktikan diri lebih dalam lewat sebuah ritual pengbdian. Bahkan kadang ritual itu berupa penyiksaan badan.
Bunyi sepertinya telah menjadi instrument paling penting dalam agama tapi sedikit terlupakan dalam pembahasan. Bila diingat-ingat, bukankah wahyu turun dari langit lewat angin dan disampaikan dalam bunyi. Para sahabat mendengar, merasakan dan mencerap indahnya rupa Tuhan lewat ayat yang masuk ke dalam telinga.
Umar yang keras hatinya akhirnya pun luluh saat mendengar bunyi ritmis dari Tuhan. Semua manusia yang hatinya peka pastinya tak kuasa mengingkari keritmisan bunyi-bunyian, apalagi itu adalah sebuah ayat dari Tuhan. Realitas yang terpahami oleh telinga langsung tersambung ke hati sementara yang masuk melalui mata terhubung ke akal pikiran.
Dengan teori sekadaranya ini, aku menerka belaka bahwa wajar saja Pak Handoyo selalu kesusahan, susah setengah mati mencari sebuah tali yang bisa mengikat keliaran makna-makna yang muncul dari bunyi. Dia mencari inspirasi dari konsep-konsep ketuhanan dalam teologi dan filsafat.
Saat ngobrol denganku, Pak Han selalu mentok dengan kata "tidak begitu", "bukan seperti itu" terhadap konsep-konsep yang saya ketengahkan kepadanya. Konsep-konsep teologi yang lahir dari sebuah tulisan dan buku.
Pengalaman spiritualnya terlalu rumit untuk diiwakili kata. Pengalaman ketuhanan yang merasuki jiwanya itu tak sanggup disamakan dengan konsep Tuhan modern yang masuk lewat mata. Saya baru sadar, sesungguhnya Tuhannya Pak Handoyo adalah Dia yang masuk dan meresap lewat telinga. Spritualitasnya lahir setelah jiwanya bergetar dan bergerak mengikuti nada ritmis gamelan.
"Nada gamelan adalah nada alam. Nada yang keluar untuk kita dengar sebagai wujud eksistensi Tuhan," katanya suatu hari.
Pak Handoyo adalah seorang perindu yang selalu sepi di setiap panggung dan pagelaran kolosalnya. Dia selalu mencari Tuhan di balik bunyi gamelan yang dia dengar dan rasakan tapi tak pernah bisa dia lihat. Tak bisa diraba bahkan dalam tingkat pengertian. Jadilah Tuhan baginya adalah sebagai rasa yang lunak. Yang melunakkan hatinya. Menaklukkan jiwanya. Menjadi hamba seutuhnya.
Tuhannya tidak hadir lewat tulisan, buku, ajaran, atau kitab suci sekalipun. Tuhannya menjadi memiliki sifat yang tidak pasti, seperti pastinya Tuhan dalam teologi dalam sebuah tulisan. Dia tidak berbentuk dan tanpa sifat semua sifat yang pernah manusia saksikan. Sejatinya dialah Tuhan sebagaimana dirasakan hadir oleh manusia pada zaman lisan. Tuhan dari umat yang mendengar.***
Comments
Post a Comment