Skip to main content

Guruku Kyai Pesantren

Foto: Syarif Enambelas
KAWANKU minggu kemarin bilang, ada salah seorang teman yang berkata bahwa kebanyakan alumni pesantren Miftahul Muta’allimin Babakan, Ciwaringin, Cirebon, itu mempunyai pemikiran yang liberal. Saya tidak tahu persis maksud liberal yang dimaksud teman kawanku itu. Yang pasti, dia sebenarnya pernah nyantri di pesantren yang sama. Tapi mungkin dia mempunyai jalan pikir yang berbeda sehingga muncul stigma yang tak karuan arah.

Kalau liberal yang dimaksudkan olehnya gara-gara kawanku yang juga alumni pesantren itu aktifis lintas iman dan sering silaturahmi ke Gereja dan Pura, maka mungkin dia salah. Sebab, para kyaiku dulu selalu mengajarkan tentang cara menghormati sesama manusia, lepas dari apapun agamanya. Tak jarang dia juga membawa orang berbeda agama ke pesantren dan mendiskusikan Islam Indonesia yang penuh kedamaian, Islam Indonesia yang jauh dari kekerasan dan terorisme.

Andai sematan ‘liberal’ itu diarahkan gara-gara kita-kita para alumni pesantren banyak yang mendengungkan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, HAM dan kesetaraan gender, maka lagi-lagi dia salah. Sebab, para kyaiku tidak hanya mengajarkan tentang fiqh yang kaku tapi juga seluk-beluk dan kerumitan penerapannya, uhsul dan kaidah fiqh juga ilmu pendukung lainnya.

Kami diberikan pengajian tentang konteks, tentang hidup dan tentang ‘ngaji rasa’. Kami diajarkan manthiq supaya bisa berpikir jernih tak asal hujat dan manut saja. Kami juga diajarkan balaghah supaya bisa merasakan indahnya bahasa dan memahami bahwa setiap teks tak sekedar kata tanpa makna.

Di pesantren, kami diajarkan tidak hanya tubuh tapi juga ruh, tidak hanya fiqh tapi juga tasawuf. Bukankah fiqh tanpa tasawuf itu sama saja dengan tubuh tanpa ruh, dan tasawuf tanpa fiqh sama dengan ruh tanpa tubuh.

Kami ingat bahwa keduanya penting untuk bersanding agar hukum tak melulu tentang hitam putih, tapi berwarna, seperti halnya kehidupan. Kami dididik untuk tak lagi gagap saat membenturkan aturan-aturan agama dengan realitas kehidupan yang ada. Semuanya itu guruku yang mengajarkan, kyai-kyai dari pesantren.  

Kami juga belajar fiqh bukan dari fiqh praktis ataupun dari satu kitab kuning saja. Kami belajar belasan bahkan puluhan kitab, yang sebagian besar pendapat pengarangnya berbeda-beda. Kami terbiasa dengan perbedaan pendapat semacam itu, dan kami tak pernah menyalahkan salah satu pendapat dari para mushannif-nya. Semuanya kami hormati dan selalu kami kirimkan Al-Fatihah setiap kali membaca kitab hasil karyanya.  

Maka, apapun nama dari pengetahuan itu, sistem itu, ilmu itu, filsafat itu, aturan itu, selagi sesuai dengan nilai-nilai Islam, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai yang melahirkan kemaslahatan bagi orang banyak, maka kami akan sebarkan.

Kami tak akan gagap dan patah arang meski dihadang ribuan teks yang dibuat bertolak belakang dengan spirit kebaikan itu. Karena di pesantren kami dikenalkan dengan isi. Bentuk apapun yang ditawarkan, kami tahu mana yang seharusnya diperjuangkan.

Kau tahu, sedari kecil kami diajarkan para kyai pesantren untuk bersikap egaliter. Semua manusia itu setara di mata Allah Yang Maha Kuasa. Saya akan sedikit cerita satu kejadian yang tak akan pernah terlupa.

Waktu itu Abah Hud (Syarif Hud bin Yahya) sedang duduk di depan rumah. Rumahnya beberapa meter saja dari pesantren. Aku pun bermaksud datang menemuinya karena ingin minta tanda tangannya untuk keperluan administrasi kartu santri.

Setelah salamku dijawabnya, lekas saya duduk di emperan depan rumahnya. Hatiku dag-dig-dug tak karuan rasanya, pekewuh. Saya tak berani lihat wajahnya, takut disangka tidak sopan oleh kyaiku dan ilmuku tak jadi manfaat karenanya.

Dengan bahasa Cerbon sehari-hari Abah terlihat marah, tapi suaranya tetap lembut di telinga.

Dodok jeh ning kono kayak pengen jaluk sumbangan. Ndodok kuh ning kursi (Duduk kok di situ seperti orang minta sumbangan. Duduk itu di kursi),” katanya.

Saat kau sedang berhadapan dengan kyai pesantren, maka pikiranmu tak boleh mati. Begitu yang selalu diajarkan oleh para santri seniorku dulu. Maka saat Abah Hud berbicara begitu, meski tanpa kata perintah, dia sebenarnya sedang marah dan memerintahkan saya untuk duduk di kursi. Tapi hati tetap tak enak, takut tidak sopan. Dan kyaiku itu terus memaksa, bahkan setengah marah. Saya pun pasrah.

Akhirnya saya duduk di kursi. Tapi karena masih merasa tidak enak, saya mengambil duduk paling pojok. Sementara Abah Hud duduk di pojok yang berbeda. Kita berdua terpisah jauh. 

Waktu itu menurutku jarak yang tercipta antara guru dan murid adalah wajar sebagai bentuk penghormatan pada sang guru. Tapi lagi-lagi, kyaiku itu marah dengan nada lembutnya.

Wong dodok jeh ado-adoan. Ya lamun ngobrol gah masa krunguwa (Duduk kok berjauhan. Kalau ngobrol pasti tidak kedengaran),” katanya lagi.

Saya pun semakin gugup, apa sebenarnya yang dikehendaki Abah Hud dalam situasi yang menegangkan ini. Sejurus kemudian, dia pun menepuk-nepuk sofa di sisi kirinya beberapa kali. Saya pun paham, dia ingin agar saya duduk persis di sebelahnya. Waduuh… ini pertama kali saya sowan ke rumah kyai dan perlakuan seperti ini yang aku peroleh. Benar-benar tak menyangka.

Setelah saya dan Abah duduk bersebelahan, kita berdua ngobrol seperti tak ada guru dan murid, seperti tak ada kyai dan santri. Kita berdua bicara layaknya dua orang teman. Padahal beliau adalah kyai terkemuka di Indonesia, habib dari marga besar. Saya sendiri cuma santrinya, yang masih bau kencur, waktu itu masih usia SMA. Hari ini haulnya, saya rindu dia.

Di pesantren yang sama, guruku yang selalu mengajarkan nilai-nilai Islam yang tak kalah canggihnya adalah Kyai Yahya Masduki. Setiap kali ngaji kepadanya, kami selalu merasa ‘diteror’ dengan bahasa-bahasa yang tidak sederhana. Intinya, kata-katanya yang cenderung kasar dan tegas, itu selalu memancing santrinya berpikir seratus kali lebih keras dibanding biasanya.

Entah santri yang lain mempunyai kesan apa terhadap murid Gus Dur yang satu ini. Tapi bagiku, dia selalu berusaha melatih santrinya untuk peka terhadap realitas, apapun itu. Dari beliaulah saya belajar menganalisa segala, meragukan, menanyakannya dan mencari kitab atau bukunya.

Dari penerangannya, saya dikenalkan intelektual muslim dunia seperti mufassir Fakhrurrozi hingga pemikiran kontemporer Muhammad Iqbal. Nama-nama yang jarang saya dengar kitab-kitabnya.

Dialah kyai yang melarang santrinya mengikuti istigotsah dan sejenisnya. Argumennya: bagi seorang santri, yang lebih utama adalah menuntut ilmu, menuntut ilmu, dan menuntut ilmu. 

Maka, daripada pergi malam untuk menghadiri doa bersama, lebih baik kembali ke kamar dan baca kitab, baca buku, baca lagi dan lagi sampai malam berlalu. Sebab kata dia, menuntut ilmu itu pahalanya seribu kali shalat sunah. Sementara istigotsah tak ada apa-apanya dibandingkan shalat sunah.

Kalau ada yang bilang kyaiku itu liberal, itu keliru. Bahkan saya tak perlu baca ayat suci atau buka-buka buku hadits nabi untuk memercayainya. Dan ini yang pelan-pelan mulai dilupakan umat Islam di dunia. Kita malas dan tak suka membaca. Kita malas belajar dan mengkaji. Kyaiku yang dari kampung itulah yang memecut kesadaranku untuk tak henti membaca.

Kyai Yahya selalu bilang bahwa kita umat Islam harus mampu mengaji secara paripurna. Ngaji akan paripurna jika siapapun mengusai tiga kitab: kitab kuning, kitab putih dan kitab abu-abu. Dia menjelaskan bahwa kitab kuning adalah pengetahuan dari masa lalu. Kitab putih adalah pengetahuan kontemporer dan kitab abu-abu adalah realitas itu sendiri.

Muslim paripurna tak hanya menguasai pengetahuan masa lalu saja, tapi juga pengetahuan kekinian yang berasal dari Barat sekalipun, sekaligus juga cerdas dalam memandang konteks kehidupan. Tiga kemampuan ini harus dimiliki umat Islam, dan dia berpesan pada santrinya. Maka, sebagai santrinya saya merasa amat berdosa jika amanat sang kyai itu tak saya tunaikan, tentunya semampu saya.

Maka, jika ada teman yang masih terganggu dengan ‘hantu’ semisal demokrasi, liberalisme, pluralisme, sekularisme dan lain sebagainya, sebaiknya belajar dulu tentang itu semua dan pahami nilai-nilainya. Utamanya, ingat-ingat lagi apa yang telah kyai pesantren ajarkan. Mereka memang tidak mengajarkan istilah atau definisi yang susah-susah, tapi mereka mengajarkan bagaimana seharusnya menjadi muslim Indonesia.

Akhirnya, jika ada santri yang masih gagap dan mudah menstigma dalam menghadapi isu-isu kontemporer, maka sebaiknya dia banyak-banyak menyesali kenapa saat dulu mengaji, dia malah enak tertidur.*** 

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: