Judul: Kembali ke Jati Diri
Penulis: Roland Gunawan, dkk. (ed.)
Penerbit: Mizan dan Yayasan Rumah Kitab
Tahun: 2013
FENOMENA
mudik saat datangnya bulan suci Ramadan sudah menjadi tradisi masyarakat muslim
di Indonesia. Orang yang berada di kota-kota besar berduyun-duyun pulang ke
kampungnya masing-masing dalam waktu yang relatif bersamaan. Tak pelak, lalu
lintas transportasi pun kerap macet dan tentu saja selalu menarik perhatian
masyarakat dan media massa.
Ada banyak alasan
kenapa pada setiap Ramadan datangnya dan Hari Raya Idul Fitri, umat Islam di
Indonesia berduyun-duyun pulang kampung. Dari kesemuanya, alasan utamanya hampir
sama: puasa dan Idul Fitri tidak lengkap jika tanpa berkumpul bersama keluarga.
Tidak afdhol berpuasa di bulan penuh
berkah jika tidak disempurnakan dengan saling memaafkan saudara di kampung,
terutama sungkem kepada kedua orang
tua. Itulah orang Indonesia.
Selain
menyuguhkan cerita tentang mudik di bulan puasa, buku “Kembali ke Jati Diri: Ramadhan
dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Urban” menuturkan banyak cerita yang
berbeda-beda dari muslim Indonesia. Buku yang diterbitkan oleh Mizan ini
menyajikan berbagai pengalaman unik dari 30 tokoh dan ulama besar di Indonesia
saat menjalani ibadah puasa dan lebaran.
Ketua PBNU,
KH Said Aqil Siradj yang juga merupakan salah satu kiai di daerah Kempek,
Cirebon, dalam buku ini menuturkan pengalaman puasanya di kampung halaman.
Selain tradisi mengaji pasaran, Kang
Said menceritakan betapa indahnya menanti buka puasa di pematang sawah pinggir
pesantren sambil mengulang hafalan Alfiyyah-nya.
Bagi Kang Said, ada upaya kecil dan nyata umat Islam untuk mewujudkan
perdamaian di saat lebaran, yakni saat semua orang mengatakan “mohon maaf lahir
dan batin”.
Sementara
itu, Guru Besar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang, Dawam Raharjo
menuturkan dia selalu memanfaatkan waktu di libur puasa untuk membaca banyak
buku. Saat bulan puasa tiba, dia kerap ke rumah neneknya di Tempur Sari,
Klaten. Sambil duduk di kursi goyang milik kakeknya, Dawam membaca banyak buku
dan bahkan dari situlah sebenarnya dia belajar agama, filsafat dan sebagainya.
Cendikiawan
muslim lainnya, Azyumardi Azra berbagi cerita berlebaran di kampung halamannya
Pariaman, Alam Minagkabau, Sumatra Barat. Di saat Hari Rayo (Idul Fitri), Azra biasanya diajak untuk mudiak (mudik) ke tempat lahir Amak dan Amak. Di situ, Azra dan
saudara-saudaranya bersilaturrahim mengunjungi dunsanak (kerabat). Azra pun merasa sangat senang sekali di setiap
lebaran karena bisa “kembali ke asal.”
Cerita lain
yng tidak kalah unik juga diutarakan istri mendiang Gus Dur, Sinta Nuriyah
Wahid. Ibu Sinta mengatakan pengalamannya yang paling berkesan saat mudik
bersama Gus Dur. Saat itu, di atas kereta, tidak peduli banyak orang atau
tidak, Gus Dur langsung tidur. Ibu Sinta menuturkan, Gus Dur tidak tidur di
atas kursi, melainkan di bawah dengan beralaskan koran dan sebuah bantal
sewaan.
Selain itu,
ada banyak lagi cerita unik dan refleksi mendalam dari tokoh, ulama, kiai,
cendikiawan muslim Indonesia seperti KH Husein Muhammad, Siti Musdah Mulia, Lies
Marcoes, Mulyadhi Kertanegara, Budhy Munawar-Rachman, Oman Fathurahman, Jamal D
Rahman, M. Jadul Maula, Fadli Zon, Masriyah Amva dan masih banyak lagi.
Akhirnya,
buku semi auto-biografis ini memberikan kita banyak pelajaran berharga tentang
pengalaman berpuasa dan semua fenomena yang melingkupinya. Buku yang
menghadirkan banyak cerita dan makna mendalam tentang puasa dan lebaran dari
tokoh dan ulama Islam Indonesia ini layak dibaca. Sebagai bahan refleksi kita
tentang tradisi yang tidak pernah luput di setiap tahunnya. Anda pun dijamin
akan mendapat pengalaman berharaga dan makna baru tentang puasa di Indonesia.***
Comments
Post a Comment