Skip to main content

Senja di Karangkendal (6)

Gerbang masuk Komplek Makam Syekh Magelung Sakti.
Dok. Pribadi.
KERAJAAN Cirebon makin berkembang pesat dan makin besar pengaruhnya sebagai pusat penyebaran agama Islam. Saat itu, yang menjadi raja adalah Sunan Gunung Jati sementara Syarif Abdurrahman sebagai panglima pertahanan dan keamanan serta Mbah Kuwu Cirebon sebagai pengayom atau pemayungnya.

Setelah Mbah Kuwu Cirebon berusia lanjut, dia pun bermaksud untuk bersemedi untuk kemuliaan anak cucunya kelak. Posisinya sebagai Pemayung Cirebon pun kosong. Melalui sidang dewan wali, akhirnya terpilihlah Syekh Magelung Sakti sebagai Pemayung Cirebon pengganti Mbah Kuwu Cirebon dengan gelar Syarif Wilayatullah.
Ketika Syekh Magelung jarang datang ke Keraton Cirebon, Sunan Gunung Jati mengutus dua orang patihnya untuk memastikan keadaannya. Sesampainya di Karangkendal, kedua utusan tersebut diterima Ki Campa. Kepada kedua utusaan Cirebon tersebut, Ki Campa mengatakan bahwa Syekh Magelung sedang shalat.

Kedua utusan itu pun menunggu Syekh Magelung selesai shalat. Akan tetapi, hingga keluar waktu shalat, Syekh Magelung tidak juga keluar. Saat Ki Cempa dan kedua utusan itu memberikan salam hingga tiga kali, tidak sedikitpun suara terdengar menyahut.

Ki Cempa pun akhirnya membuka pintu kamar tempat Syekh Magelung Shalat dan didapati Syekh Magelung sudah tidak berada di tempat, hanya ada dua gulungan tikar berjajar bekas tempatnya shalat.

Kedua utusan Cirebon itu pun memberitahu kejadian tersebut kepada Sunan Gunung Jati. Kedua utusan itupun diperintahkan untuk kembali lagi ke Karangkendal untuk memastikan kejadian sebenarnya. Ki Campa pun membuka kembali pintu kamar Syekh Magelung.

Ternyata, kedua gulungan tadi kini berubah menjadi dua kuburan berjajar.  Maka, keramat Syekh Magelung itu disebut bukan kuburan melainkan pesarean yang artinya tempat tidur Syekh Magelung Sakti. Konon, sampai sekarang Syekh Magelung masih hidup.*** (Tamat)

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...