Judul Buku: Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi
Penulis: Marzuki Wahid dan Hifdzil Alim (ed), Mahbub Maafi Ramdlan,
Muhammad Nurul Irfan dan Rumadi Ahmad.
Penerbit: Lakpedam PBNU
Tebal: XVI +175
KORUPSI di Indonesia sepertinya tak kunjung usai. Dari hari
ke hari, media massa memberitakan tindak pidana korupsi terungkap, pelakunya
tertangkap. Mengikuti kasus-kasus korupsi seakan mengikuti drama seri yang
ceritanya tak berpangkal ujung. Kini pun semua orang tahu, korupsi tidak hanya
menjangkiti lembaga eksekutif dan legislatif. Dia juga sudah merasuki lembaga
peradilan (yudikatif), lembaga tempat harapan terakhir masyarakat dalam
penegakkan hukum digantungkan. Setelah tiga lembaga utama dalam negara demokrasi
(trias politika) tersebut dijangkiti korupsi, harapan agar Indonesia terbebas
dari korupsi pun seolah sirna.
Bagaimana tidak, penangkapan demi penangkapan koruptor sudah
sering dilakukan baik oleh kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, tak sedikit tokoh masyarakat menyuarakan semangat anti-korupsi,
gerakan masyarakat melawan korupsi pun seringkali dilakukan, di atas mimbar
maupun di jalan-jalan. Di tengah semua ikhtiar itu, korupsi masih terus
berjalan, para koruptor terus saja bermunculan bahkan semakin menggurita.
Dari titik ini semua pihak mulai menyadari bahwa
pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilakukan di hilir saja. Penindakan
kasus korupsi tidak cukup untuk menghentikan tindakan rasuah yang merugikan
masyarakat banyak itu. Lembaga penegakkan hukum seperti KPK dan kepolisian
perlu mendapat dukungan semua masyarakat.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial-keagamaan
dengan basis dukungan terbesar di Indonesia dipandang mempunyai kekuatan dan
tanggung jawab untuk memastikan kemasalahatan umatnya dengan melakukan gerakan
memberantas korupsi di hulu. Buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi ini pun
memberikan angin segar bagi gerakan anti-korupsi dan setetes asa agar Indonesia
terbebas dari korupsi.
Buku ini melihat persoalan korupsi dari perspektif fiqh
(kaidah fiqh dan uhsul fiqh) khas tradisi NU. Buku ini memberikan penjelasan
tentang bahaya korupsi dan gagasan alternatif bagi umat untuk meneguhkan mental
anti-korupsi. Saat hukum dianggap hanya menyelesaikan masalah di hilir saja,
tawaran gagasan NU ini mencoba menyelesaikan masalah korupsi mulai dari hulu,
sejak dalam pikiran dan mental manusianya. Apa yang dilakukan NU ini
benar-benar merupakan praksis dari gagasan revolusi mental yang didengung-dengungkan
Presiden Joko Widodo.
NU menawarkan fiqh yang kemudian disebut sebagai fiqh
anti-korupsi yang bisa memberikan daya dorong teologis bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas muslim. Meskipun tidak harus masuk ke dalam hukum
positif, fiqh anti-korupsi akan menjadi energi iman bagi setiap muslim untuk
melawan korupsi. Fiqh anti-korupsi juga semakin meyakinkan masyarakat serta
tokoh-tokoh agama bahwa berjuang melawan korupsi itu sama dengan jihad.
Pandangan ini mengukuhkan bahwa agama Islam memandang perjuangan seseoang
melawan korupsi itu merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan keagamaan
(hal. 12-13).
Korupsi memang belum dikenal secara khusus dalam khazanah
fiqh klasik. Meskipun demikian kyai NU berprinsip tidak ada tindakan kejahatan
yang tidak memiliki status hukum. Kyai NU memandang korupsi sebagai fasad fi
ardl (kerusakan di bumi). Tindakan seperti itu tentu saja bertentangan dengan
tidak hanya hukum dan kemanusiaan, tapi juga syariat Islam (hal. 102).
Para kyai akhirnya mencatat setidaknya ada sembilan jenis
tindak pidana (jarimah) yang mirip dengan korupsi: ghulul (penggelapan),
risywah (gratifikasi/penyuapan), ghashab (mengambil paksa hak/harta orang
lain), khiyanat (pengkhianatan), al-maksu (pungutan liar), al-ikhtilas
(pencopetan), al-intihab (perampasan), as-sariqah (pencurian), dan al-hirabah
(perampokan). Tiga tindak pidana yakni penggelapan, pencurian dan perampokan
disebutkan di dalam Al-Quran sementara enam lainnya disebutkan Nabi SAW dalam
hadits (hal. 86).
Jelas bahwa masalah korupsi bukanlah masalah sekuler yang
sama sekali terpisah dari kehidupan beragama. Bahkan disebutkan bahwa tindak
korupsi pernah terjadi di masa Nabi Muhammad SAW. Saat itu, terjadi kasus
ghulul (penggelapan) yang dituduhkan sebagian pasukan perang Uhud terhadap Nabi
SAW. Hingga akhirnya Allah pun menurunkan ayat dan menjelaskan perihal
ketidakbenaran tuduhan tersebut dalam Surat Ali Imron (3): 161 (hal. 88).
Selain kasus di atas ada beberapa kasus lagi yang terjadi di
zaman Nabi seperti kasus budak bernama Mid’am atau Kirkirah yang menggelapkan
mantel, kasus seseorang yang menggelapkan perhiasan seharga 2 dirham dan kasus
gratifikasi petugas pemungut zakat, Ibnu al-Lutbiyyah di kampung Bani Sulaim
(hal. 86).
NU pun menentukan langkah jihadnya dengan memutuskan tindak
pidana korupsi dan pencucian uang sebagai kejahatan luar biasa yang pelakunya
bisa dihukum mati sebagai hukuman maksimalnya. Hal itu merupakan hasil
Keputusan Muktamar ke-33 NU pada 4 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur. NU
berpendapat, korupsi adalah kejahatan yang luar biasa karena dengan berbagai
bentuknya, korupsi jelas dilarang dalam ajaran agama. Korupsi juga menimbulkan
dampak buruk yang luar biasa dan berjangka panjang bagi kemanusiaan, bangsa dan
agama (hal. 104).
Tawaran lain dari NU yakni larangan bagi pelaku korupsi
untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi pejabat, pemimpin daerah ataupun
anggota DPR/DPRD. Karenanya, haram hukumnya mendukung atau memilih mereka sebab
para koruptor tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut. NU pun berpendapat
bahwa seluruh harta hasil korupsi harus dikembalikan kepada negara. Tidak hanya
itu, NU mengingatkan advokat yang membantu para koruptor karena membantu mereka
sama saja dengan membantu kedzaliman.
Akhirnya, di saat segala pemikiran dan gerakan melawan
korupsi dilakukan, buku ini menawarkan cara pandang lain terhadap tindakan
rasuah itu. Cara pandang yang dimaksud adalah cara pandang fiqh khas tradisi NU
yang tidak hanya melahirkan gagasan yang segar dan berani tapi juga
menghasilkan gerakan anti-korupsi yang berlandaskan pada ajaran Islam.
Buku ini
sangat tepat dimiliki oleh para pejabat publik, penegak hukum dan praktisi
hukum, akademisi, kyai dan santri, bahkan seluruh umat karena buku ini bisa menjadi
pegangan bagi mereka yang memerlukan landasan hukum agama dalam setiap sikap
dan tindakannya.***
Comments
Post a Comment