DULU sekali, Cirebon adalah sebuah daerah besar yang dikenal
seantero negeri. Ia adalah perwujudan dari sebuah daerah yang multikultur dan
disegani. Sebuah daerah yang menjadi simbol peradaban baru, peradaban Islam yang
berdiri di atas segala perbedaan. Sebuah peradaban agung rajutan para Wali dan
keturunan raja.
Cirebon sebelum datangnya Islam masuk
ke dalam daerah kerajaan Singhapura memiliki pelabuhan yang ramai. Pelabuhan
inilah yang membuat daerah ini dikenal para saudagar mancanegara. Konon, kayu-kayu
jati telah sekian lama menjadi primadona yang diekspor ke penjuru dunia.
Tercatat, Laksamana Ceng Ho
pernah berlabuh di daerah ini. Bahkan tersiar kabar Ceng Ho sempat membuatkan
mercusuar di Pelabuhan Muara Jati.
Pelabuhan telah menjadi urat nadi
kehidupan masyarakat. Sementara pantai menjadi penyambung hidup dan laut
menjadi ruh kehidupan para penduduknya. Keterkaitan erat masyarakat dan
pelabuhan serta lautnya ini dihancurkan bertubi-tubi saat Belanda datang dan
menguasai jalur perdagangan laut.
Belanda menjauhkan Cirebon dari
interaksinya dengan dunia luar, termasuk dari mitra dagangnya dari Arab, China
dan India. Cirebon diisolasi dan diubah jiwa baharinya dengan dibangun jalan
batu serta rel kereta. Jutaan nyawa melayang dalam kerja paksa pembangunan
infrastruktur masa Belanda.
Tapi kerugian terbesarnya adalah
hilangnya karakter manusia bahari dalam jiwa masyarakat Cirebon dan sekitarnya.
Tapi Cirebon masih bisa
dibanggakan karena punya perkebunan yang menghasilkan. Catatan manis masih ditorehkan
hingga masa-masa perkebunan tebu Cirebon menguasai pasar dunia. Setelah Belanda
hengkang dan pasar gula terus melemah, perkebunan tebu mulai mengalami
penurunan.
Ada juga produksi udang yang
membuat kota ini dikenal dengan sebutan Kota Udang. Sebutan yang diwariskan kompeni
(VOC), lalu Belanda dan terus dilestarikan hingga kini.
Saat tebu mulai kehilangan pamor,
periode 1980-an bangkitlah industri rotan. Industri pengolahan rotan ini
berhasil menghasilkan nilai ekspor yang sangat tinggi, bahkan bagi Indonesia. Tapi
itu dulu, sekarang tidak lagi. Meskipun masih terus berproduksi, sentra
pengolahan rotan tak segemilang dulu. Sekarang, rotan telah tenggelam.
Kini setelah zaman perkebunan lewat, rotan tak bisa jadi harapan, udang mulai hilang, dan pelabuhan sudah jarang kapal yang datang. Cirebon hanyalah akan menjadi kota yang bakal dilupakan. Atau, jangan-jangan memang Cirebon kini sudah dilupakan. (Kompas tahun 2008)
Sekarang apa yang bisa
dibanggakan. Cirebon kota wali hanya sebuah keyakinan tak berdasar. Pameo yang
muncul karena keampuhannya melumpuhkan logika rakyat saat Pilkada.
Udang yang
menjadi simbol kebanggaan pemerintah daerah pun seolah tak mempunyai
relevansinya dalam kehidupan: sisi kehidupan sebelah mana yang menunjukkan
kedigdayaan udang. Kecuali romantisme sejarah yang lagi-lagi ‘dijual’.
Jalan tol Cikopo-Palimanan dan
Metropolitan Cirebon Raya juga bukan hal yang pantas dibanggakan. Tol Cipali
tidak akan memberikan apa-apa bagi Cirebon saat jalan sudah bisa tembus hingga
Semarang, atau bahkan Surabaya. Metropolitan Cirebon Raya pun tak lebih dari
politik nina bobo provinsi dalam menghadapai ‘pemberontakan’ Cirebon.
Jalan tol, bandara, pelabuhan,
dan semua konsep pembangunan hanya untuk kepentingan pusat atas lokal.
Sekarang, Cirebon bukan apa-apa. Sepertinya benar kata orang, Cirebon sudah mulai
dilupakan.
Cirebon masa kini tak lebih dari
sebuah titik kecil dalam bangunan kapitalisme yang dalam logika operasionalnya selalu
menguntungkan para pemodal. Industri, hotel, mall dan toko modern yang selalu memenangkan
panggung. Sementara para penduduknya harus rela mundur dan terus terdesak
hingga pelosok kabupaten.
Dengan begitu, Cirebon sama
dengan ratusan bahkan ribuan kota lainnya, tak ada yang beda, tak ada yang
istimewa. Oleh karenanya wajar bila ia mulai dilupakan orang.
Tak ada yang tersisa dari daerah
kecil ini kecuali tentu saja lagu-lagu lama yang serba indah dan serba megah
itu: Cirebon adalah Kota Wali. Sebuah utopia yang direnda dari sejumput
keyakinan bahwa Cirebon adalah puser bumi, pusat semesta, sumber segala hal yang
baik dan megah.
Jadi, saya kira cukup sudah kita
merasa gumede bahwa Cirebon adalah sebuah
peradaban besar. Ia sejatinya kerdil belaka karena tak punya apa-apa selain kaset
romantisme yang terus-terusan diputar ulang. Kita rakyatnya pun nyaman dan tak
merasa bosan mendengarkan maupun mendendangkannya.
Hei kau, lekas bangun dari
mimpimu. Berkaryalah untuk hari ini dan esok hari yang indah!***
Comments
Post a Comment