Skip to main content

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek
Makam Syekh Magelung Sakti.
Dok. Pribadi. 
SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu.

Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:
Ki Jare/Ki Campa

Dalam perjalanan dari Syam menuju Cirebon, Syekh Magelung sering mampir ke daerah-daerah tertentu. Syekh Magelung pun mengajarkan agama Islam di daerah-daerah tersebut.  Salah satu daerah yang dilewatinya adalah  Negeri Campa. Dari Negeri Campa, Syekh Magelung mendapatkan seorang murid yang dikenal dengan nama Ki Cempa. Ki Campa bersama Ki Wandan kemudian dibawa serta oleh Syekh Magelung ke Cirebon.

Ki Tuding/Ki Wandan

Selain Ki Campa, saat singgah di Negeri Wandan, Syekh Magelung mendapatkan murid yang disebut dengan nama Ki Wandan. Ki Wandan bersama Ki Cempa turut serta mengikuti Syekh Magelung untuk menyiarkan agama Islam di Cirebon.

Alkisah diceritakan, suatu sore Syekh Magelung melihat anak kecil dari santrinya. Mungkin karena anak tersebut terlihat tak terurus, Syekh Magelung kemudian menyuruh Ki Wandan agar anak tersebut diolai. Maksudnya adalah diurus dengan dimandikan dan diganti pakaiannya. 

Akan tetapi, perintah tersebut ditafsirkan berbeda oleh Ki Wandan. Ki Wandan ngolai anak tersebut seperti layaknya ngolai (mengolah) ikan. Ki Wandan membelah perut anak tersebut, mencuci bersih kemudian memotong-motongnya.

Setelah mengetahui bahwa apa yang dilakukannya merupakan kesalahan fatal atas salah tafsir terhadap perintah Syekh Magelung, akhirnya Ki Wandan melarikan diri dan bersembunyi di Desa Tegal Semaya hingga akhir hayatnya.

Adapun pisau yang digunakan untuk ngolai anak tersebut adalah pisau bandang awak, yakni pisau yang gagangnya langsungan, antara pisau dan gagangnya terbuat dari satu bahan. Sampai sekarang, menurut para orang tua, memakai pisau sejenis itu menjadi pantangan bagi masyarakat Karangkendal.

Raden Mantri Jayalaksana

Raden Mantri Jayalaksana (Sumantri) adalah murid sekaligus anak angkat Syekh Magelung yang ilmunya cukup mumpuni. Raden Mantri ditugaskan untuk menghadapi Antaboga, utusan dari Kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh waktu itu merasa khawatir dengan penyebaran agama Islam yang kian meluas. Galuh pun berupaya menghancurkan pertahanan Cirebon sebelah utara dengan mengutus Antaboga.

Raden Sumantri pun bertarung dengan Antaboga di Sungai Ketapang Ragas Desa Kertasura Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon. Keduanya pun diceritakan gugur dalam medan laga. Konon, sungai tersebut seringkali terlihat berwarna merah. Menurut para orang tua, warna merah tersebut karena air sungai bercampur dengan darah keduanya. 

Ki Gede Tersana

Salah satu cerita pergumulan Syekh Magelung dengan muridnya yang tak kalah mashur yakni terjadi saat dia berjumpa dengan Ki Tersana. Dikisahkan, saat itu Syekh Magelung memikirkan bahwa dia memerlukan tetabuhan yang akan digunakannya untuk mengiringi adzan saat masuk waktu shalat. Hingga akhirnya dia mendengar suara tetabuhan dari arah utara. Setelah ditelusuri, ternyata suara indah tersebut berasal dari kediaman Ki Tersana.

Syekh Magelung pun meminta izin kepada Ki Tersana untuk meminjamkan alat musik itu kepadanya. Akan tetapi, Ki Tersana mengatakan tidak ada gamelan di rumahnya. Sesaat kemudian, aneh, dengans sendirinya terdengar suara gamelan bersahutan dari dalam rumahnya.

Dalam hati, Ki Tersana membatin bahwa ilmunya dapat dikalahkan oleh Syekh Magelung. Akhirnya Ki Tersana pun mempersilakan Syekh Magelung membawa gamelan ajaib tersebut dengan syarat dia diperbolehkan untuk menjadi santri Syekh Magelung dan turut serta pulang ke Karangekendal.

Akan tetapi, Syekh Magelung menolak permintaan dari Ki Tersana, sebab dia tahu bahwa Ki Tersana setiap hari harus makan satu manusia.  Andai Ki Tersana ke Karangkendal, pastinya warga Karangkendal habis dimakannya.

Ki Tersana pun bernegosiasi dengan mengatakan bahwa manusia bisa diganti dengan kerbau. Syekh Magelung masih keberatan dengan syarat tersebut, sebab harta benda warga Karangkendal bisa ludes jika setiap hari harus memberikan seekor kerbau kepada Ki Tersana.

Ki Tersana pun mengalah dengan mengatakan kerbaunya cukup diberikan setahun sekali saja. Tapi Syekh Magelung masih berkebaratan dan menyanggupi memberikan rujak wuni saja setiap tahunnya. Akhirnya Ki Tersana pun setuju dengan ketentuan seperti itu dan menetap hingga akhir hayat di Karangkendal.

Hingga sekarang, makam Ki Tersana masih berada di dalam kompleks makam Sykeh Magelung Sakti dan banyak dikunjungi masyarakat Indramayu, khususnya dari Desa Tersana.

Selain menjadi seorang syekh yang mengajarkan Islam di Pesantren Karang Braid an Curug Landung, Syekh Magelung pun beberapa kali menjadi aktor kunci dalam peperangan Kerajaan Cirebon melawan berbagai negara. Dalam perang apa saja dia terlibat, tentu ulasannya akan tersaji dalam tulisan berikutnya.*** (bersambung)

Comments

  1. Replies
    1. Niki kula Rosyid. Sebagaimana dalam profil. Silakan bisa menghubungi saya lewat email.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...