MITOS, legenda dan dongeng dari masa lalu mungkin dapat diambil manfaat bagi kajian sosial kemasyarakatan di masa sekarang. Semua kisah dari masa silam tersebut agaknya bukan semata-mata cerita hampa belaka, sebab bukan tidak mungkin di balik uraian mitos, legenda, dan dongeng tersimpan peristiwa sejarah yang sangat disamarkan atau sengaja disamarkan dengan tujuan tertentu namun tetap layak untuk diingat.
Demikian dikatakan oleh seorang arkeolog Agus Aris Munandar dalam buku Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuno. Dalam catatannya mengenai Mitos dan Peradaban Bangsa ada langkah menarik yang dilakukan arkeolog asal Indramyu ini. Dia menganalisis mitos, legenda dan dongeng dari seluruh penjuru nusantara, mulai dari Suku Daya Ngaju, Batak, Nias, Sumba, Flores, Minahasa, Toraja, Kanekes, hingga Jawa.
Dari sekian banyak cerita tersebut, dan mengelompokkannya berdasar tema yang dibahas dalam mitos. Adapun ilustrasinya sebagai berikut:
Mitos Etnik
|
Tema Lautan
atau Gelombang Lautan
|
Tema Pohon
Keramat
|
Penghormatan
kepada Gunung/Batu Besar
|
Tema Lain
|
Daya Ngaju
|
Ya
|
Ya
|
Ya
|
Penghormatan kepada buaya
|
Batak
|
Ya
|
Ya
|
-
|
|
Nias
|
-
|
Ya
|
-
|
|
Sumba
|
-
|
-
|
Ya
|
Kekuatan merapu bisa ditemukan dimana saja
|
Flores
|
-
|
Ya
|
Ya
|
|
Toraja
|
Ya
|
Ya
|
Ya
|
|
Minahasa
|
-
|
-
|
Ya
|
|
Kanekes
|
-
|
-
|
Ya
|
Pembagian tiga dunia
|
Jawa Kuna/Jawa
|
Ya
|
Ya
|
Ya
|
Pembagian tiga dunia
|
Orang To/Pembuni (Sulsel)
|
-
|
Ya
|
Ya
|
Dewa Tertinggi menjelma menjadi pohon beringin
|
Orang Tajio (Sulteng)
|
-
|
Ya
|
Ya
|
Pemujaan pada Doti yang bersemayam di pohonan dan batu besar
|
Dari serentetan cerita kuno tersebut, fokus pertama Agus yakni pada adanya fenomena air bah atau banjir besar yang kemungkinan besar terjadi pada masa lalu Nusantara. Cerita mengenai fenomena alam itu juga tersirat pada cerita Aji Saka yang menceritakan datangnya kebudayaan India ke Jawa. Dalam cerita Aji Saka, Agus memandang bahwa dalam cerita tersebut terdapat cerita kuno lokal yang lebih tua yakni tentang banjir yang menenggelamkan permukiman manusia.
Bukan hanya di Indonesia, cerita dengan tema banjir besar juga ditemukan di beberapa wilayah Asia Tenggara dan Australia. Lalu apakah kesamaan ini hanya kebetulan belaka? Lalu kenapa juga ada kesamaan orang Nusantara tentang penghormatan terhadap pohon hayat dan meluhurkan tempat yang tinggi seperti gunung. Bahkan meyakini bahwa gunung menjadi tempat bersemayamnya Hyang (Tuhan)?
Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan perspektif kebudayaan dan kajian folklor (cerita rakyat) Nusantara dan Asia Tenggara. Pertama, berarti kita mesti menganggap bahwa cerita rakyat itu penting bagi pelacakan persitiwa masa silam Nusantara. Kedua, kajian tersebut perlu dilakukan lintas batas karena masa lalu tak mengenal batas teritorial kenegaraan seperti sekarang.
Agus pun menarik sebuah hipotesa bahwa mitos-mitos tersebut bisa jadi berasal dari sejarah yang sebenarnya terjadi pada masa lalu. Selayaknya folklor, cerita tersebut berkembang dan memiliki banyak versi dan bumbu-bumbu. Cerita tersebut diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan dan tersebar ke banyak daerah. Oleh karenanya, jalan cerita, penamaan tokoh sangat beragam, tapi yang penting adalah ada beberapa kesamaan yang menjadi pondasi utama cerita. Dan ini yang menurut Agus sangat menarik untuk dipelajari.
Sejuruh kemudian, Agus menawarkan interpretasi yang menurutku cukup menantang yakni zaman dulu, pernah terjadi banjir besar yang melanda bumi Nusantara. Banjir tersebut tetap dikenang oleh mereka yang selamat dan menceritakannya kepada anak cucu mereka secara lisan dan sampai ke kita sebagai mitos dan legenda.
Kedua, adanya sebuah pohon yang tinggi dan besar yang menyelamatkan mereka dari bencana banjir tersebut. Pohon itu memberikan kehidupan, pohon hayat. Pohon juga yang kemudian dipandang oleh masyarakat Nusantara sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia adi-manusia.
Ketiga, adanya penghormatan kepada gunung dan tempat-tempat tinggi juga menunjukkan bahwa manusia di Nusantara pada zaman banjir besar tersebut bisa selamat karena mereka naik ke puncak-puncaknya. Gunung juga menjadi pusat peradaban serta dipercaya sebagai asal sekaligus tempat bersemayam arwah nenek moyang.
Keempat, tema perahu sebagai (media) penyelamat semakin menegaskan bahwa memang pada zaman lampau telah terjadi peristiwa yang begitu melekat di ingatan masyarakat. Melalui cerita-cerita lisan, ingatan tentang peristiwa besar itupun mencoba disampaikan sebagai wasiat untuk generasi setelahnya.
Segala tafsiran tersebut mengundang keyakinan bahwa cerita yang dituturkan secara lisan di tengah masyarakat merupakan ingatan kolektif mereka. Meski ia pralogis dan bervariasi, tapi cerita ini punya bangunan inti yang relatif sama dan bisa dimaknai secara historis. Jika pun penuh residu irasionalitas dan dianggap 'cacat' karena tanpa catatan tertulis yang mengiringinya, tetap ia merupakan warisan peradaban Nusantara yang paling otentik dan perlu dikaji secara serius.***
Comments
Post a Comment