Skip to main content

Meneropong Dialektika Fiqh Indonesia

Judul : Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia
Penulis : Marzuki Wahid
ISBN : 979245794-1
Tebal: xlix + 484
Terbit: 2014
Penerbit: ISIF dan Marja 

FIQH atau hukum Islam merupakan pemahaman umat Islam atas teks di dalam Al-Quran ataupun Hadis. Karena dia adalah pemahaman, maka dia selalu tergantung dengan konteks pemahaman yang melingkupinya. Artinya, fiqh menampilkan wajahnya sesuai dengan karakter umat Islam di suatu zaman dan tempat tertentu. Karakter, masa dan ruang yang berbeda dimana umat Islam hidup akan menghasilkan hukum yang berbeda pula.

Fiqh berbeda dengan Al-Quran yang bersifat qadim, lintas batas ruang dan waktu. Kalau hukum di dalam Al-Quran bersifat mutlak maka fiqh bersifat fleksibel dan dinamis. Fiqh di Arab Saudi tentu berbeda dengan yang ada di Yaman. Begitupun dengan fiqh yang ada di Indonesia.

Begitulah kiranya yang ingin ditunjukkan penulis buku ini, KH Marzuki Wahid. Dalam bukunya ini, dia menyorot dengan tajam perjalanan dan liku-liku fiqh Indonesia dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pedoman hakim dalam menyelesaikan perkara kewarisan, perkawinan, dan pewakafan.

KHI yang disusun dari 38 kitab fiqh dibentuk Tim Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi yang seluruhnya, kecuali KH Ibrahim Husein, berasal dari Depag dan MA. SKB antara Kapala MA dan Menteri Agama tentang pelaksanaan proyek tersebut merupakan prakarsa Presiden Soeharto. Andil Soeharto dalam proyek ini pun terlihat menonjol dimana pada 10 Desember 1983, dia mengeluarkan Keppres tentang pelaksanaan proyek tersebut dengan biaya Rp230 juta, semuanya dari kantong pribadi presiden, bukan APBN.

Dengan demikian, KHI adalah sebuah produk hukum yang lahir dari proses politik Orde Baru. Maka, dengan begitu, KHI merupakan cerminan kehendak sosial dari rezim tersebut. Kehadirannya pun sejalan dengan motif-motif sosial, budaya dan politik tertentu dari Orde Baru.

KH Marzuki pun dari berbagai literatur, mencermati bahwa KHI yang dihasilkan dari rezim Orde Baru itu membawa karakter sendiri. KHI cenderung menjadi sarana pembenaran atas institusi-institusi sosial bentukan penguasa seperti KUA dan Pengadilan Agama. Selain itu, KHI tidak bisa lepas dari reduksi hasil dialog agama dan negara, Islam dan Pancasila Orde Baru. KHI yang dirumuskan dengan baku dan kaku, yang dijadikan norma tunggal yang memaksa juga membuatnya menjadi konservatif.

Dari situ, tidak salah kiranya, saat penulis menyebut KHI sebagai fiqh madzhab negara. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa negara melalui aparatusnya menafsir dan memutuskan hukum Islam. Hal itu juga sebagai simbol kenyataan intervensi negara atas otoritas dan watak fiqh.

Pembahasan tidak sampai hanya di situ. KH Marzuki Wahid pun melengkapi dialektika fiqh dalam ruang lingkup politik dan kebijakan hukum  dengan menghadirkan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sebagai antitesa dari KHI. CLD-KHI, dimana penulis buku merupakan salah seorang anggota tim inti perumusnya, disebutkan sebagai alternatif untuk menciptakan fiqh yang lebih demokratis, pluralis dan adil gender.

Tim CLD-KHI mengatakan, beberapa pasal dalam KHI secara prinsipal berbeda dengan prinsip dasar Islam yang universal, seperti persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ukhuwwah) dan keadilan (al-‘adâlah). Sebagian pasal KHI juga disebutnya tidak sesuai lagi dengan undang-undang yang berlaku dan sejumlah konvensi internasional yang telah diratifikasi. Selain itu, KHI juga terkesan hanya duplikasi hukum fikih ulama zaman dulu di Timur Tengah. Konstruksi KHI belum disesuaikan dengan sudut pandang umat Islam Indonesia.

Dari situ, penulis buku ini menegaskan bahwa CLD-KHI menawarkan rumusan syari’at Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter asli kebudayaan Indonesia.

Secara umum, buku yang merupakan hasil penelitian ini menghadirkan bahwa hukum yang diciptakan manusia selalu berbeda dengan hukum Tuhan. Hukum manusia selalu niscaya untuk lapuk.  

Akhinya, buku ini patut dibaca oleh semua praktisi hukum di Indonesia, mahasiswa, akademisi, terutama dalam kajian hukum karena selain memberikan pemahaman tentang perjalanan pelembagaan hukum Islam di Indonesia, buku ini juga menghadirkan sedikit dari sekian banyak wajah fiqh Indonesia.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...