STRUKTURALISME menjalar
di semua semikiran sosial Perancis pada 1960-an. Pemikiran strukturalisme juga
merupakan titik awal dari lahirnya posstrukturalisme dan posmodernisme.
Strukturalisme adalah sebuah reaksi melawan humanisme Prancis, terutama eksistensialis
Jean-Paul Sartre. Dengan begitu, kita harus melihat kemunculan strukturalisme,
poststrukturalisme dan posmodernisme dalam pertentangannya dengan humanisme
eksistensialisme.
Dalam karya-karya
awalnya, Sartre memusatkan perhatian pada kebebasan individu. Apa yang
dilakukan seseorang ditentukan dirinya sendiri, bukan aturan sosial atau
struktur sosial. Namun dalam perkembangannya, Sartre tertarik pada teori
Marxis. Meski dia tetap berfokus pada “individu bebas”, tapi individu
tersebut kini tersituasikan dalam sebuah struktur sosial yang massif dan
menindas.
Gila Hayim (1980)
melihat ada semacam keberlangsungan antara awal dan akhir pemikiran Sartre. Dia
melihat Sartre dalam Being and Nothingness (1943) lebih memfokuskan pada individu bebas
yang memilki pandangan bahwa eksistensi ditentukan oleh dan melalui tindakan
seseorang. “Kita adalah apa yang kita lakukan.”
Tentu saja dia tak
sepakat bahkan menyerang pandangan strukturalis yang meyakini bahwa struktur-struktur objektiflah yang menjadi
penentu perilaku, sepenuhnya. Bagi para eksistensialis, manusia bertanggung jawab terhadap apa
yang mereka lakukan. Tanggung jawab dan kebebasan itu adalah sumber terbesar
kesengsaraan mereka. Takdir manusia ada pada tangan manusianya sendiri.
Sementara dalam karya
selanjutnya, Critique of Dialectical
Reason (1963), Sartre memang
lebih banyak memperhatikan struktur sosial. Walau begitu, dia juga menekankan
preogratif manusia untuk melampaui takdirnya. Sartre memberikan kritik pada
pemikir Marxis yang terlalu menekankan peran dan tempat struktur sosial.
Menurut Sartre, mereka telah menghilangkan unsur humanistik dalam gagasan asli
Marx.
Strukturalisme dan
Gelombang Peralihan Linguistik
Strukturalisme memang
memfokuskan diri pada struktur, tapi berbeda dengan struktur yang menjadi
perhatian utama fungsionalisme struktural. Yang pertama fokus perhatiannya pada
struktur linguistik sementara yang kedua pada struktur sosial. Perubahan fokus
dari struktur sosial ke linguistik ini disebut peralihan linguistik.
Asal mula strukturalisme
tidak bisa lepas dari linguis Swiss Ferdinand de Saussure (1857-1913). Saussure
membedakan antara langue dan parole. Langue merupakan system gramatika yang formal. Sistem unsur-unsur bunyi
yang diatur oleh hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Sementara parole adalah cara penutur menggunakan bahasa untuk mengungkapkan diri
mereka. Langue bisa dipandang sebagai sebuah sistem tanda
(struktur) dan makna setiap tanda dihasilkan oleh hubungan antara tanda-tanda
dalam sistem tersebut.
Sebagai contoh, makna
kata panas tidak muncul dari properti intrinsik kata tersebut (rasa terbakar
misalnya), tapi dari hubungan kata tersebut dengan oposisi binernya, dingin. Dengan begitu, makna, pikiran dan sosial dibentuk oleh bahasa.
Jadi yang terjadi bukanlah manusia yang membentuk lingkungannya melainkan
struktur bahasa yang membentuk manusia dan dunia sosialnya.
Perhatian pada struktur
kemudian diperluas dari fokus pada bahasa menjadi fokus pada tanda, semiotika. Semiotika lebih luas dari linguistik structural karena tidak
hanya mencakup bahasa tapi semua bentuk tanda dan sistem simbol lainnya. Roland
Barthes dianggap sebagai pendiri semiotika sesungguhnya. Dialah yang memperluas
pemikiran Saussure pada berbagai bidang kehidupan sosial. Tidak hanya bahasa,
perilaku sosial pun merupakan representasi atau tanda.
Strukturalisme
Antropologis Claude Levi-Strauss
Antropolog Prancis
Claude Levi-Strauss memperluas karya Saussure tentang bahasa. Levi-Strauss
menerapkan strukturalisme secara lebih luas pada berbagai bentuk komunikasi.
Penemuannya adalah mengkonseptualisasikan ulang serangkaian fenomena sosial
sebagai sistem kamunikasi, dengan begitu fenomena sosial tersebut kemudian
dapat dianalisis secara struktural.
Untuk memahami pemikiran
Levi-Strauss kita bisa menggambarkan contoh persamaan antara sistem linguistik
dan sistem kekerabatan, sebagai berikut:
Pertama, kekerabatan layaknya fonem dalam bahasa,
merupakan unit analisis terkecil bagi antropolog struktural.
Kedua, kekerabatan dan fonem tidak memiliki
makna di dalam dirinya sendiri. Mereka mendapatkan makna hanya ketika menjadi
bagian integral dalam sistem yang lebih besar.
Ketiga, Levi-Strauss mengakui bahwa ada perbedaan
empiris dari satu pengaturan ke pengaturan lain dalam sistem fonemik dan
kekerabatan.
Levi-Strauss berpendapat
bahwa sistem fonemik maupun sistem kekerabatan merupakan produk dari sistem
pikiran. Namun kedua hal itu bukan merupakan produk dari sebuah proses sadar,
melainkan dari proses tidak sadar struktur pikiran yang logis. Sistem itu
beroperasi berdasarkan hukum umum. Levi-Strauss mendefinisikan struktur yang
mendasari pikiran sebagai struktur yang paling fundamental.
Marxisme Struktural
Sebagian kalangan
berpendapat bahwa aliran pemikiran strukturalisme dimulai ketika Marx berasumsi
bahwa struktur tidak sama dengan hubungan-hubungan yang kasat mata dan
menjelaskan logika tersembunyi mereka.
Pemikir Marxis
struktural memiliki kesamaan dengan pemikir strukturalis dalam:
1. Perhatian mereka pada
studi atas struktur sebagai prasyarat pada kajian sejarah.
2. Harus memperhatikan struktur atau sistem yang
terbentuk dari saling memengaruhi dalam hubungan sosial.
3. Melihat struktur sebagai sesuatu yang nyata,
meski tidak kasat mata.
4. Menolak definisi empiris dari apa yang
dianggap sebagai struktur sosial.
Akan tetapi mereka
berbeda seperti bagi Levi-Strauss yang menjadi pusat perhatian adalah struktur
pikiran, sedangkan bagi para Marxis struktural fokus mereka adalah struktur
yang melandasi masyarakat.
Marxisme struktural juga
tidak secara umum berpartisipasi dalam peralihan linguistik yang saat itu
tengah berlangsung dalam ilmu sosial. Perhatian utama mereka tetap pada
struktur sosial dan ekonomi, bukan linguistik. Lagi pula, mereka tetap
dikaitkan dengan teori Marxis.***
Sumber: George
Ritzer. Teori Sosiologi: dari
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Posmodern. Edisi Kedelapan Cetakan Kedua (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014).
Comments
Post a Comment