SAYA heran dan ragu terhadap kata ‘speechless’. Heran karena kata ini marak sekali digunakan terutama
oleh anak-anak muda zaman sekarang. Kalau dialihbahasakan kata ini mungkin setara
dengan ‘diam tanpa kata’. Begitu marak penggunaannya membuat orang yang
belum mengerti artinya mencari-cari di Google maupun mesin
perambah lain.
Salah satu mesin perambah, Yahoo dengan kanalnya Yahoo Answer
membuka ruang tanya jawab tentang arti kata ini. Salah satu akun memberikan
jawaban terbaik menurut Yahoo. Dia menjawab pengertian speechless dengan pengertian sebagai berikut:
Speechless itu kehilangan kata-kata, yang bisa dikarenakan berbagai hal seperti gugup, terlalu mengagumi, takut, lupa dan seolah tidak ada kata-kata yang pas untuk diucapkan.
Salah satu hal yang pernah membuatku speechless adalah ketika mendapat pernyataan cinta dari orang yang kita sayangi dengan cara yang sangat romantis. ada juga hal buruk yang bikin speechless yaitu lupa kata-kata apa yang harus diucapkan pada saat ikut speech contest, ehehehe, semoga berguna.
Sejurus kemudian saya juga ragu terhadap speechless karena ada makna tersembunyi di balik kata tersebut. Saya pun menebak-nebak, speechless tidak lain menunjukkan bahwa kita berada suatu tempat di mana ‘kata’ tak mampu lagi menjembatani antara ‘kita’ dan ‘realitas’.
Iya, kata ini digunakan saat tidak ada lagi kata yang bisa kita gunakan untuk menyebut realitas yang kita temukan atau alami. Biasanya realitas tersebut adalah realitas non-inderawi atau tidak kasat mata seperti perasaan dan segala yang tak terjangkau akal. Inilah ambang batas kata.
Iya, kata ini digunakan saat tidak ada lagi kata yang bisa kita gunakan untuk menyebut realitas yang kita temukan atau alami. Biasanya realitas tersebut adalah realitas non-inderawi atau tidak kasat mata seperti perasaan dan segala yang tak terjangkau akal. Inilah ambang batas kata.
Andai demikian adanya maka ada paradoks dalam frase ‘bahasa
hati’ atau ‘mengatakan isi hati’, Yang pertama, paradoks karena bahasa lekat
dengan kata sementara warna-warni hati tidak pernah bisa dikatakan secara utuh.
Sementara yang kedua mungkin lebih tepat ‘mengatakan suka’ atau ‘mengatakan
cinta’. Tapi hati butuh lebih banyak bunga bukan? Jadi sah-sah saja ada
ungkapan ‘mengatakan isi hati’, iya kan sob? ☺
Lalu, entah kenapa keduanya serasa tepat jika ditampilkan
lewat sastra dan seni, tidak dengan prosa atau katakan sejenis chat yang kaku. Sastra lebih ngenah untuk mengungkapkan apa yang tak
dapat diungkapkan kata. Apalagi puisi yang dengan begitu presisinya
menggambarkan warna-warni perasaan yang tak tertuliskan lewat kata. Apakah
benar kata orang-orang, sastra dan puisi itu merdeka dari segala otoritas,
termasuk otoritas nalar (bahasa)?
Yang pasti, sastra semakin menunjukkan pada kita bahwa
memang ada ambang batas kata, di mana realitas yang begitu beraneka ragam tak
pernah mampu diwakili kata. Bukankah ilmu manusia hanya setetes saja dari ilmu
Sang Maha Pencipta?
Itulah kenapa para sufi dan para salik lebih ngenah menggunakan sastra dan seni untuk menggambarkan perjalannya menuju Tuhan. Kata yang presisi tidak mampu menampung pengalaman luar biasa para sufi, kalaupun dipaksakan akan ada guncangan sosial karena kata yang presisi menghadirkan rasio dibanding rasa, sastra dan seni sebaliknya.
Itulah kenapa para sufi dan para salik lebih ngenah menggunakan sastra dan seni untuk menggambarkan perjalannya menuju Tuhan. Kata yang presisi tidak mampu menampung pengalaman luar biasa para sufi, kalaupun dipaksakan akan ada guncangan sosial karena kata yang presisi menghadirkan rasio dibanding rasa, sastra dan seni sebaliknya.
Teks Agama
Oke, kalau sudah kita berjalan di pengertian yang sama, lalu bagaimana kalau kata yang dimaksud di atas adalah teks
agama, Al-Quran dalam Islam atau Injil dalam agama Kristen dan yang lainnya. Apakah teks agama
tersebut melingkupi segalanya atau ia sama belaka dengan teks-teks lainnya yang
mempunyai keterbatasan dalam menyingkap realitas?
Saya tidak mempertanyakan orisinalitas teks agama ataupun
kemutlakan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Tapi yang jadi pertanyaan
adalah apakah teks Tuhan itu bisa ‘dipahami’ manusia sebagaimana aslinya?
Adakah makna yang dimaksud Tuhan dalam teks agama itu bisa direngkuh oleh
manusia? Apakah bahasa manusia mampu mengatasi segala kehendak Tuhan lewat teks?
Silakan dijawab, gan. ☺☺
Nah, kalau menurut uraian speechless
ala kadarnya di atas, maka tetap saja kata tidak bisa melingkupi segala ilmu
dan pengetahuan, realitas yang ada. Belum lagi bicara perbedaan konteks
turunnya ayat dan dinamika perubahan manusia dari dulu hingga sekarang. Belum
lagi bicara perbedaan kultur manusia di setiap bagian dunia. Tentu akan ada horison
berbeda pada setiap kebudayaan dalam memahami teks agama.
Tapi ada yang kekal dalam setiap teks, ia adalah semangat
dan nilai yang terkandung di dalamnya. Ada universalitas nilai dalam
setiap teks manusia dan hal itu akan terus abadi melewati ruang dan waktu. Tapi
dia juga bukan tanpa perubahan, ia dinamis dan selalu ada dialog kebudayaan
di setiap interaksinya dengan manusia. Wallahu a’lam.***
Comments
Post a Comment