Judul: Wajah Toleransi NU
Penulis: Dr. Phil. Gustian Isya Marjani
Penerbit: RM Books
Tahun: 2012
INDONESIA tidak
terdiri dari satu golongan atau agama saja, akan tetapi dia terdiri dari
berbagai macam suku, ras, agama dan kepercayaan. Oleh karenanya, dibutuhkan
sikap toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin
kesejahteraan semua masyarakat satu bangsa.
Buku yang merupakan Disertasi dari Gustian
Isya Marjani di Universitas Hamburg, Jerman
tahun 2005 ini memaparkan toleransi Nahdlatul Ulama (NU) terhadap
kebijakan pemerintah atas umat Islam Indonesia. Dengan begitu, buku ini
mendedahkan sikap dan peran organisasi masyarakat Islam terbesar itu sepanjang sejarah
bangsa Indonesia.
Jika bicara tentang sejarah peran NU, tentu
sudah banyak buku yang membahasnya. Telah diketahui dan disebutkan juga dalam
buku ini bahwa NU sejak lahirnya merupakan organisasi yang gigih memperjuangkan
nasib bangsa Indonesia, terutama masyarakat muslim tradisional. Hal itu
ditunjukkan diantaranya saat di zaman Belanda, NU kerap bersitegang karena
sejumlah kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan tidak adil. Buku ini pun
kembali memutar rekaman hubungan NU dengan pemerintah Jepang yang jinak-jinak
merpati.
Akan tetapi, yang cukup menarik dalam buku
ini yakni saat penulis dengan begitu gamblang menjelaskan polemik pemberlakukan
Pancasila sebagai asas tunggal di tahun 1985. Ide pemberlakukan asa tunggal itu
sendiri lahir dari Soeharto tahun 1982. Sontak saat itu, masyarakat Islam
Indonesia pun menentang dan mengatakan hal itu tidak sejalan dengan demokrasi
yang mengakui pluralitas Indonesia. Gelombang selanjutnya, muncul banyak
gerakan yang mendesak agar Piagam Jakarta kembali diterapkan.
Di tengah situasi demikian, NU melalui
Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, justru menyatakan menerima asas tunggal
Pancasila. Dalam muktamar itu pun tonggak baru NU dicanangkan dengan menyatakan
diri untuk meninggalkan arena politik praktis dan kembali pada khittah 1926. Terang
saja, saat itu banyak tokoh Islam selain NU mengatakan sikap NU itu benar-benar
pragmatis dan oportunistik. Benarkah demikian?
Nyatanya NU bersikap demikian bukan tanpa
alasan. Adalah KH Ahmad Sidiq, sang konseptor, mengatakan, ideologi dan agama
bukan dua hal yang harus dipilih salah satu dan membuang yang lain. Pancasila
bersifat duniawi sedangkan agama Islam adalah wahyu Allah, keduanya tidak bisa
dicampuradukkan. Apalagi, umat Islam ikut andil dalam merumuskan Pancasila dan
nilai-nilainya pun telah disepakati sebagai sebuah kebenaran menurut sudut
pandang Islam.
Hal ini membuktikan NU tidak seperti yang
dituduhkan banyak tokoh Islam bahwa NU mengambil pendekatan oportunis politik seperti
yang diakatakan Lukman Harun, Muhammad Dawam Raharjo, Amin Rais, Nurcholis
Madjid ataupun Douglas E. Remage.
Menurut Greg Barton, yang menggunakan
perspektif NU dalam menyikapi polemik ini, justru menyaatakan sikap NU untuk
meninggalkan politik praktis adalah satu bentuk pengakuan terhadap kenyataan
bahwa kegiatan politik atas nama partai Islam cenderung kontraproduktif bagi
masyarakat. Bahkan, beberapa aspek menimbulkan sekterianisme yang dapat merusak
masyarakat.
Secara garis besar, buku ini berbeda dengan
buku sejenis yang mejelaskan hubungan NU dan negara karena proses pencarian dan
penelitiannya. Sebagai disertasi, tentu buku ini menggunakan standar dan data
yang diakui kadar keilmiahannya. Selain itu, sepertinya sudah banyak buku lain
yang mendedahkan tema ini meski dengan persepektif dan fokus yang berbeda.
Apapun itu, buku ini layak dibaca oleh para
mahasiswa Perguruan Tinggi Islam, muslim NU ataupun para pencinta sejarah
hubungan Islam dan negara. Buku ini pun akan semakin melengkapi buku-buku
sejenis dan semakin memperkaya pengetahuan dari perjalanan sejarah sebuah
organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia.***
Comments
Post a Comment