Judul: Dari Hari ke Hari
Penulis: Mahbub Djunaedi
Penerbit: Surah Sastra Nusantara
Tahun: 2014
NOVEL Dari Hari ke Hari sejatinya pernah
diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1975. Kemudian baru pada tahun 2014, oleh
Surah Sastra Nusantara, novel pemenang sayembara mengarang roman dari Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1974 ini kembali diterbitkan.
Penerbitan kembali tersebut tentu mengingatkan
kembali kepada penulisnya, Mahbub Djunaedi, yang merupakan tokoh penting dalam
sejarah bangsa, khususnya di dunia tulis-menulis.
Novel Dari Hari ke Hari bercerita tentang
perjalanan tokoh utama yakni seorang anak kecil dari Jakarta ke Yogyakarta
beserta lika-likunya. Dia ikut pindah dengan orang tuanya, seorang pejabat
pemerintahan, menyusul perpindahan Ibu Kota Negara Indonesia kala itu.
Dalam suasana jaman seperti itulah, Mahbub
menggunakan sudut pandang “bocah cilik” untuk merekam aneka peristiwa. Tak
ayal, peristiwa mencekam dan menegangkan saat revolusi kemerdekaan menjadi
ringan penuh kelakar, lucu dan kadang gregetan karena dilihat dengan kacamata
keluguan dan kejujuran khas anak kecil.
Dengan cara pandang demikian, Mahbub berusaha
membuka sesuatu di balik peristiwa dan menghadirkannya secara sederhana kepada
pembaca. Itulah yang terus mengalir sepanjang cerita.
Lihatlah seperti contoh dialog kecil antara
Sang Bocah dengan guru sejarahnya, Pak Bedjono (halaman 29-30). Sang Bocah
dengan lugunya “nyeletuk”: “Tapi kita selalu kalah melulu,” saat gurunya itu
sedang menjelaskan pemberontakkan bangsa Indonesia terhadap kolonial Belanda.
Dari situlah Mahbub mengkritisi kebijakan
pemerintah saat itu melalui mulut Pak Bedjono: “Kali ini kau benar. Persis
seperti itulah pendapatku juga. Biarpun soal ini sebenarnya belum patut jadi
urusanmu, juga bukan urusanku sebagai guru, tapi semua orang harus menganggap
perundingan dam persetujuan Linggarjati itu satu kemunduran dam sia-sia. Sama
halnya dengan melucuti semangat perlawanan rakyat yang sedang bergolak di
mana-mana...”
Interupsi dari Sang Bocah itu benar-benar
dibuat Mahbub selugu mungkin sehingga seolah dia berujar tanpa pretensi. Mahbub
ingin menyampaikan suatu pesan dengan tanpa kita perlu menggunakan logika yang
njelimet. Tidak perlu memutar otak untuk menyimpulkan dan mengatakan bahwa
Perundingan Linggarjati tidak sejalan dengan semangat perlawanan rakyat.
Dengan amat cerdas dan halus, Mahbub, dengan
kata lain, mengajak pembaca untuk menemukan paradoks-paradoks dalam kehidupan
kala itu melalui cara pandang Sang Bocah yang lugu. Cara pandang “bocah cilik”
yang apa adanya tersebut dia persembahkan kepada pembaca dengan terus
mempertanyakan yang terjadi (das sein). Pergumulan itulah yang dengan
sendirinya membimbing pembaca untuk kembali berfikir ke sesuatu yang ideal,
yang harusnya terjadi (das sollen).
Dan tentu saja pembaca akan menemukan sendiri
paradoks-paradoksnya dengan mudahnya, mana-mana yang harusnya terjadi tapi
tidak terjadi dan mana-mana yang perlu dikritisi. Sampai di sini, Dari Hari ke
Hari berhasil mengajak wong cilik untuk terus berfikir kritis dengan logika
yang sesederhana mungkin.***
Comments
Post a Comment