Skip to main content

Logos tanpa Penghayatan


PADA saat dewa-dewa dan dewi-dewi mitologi Yunani ‘dibunuh’, mitos menjadi logos. Relativisme ekstrem zaman Yunani membawa akibat fatal di bidang politik. Dalam politik waktu itu, tidak berlaku lagi ‘benar’ dan ‘tidak benar’. Hal yang dibutuhkan seorang politikus waktu itu ialah teknik meyakinkan (retorika).

Relativisme dan ketidakpastian kebenaran membawa bencana dan kesengsaraan bagi rakyat dan inilah yang dilawan Sokrates, Plato dan Aristoteles. Mereka mengatasi krisis itu dengan membunuh dewa-dewi dalam mitologi Yunani (entgoetterung) dan menggubah logos.

Tapi kita lupa bahwa pada saat itu pun, mereka tak mencipta logos untuk menghapuskan sama sekali kebenaran mitos. Kebenaran mitos ada pada penghayatan hidup sementara kebenaran logos lebih teliti, murni namun abstrak dan dingin. Logos tidak boleh lepas dari penghayatan. 

Ini sama dengan teks yang tidak boleh lepas dari konteks, tulisan yang tidak boleh lepas dari ujaran, informasi yang tidak boleh lepas dari tabayun, atau teori yang tidak boleh lepas dari praktik kehidupan.

Muncul masalah jika logos berdiri angkuh sendirian, dia dingin dan melupakan pluralitas dan absurditas kehidupan. Inilah yang ditolak terang-terangan oleh orang-orang post-strukturalis macam Jasques Derrida dan teman-temannya. Logosentrisme, begitu dia menyebutnya adalah bahaya laten dari manusia zaman sekarang. Bahkan dia otak dari segala kekerasan, pembantaian manusia dan perang. 

Masalah juga hadir tentu saja jika kita hanya mengandalkan mitos dengan kekayaan tafsirnya menjadi relatif dan tidak pasti. Dialog merupakan salah satu jalan tengah untuk segera beranjak dari hegemoni logos ataupun anarkisme mitos. Dan saya melihat di antara keduanya, sastra begitu liat. Ia dengan cantik terus menggeliat dari logos dan mitos karena ia menampilkan yang tak pasti, tak pernah tunggal.

Apapun itu, kekhawatiran Derrida sangat beralasan karena logos tersublim dalam dan ada di mana-mana, berada di setiap sendi kehidupan kita di zaman ini. Salah satu logos tersimpan dalam sebuah ajaran agama. 

Akhir-akhir ini kita banyak disuguhkan bagaimana agama --yang di dalamnya bersemayam kebenaran mutlak menurut penganutnya—dipahamai hanya sebagai teks, logos yang dingin, tanpa penghayatan, tanpa keseharian, berjarak sama sekali dengan kehidupan.

Ajaran agama yang dipahami secara tekstual menyingkirkan penghayatan dan berujung pada pe-liyan-an. Agama menjadi buta terhadap realitas manusia dan tidak hadir menjadi etika sosial yang mengatur kehidupan bersama.

Ajaran agama yang dipaksa sebagian manusia (dengan kuasanya) menjadi logos akhirnya mengubah agama jadi sekadar lembaga penghukum, bukan penerang jalan kehidupan manusia yang gelap gulita.

Bahayanya adalah saat pemahaman tersebut –dan pemahaman serupa-- seolah-olah mengabsahkan untuk meniadakan yang liyan. Catatan sejarah sudah membuktikan bagaimana logos yang dingin itu membumihanguskan etnis dan kelompok tertentu yang di-marginal-kan.

Jika merunut apa yang telah dilakukan mula-mula oleh Sokrates, sebenarnya ayat-ayat agama yang dibekukan menurut satu tafsir kebenaran saja adalah sebuah tindak mencipta logos. Dan motif dari penciptaan logos adalah kepentingan politik, bukan agama. 

Politik butuh kepastian, sebuah noktah hitam di atas kertas putih. Maka wacana seputar Al-Maidah ayat 51 sebenarnya bukan tentang agama, tapi lebih tentang (upaya) politik berebut kuasa.

Jika benar demikian, saya jadi rindu ucapan Gus Dur yang mengatakan bahwa ada yang lebih tinggi dari politik, ia adalah kemanusiaan. Wallahu a'lam.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: