Judul:
Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia
(1945-1949)
Penulis:
Zainul Milal Bizawie
Penerbit:
Pustaka Compass
Tahun: 2014
SEJARAH tak
hanya ditulis oleh para pemenang saja, tetapi juga dia dilahirkan dari rahim
kekuasaan. Pada tahap selanjutnya, perkawinan keduanya pelan tapi pasti
membentuk metanarasi yang menyembunyikan yang “liyan” di balik jubah kebenaran
versi penguasa. Metanarasi dalam sejarah bangsa ini menahbiskan apa yang
disebut dengan sejarah sebagai yang direstui dan distempel penguasa dan
kemudian disebut sejarah “resmi”. Sejarah yang tidak direstui, karena satu dan
lain sebab, kemudian perlahan tapi pasti mulai tersingkir.
Di masa Orde
Baru, militerisasi penulisan sejarah terjadi secara sistematis hingga disebarkan
secara luas ke seluruh relung pendidikan di Indonesia. Dalam sejarah Orde baru,
Indonesia digambarkan sebagai bayi yang diselamatkan para tentara. Dengan
demikian, peran orang di luar tentara seperti para agamawan, cendikiawan,
pedagang, petani dan buruh, ditiadakan.
Buku Laskar
Ulama-Santri dan Resolusi Jihad ini berupaya mengangkat apa yang oleh
metanarasi dalam historiografi Orde Baru yang disembunyikan begitu rapinya.
Penulis buku, Zainul Milal Bizawie, menghadirkan peran para ulama dan santri
pesantren dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Penulis, dengan lihainya, mendobrak sejarah resmi negara yang selama ini “tidak
mengakui” peran ulama-santri dalam perjuangan kemerdakaan disertai dengan
referensi yang tak terbantahkan.
Ulama-santri
selalu konsisten melawan kolonial Belanda karena penjajah itu banyak melakukan
penindasan dan mengganggu tegaknya agama Islam. Tak jarang, perlawanan tersebut
melahirkan perang besar seperti Perang Diponegoro. Selain dari kalangan
bangsawan, dalam perang yang membuat VOC bangkrut tersebut, para ulama-santri
dari berbagai penjuru Jawa turut serta. Ketika Pangeran Diponegoro ditangkap
(1830) para kyai tetap konsisten melakukan perlawanan.
Sisa-sisa
pasukan Diponegoro seperti Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai
Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan
Basyari Tegalsari Ponorogo dengan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan di kemudian
hari tumbuh menjadi pioner bagi terbentuknya kembali jaringan ulama nusantara. Keterikatan dan perjuangan mereka pun
diteruskan oleh generasi-generasi penerusnya seperti Syekh Nawawi Banten, Kyai
Sholeh Darat, Syekh Mahfudz At Tirmasy,
Kyai Abdul Djamil, Kyai Abass Buntet, Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahab
Hasbullah.
Hingga tahun
1880-an, Ulama-santri ini terus melakukan perlawanan secara kultural dengan
tidak memedulikan tawaran Politik Etis dari Belanda. Pesantren, tempat para
ulama-santri belajar pun, akhirnya ditempatkan di luar sistem pendidikan
Pemerintahan Belanda dan pesantren tidak beri subsidi sepeser pun.
Di tengah
situasi Politik Etis, berbondong-bondong anak-anak bangsa Indonesia belajar di
sekolah-sekolah untuk pribumi agar bisa bekerja di perusahaan Belanda.
Sementara pesantren tetap tegar mengambil dalan sendiri dan berpegang teguh
kepada tradisinya. Akan tetapi, situasi yang lebih bebas untuk belajar dan
berkelompok tersebut akhirnya mempengaruhi juga pergerakan ulama santri.
KH Wahab
Hasbullah yang mempunyai keinginan mengumpulkan dan memberdayakan kelompok
Islam tradisional pada 1914 mendirikan sebuah kelompok diskusi Tashwirul Afkar dan Islam Study Club. Selanjutnya berdiri juga kelompok kerja Nahdlatul Wathon, organisasi pemuda Syubhanul Wathon dan pada puncaknya
berdirilah Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926
untuk membela kepentingan kalangan Islam Tradisional.
Sejarah
bangsa pun terus diungkapkan Sang Penulis dan seakan tidak pernah sepi dari
kiprah para ulama-santri di dalamnya, termasuk ketika Jepang berhasil menduduki
wilayah Hindia Belanda. Disebutkan, dalam masa tersebut, terbentuklah Laskar
Hisbullah dari para pemuda-pemuda NU.
Dan
puncaknya, sumbangsih ulama-santri bagi Bangsa Indonesia terlihat jelas pada
saat lahirnya resolusi jihad 17 September 1945 dan kemudian keluarnya fatwa
jihad 20 November 1945, seruan untuk membela Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Ulama-santri yang tergabung dalam Laskar Hisbullah, Sabilillah dan Mujahidin
dan lain-lain bergerak bersama melawan penjajah.
Dengan
melihat isi buku, jelas terlihat ini merupakan upaya penulis untuk menyampaikan
sejarah bangsa Indonesia dari perspektif kalangan santri. Bisa dikatakan, buku
ini menjadi tulisan sejarah yang patut diperhitungkan. Sebab, buku ini
menyajikan fakta yang memperkaya sejarah dari sebuah bangsa yang sangat besar
untuk direkam hanya dari satu sisi.***
Comments
Post a Comment