Skip to main content

Kegamangan Epistemologis 'Wong Cerbon'



TIGA tahun lalu, saat ke lapangan untuk mengumpulkan data Tesis Sarjana saya di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, saya menemukan ketidakpercayaan diri dari seorang pribumi di Desa Karangkendal. Namanya Syatori, dia guru SD di Karangkendal yang menulis cukup banyak tentang legenda Syekh Magelung Sakti. Saya pun mendatanginya karena dia dipercaya masyarakat sebagai orang yang paling tahu legenda tersebut. Benar saja, dia sangat fasih bercerita tentang Syekh Magelung. 

Dia juga sudah menuliskan legenda itu dalam beberapa makalah dan artikel. Tapi, ada sebersit ragu di dalam dadanya. Pak guru itu selalu bertanya, apakah cerita yang ia tuliskan tersebut sejarah ataukah bukan?

Andai sejarah yang ia tuliskan, tentu saja cerita tersebut harus dipangkas habis sesuai dengan metodologi ilmu sejarah. Dan kalau cerita itu harus disebut sejarah, maka dia yakin 99 persen bagian dari cerita itu harus dihapus. Seperti legenda dan cerita rakyat di mana-mana, ia tak logis, tak memiliki sumber tertulis dan tak diajarkan di sekolah ataupun kampus. Lalu, apakah cerita-cerita tersebut itu sampah ataukah hanya cerita pengantar tidur saja?

Kegamangan yang agak serupa juga diungkapkan Mahrus elMawa dalam tulisannya “Menelisik Filsafat Pengetahuan Cirebon” yang dimuat HU Fajar Cirebon, Sabtu 29 Desember 2016. Dalam tulisannya, Doktor dalam bidang Filologi ini mengatakan bahwa wong Cerbon tidak perlu lagi minder, takut, atau tidak yakin dengan kesahihan pengetahuan Cirebon. Dia menawarkan tacit knowledge ala Polanyi sebagai epistemologi alternatif untuk ‘mengesahkan’ pengetahun Cirebon secara ilmiah. 

Epistemologi ini dia tawarkan untuk wong Cerbon sebagai tandingan atas epistemologi positivistik yang menguasai dunia kelimuan di Indonesia.  

Saya kira, apa yang telah dilakukan Mahrus tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Cirebon sebelumnya, yakni menggugat epistemologi ‘baku’ dan menawarkan epistemologi tandingan yang lebih ramah pengetahuan lokal. Meskipun sebenarnya beberapa karya sudah membuktikan bahwa pengetahuan lokal Cirebon bisa keluar dari belenggu kolonisasi epistemologis tersebut. 

Sebut saja misalnya Muhaimin AG yang menulis tentang ‘Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cirebon’. Dalam buku tersebut, Muhaimin mendobrak dikotomi santri, abangan dan priyayi yang digariskan Clifford J. Geertz dan menawarkan pembacaan baru atas masyarakat, dalam hal ini masyarakat Islam di Cirebon.

Muhaimin lebih memilih narasi-narasi lokal Cirebon seperti folklor, ritual, situs keramat, puji-pujian dan apa yang dipercaya masyarakat dibanding narasi mapan para peneliti asing. Realitas yang dia lihat bukanlah sesuatu yang harus tunduk pada metanarasi dan teori besar yang menyilaukan. Tapi teori itu hanya digunakan untuk bisa menyingkap realitas. 

Betapapun canggih satu teori, dia lahir dari pikiran manusia yang tersekat ruang dan waktu. Penggambaran satu teori untuk realitas tertentu tak mutlak sahih untuk realitas lainnya. Inilah yang harus diyakini dan dipegang teguh wong Cerbon.    

Melawan kegamangan epistemologis juga pernah saya coba lakukan saat mengerjakan Tesis Sarjana itu. Banyak yang ‘mencibir’ kenapa membuat tugas akhir dengan mengangkat cerita rakyat dengan ritus dan situs lokalnya? Menurut mereka cerita itu biasa saja dan tidak bernilai akademis. Bahkan cerita-cerita sejenis pun banyak berceceran di Cirebon. Yang banyak dan berceceran bukankah itu menunjukkan tidak berguna? Tidak laku? 

Saya membayangkan, katakanlah setiap desa di Cirebon punya dua atau tiga cerita rakyat, bisa dibayangkan berapa banyak cerita itu tergeletak tanpa pernah ‘dipungut’ akademisi karena dianggap tidak bernilai akademis.

Meskipun demikian, saya tetap yakin bahwa bangsa Indonesia akan terbebas dari kolonisasi pengetahuan jika kita bisa memunculkan narasi-narasi kita sendiri, narasi tentang realitas masyarakat kita sendiri, bukan realitas yang dibelenggu teori-teori besar. 

Dosen-dosen ISIF seperti Mahrus elMawa, Marzuki Wahid, Opan S. Hasyim, Nurul Huda, Wakhit Hasyim dan masih banyak lagi, meyakinkanku bahwa tidak ada ilmu yang benar-benar bebas nilai, objektif. Ia subjektif dan multitafsir, oleh karenanya selalu mungkin bagi banga Indonesia, termasuk wong Cerbon untuk membangun sendiri ‘madzhab kita’, ‘paham kita’ atau ‘pengetahuan kita’.

Jadi, saya melihat bahwa keminderan wong Cerbon itu bukan tentang sahih tidaknya pengetahuan Cirebon tapi lebih kepada alam pikiran kita yang belum juga mampu keluar dari hegemoni pengetahuan Barat yang positivistik. Padahal, di Barat-nya sendiri, madzhab positivistik mulai ditinggalkan umatnya, kita yang di Indonesia saja yang masih menyembahnya. 

Situasi seperti ini, kalau boleh menduga-duga, terjadi karena kita ‘gagal’ menemukan (menentukan) jati diri karena terlalu sibuk ‘mencari kiblat’. Sudah begitu, kita malas untuk berinovasi dan melakukan kritik tajam terhadap pengetahuan dan ilmu. Jangan-jangan, pelan tapi pasti kita sebenarnya mulai menempatkan ilmu sebagai dogma, atau bahkan agama.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: