SALAH seorang
dosen di ISIF dulu pernah menjelaskan tentang pluralisme dengan sangat
sederhana namun cerdas. Dia menjelaskan hal itu dari pembuktian bahwa manusia itu
niscaya sangat terbatas dalam memahami realitas, baik realitas faktual maupun
realitas tekstual.
Hari itu, tiba-tiba saja dosen yang lebih banyak diam tersebut menggambar sebuah garis melengkung di papan tulis yang mirip cermin dalam
pelajaran Fisika SMA. Sejurus kemudian, dia bertanya pada mahasiswanya.
“Apakah garis ini cembung ataukah cekung?”
Saya dan beberapa teman lain menjawab cermin cembung, tapi
tak sedikit yang menjawab itu adalah gambar cermin cekung. Masing-masing dari
kita pun mengutarakan pendapatnya masing-masing dan beberapa lagi memaksakan
pendapatnya dengan nada yang lebih tinggi.
“Sudah, sudah,” kata sang dosen menengahi.
“Ini adalah gambar cermin cembung sekaligus cekung.
Dua-duanya benar. Kalau kalian berada di sisi kiri garis ini, kalian akan
melihat ini sebagai cermin cekung. Tapi jika kalian berada di sisi kanan garis
ini, maka akan terlihat cermin cembung,” katanya
menjelaskan.
Keterbatasan manusia adalah keterbatasan ruang dan waktu
yang membuatnya berada pada satu dimensi tertentu. Setiap orang menempati ruang
dan waktu yang berbeda. Tak ada lebih dari satu manusia yang bisa menempati
dimensi yang sama di alam ini. Dimensi keberadaan manusia itu memberikan sudut
pandang yang meniscayakan perbedaan pemahaman dalam diri mereka.
Kemudian guruku itu melanjutkan penjelasannya bahwa satu
garis saja telah membuat kita berbeda. Di luar sana lebih banyak hal yang selalu
dipandang berbeda dan nahasnya perbedaan yang sudah sunnatullah itulah yang
menimbulkan ketegangan antar sesama.
Jadi, alangkah bijaknya kita jika berpegang pada apa yang
kita yakini tapi tak pernah memaksakan hal tersebut kepada orang lain. Sebab,
yang kita yakini itu akan selalu berbeda dengan apa yang diyakini orang lain.
Itulah hakikat pluralitas dan toleransi.
Kau tahu, dosen yang kumaksud itu adalah KH Mahsun Muhammad,
saudara kandung KH Husein Muhammad. Dia tak cuma seorang dosen, tapi juga seorang kyai di pesantrennya.
Orang Buta dan Gajah
Kisah yang lebih melegenda tentang pluralitas yang tak
terhindarkan dari makhluk yang bernama manusia juga diceritakan berabad-abad
lamanya. Cerita ini lebih populer dalam versi seorang sufi Jalaluddin Ar-Rumi
dalam kitab Matsnawi, cerita ini diterjemahkan
dalam bahasa Inggris dengan judul The
Elephant in The Dark House. Guru Rumi, Hakim Abu Al-Majd Majdud Sanai, sebenarnya
lebih dahulu menceritakan kisah ini yang diterjemahkan J. Stephenson menjadi The Walled Garden of the Truth.
Cerita ini saya dapatkan dari rubrik Khazanah di Republika online. Ada sebuah negeri yang semua penduduknya buta. Lalu raja
beserta rombongannya lewat kota tersebut. Rombongan raja membawa pasukan dan
diantaranya adalah seekor gajah perkasa, yang digunakannya untuk berperang.
Penduduk kota itu sangat antusias ingin melihat gajah
tersebut, dan beberapa dari mereka yang buta pun berlari untuk mendekatinya.
Karena sama sekali tak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka
hanya bisa meraba-raba, mencari kejelasan dengan menyentuh bagian tubuhnya.
Masing-masing hanya menyentuh satu bagian, tetapi berpikir telah mengetahui
sesuatu.
Sekembalinya ke kota, orang-orang yang hendak tahu segera
mengerubungi mereka. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka mencari tahu
tentang kebenaran kepada sumber yang sebenamya telah tersesat.
Mereka bertanya tentang bentuk dan wujud gajah, dan menyimak
semua yang disampaikan.
Orang yang tangannya menyentuh telinga gajah ditanya tentang
bentuk gajah. Ia menjawab, "Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan lebar
seperti permadani."
Orang yang meraba belalai gajah berkata, "Aku tahu yang
lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip pipa lurus bergema,
mengerikan dan suka merusak."
Terakhir, orang yang memegang kaki gajah berkata,
"Gajah itu kuat dan tegak, seperti tiang."
Demikianlah kiranya keterbatasan manusia dalam memahami
segala realitas dalam kehidupan ini. Tanpa sadar, kita pun terjebak ke dalam
keterbatasan tersebut lewat keyakinan buta yang menghalalkan segala cara. Maka
dari itu para alim ulama sedari dulu selalu percaya bahwa semakin berilmu dan
beragama seseorang, maka semakin dia tidak mudah menyalahkan yang berbeda.
Orang yang berilmu sadar bahwa akan selalu ada pemahaman
lain. Oleh karenanya, dalam kitab karya mereka selalu saja ada berbagai macam
pendapat untuk satu perkara yang dibahas. Tradisi juga mengajarkan bahwa mereka
selalu menuliskan wallahu ‘alam di
setiap penghujung karyanya sebagai bentuk kesadaran total bahwa tak ada yang
mempunyai pemahaman sempurna, manusia hanya mengetahui sepotong-sepotong saja.***
Comments
Post a Comment