Skip to main content

Kuasa-Pengetahuan dalam Masyarakat Jawa


Adalah hal yang diketahui umum jika seberapapun dalamnya air masih dapat diukur, tapi pikiran seseorang tidak bisa diduga." Niti Sastra dalam History of Java.
SUMBER dari kutipan ini adalah sebuah karangan yang sudah dikenal luas masyarakat, utamanya Jawa. Saya peroleh kutipan ini dari buku karangan Raffles, History of Java. Saya baca dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Narasi.

Kebajikan Jawa mengajarkan seseorang tidak bisa menebak dengan pasti apa yang ada dalam pikiran orang lain.

Hal ini menunjukkan orang Jawa percaya bahwa setiap orang berdiri atas pemahaman dan kehendaknya sendiri-sendiri yang tak bisa diterka dengan mudah. Tapi penilaian terhadap orang bukan suatu yang mustahil. Pengetahuan zaman dulu di Jawa mengajarkan bagaimana menilai orang dan pikirannya dari tingkah polah dan penampilannya.

Salah satu cara melakukan penilaian itu diajarkan dalam bagian yang lain Niti Sastra:

Air dalam sebuah bejana yang hanya diisi separuh akan mudah terpercik ke samping dengan sedikit goyangan. Pengalaman membuktikan bahwa sapi yang bersuara paling keras adalah sapi yang sedikit menghasilkan susu. Begitu pula dengan orang, siapa yang memiliki pengetahuan dan kekayaan paling sedikit, maka dia akan paling banyak bicara dan pamer. Tapi dalam kenyataannya dia bukan apa-apa. Segala yang dia katakan menghilang seperti asap."
Pengetahuan tentang cara menilai ini juga menunjukkan bahwa ada proses pendispilinan tingkah laku dalam peradaban Jawa. Pendisiplinan inilah yang membuat orang Jawa menjadi Jawa dan tidak menjadi lainnya, tidak pula menjadi pecundang ataupun orang dalam kasta yang rendah.

Adanya aturan perilaku dan pembatasan atas dasar norma juga memperlihatkan bahwa orang-orang Jawa zaman dulu mempunyai bangunan pengetahuan-kuasa yang cukup stabil. Kuasa-pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai lokal dan tradisi Hindu tersebut memilah orang-orang Jawa berdasarkan kategori 'yang baik' dan yang 'kurang baik'.

Nilai-nilai itu diproduksi terus menerus oleh institusi-institusi pengetehuan-kuasa seperti istana dan para pujangga. Melihat daya jangkaunya, kemungkinan besar pengetahuan yang dianggap luhur dan disebarkan istana tidak menyebar secepat dan seluas sekarang. Meski demikian, keberadaannya mampu memlihara kekuasaan tetap berada di satu kelompok di atas kelompok lainnya.

Anatomi pengetahuan seperti ini terus melestarikan raja dan para kerabatnya sebagai 'yang paling mulia' oleh karenanya yang paling berhak 'memiliki' segalanya. Hanya yang mampu meruntuhkan bangunan pengetahuan-kuasa itulah yang bisa merebut tahta. Dekonstruksi pengetahuan, meskipun sifat pengetahuan itu mistis, perlu dilakukan untuk merebut mahkota.

Peruntuhan bangunan kuasa-pengetahuan itu bisa melalui penciptaan nasab rekaan, penceritaan perjalanan spiritual ataupun perebutan sebuah senjata pusaka. Satu lagi 'alat' yang biasa digunakan untuk merebut kuasa dengan amat efektif adalah agama. Dengan pengetahuan serta daya magis yang ada di dalam agama, tak ada yang terlalu sulit.

Boleh jadi, agama-agama di Nusantara dianut pertama-tama oleh para raja karena mereka butuh agama dan daya pengetahuan magisnya untuk mendekonstruksi bangunan kuasa lama sekaligus melegitimasi kekuasaannya yang baru.

Dalam kasus ini, agama yang berbeda-beda bisa disatukan (Hindu dan Budha misalnya) dalam visi kekuasaan salah seorang raja demi legitimasi yang lebih kuat.

Dari dulu, orang Jawa percaya, melalui raja-lah mereka bisa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan begitu, raja haruslah orang yang paling 'saleh' juga tinggi spiritualitasnya, tinggi keilmuannya, tinggi keturunannya, tinggi ilmu kanuragannya dan lain sebaginya-- di antara semua rakyatnya. Agama memungkinkan seorang raja memeroleh semuanya.

Saat semua kuasa tersebut sudah sangat stabil, maka orang-orang Jawa juga diajarkan benar bagaimana menjaga dengan hati-hati apa yang sudah diperolehnya. Dalam bagian lain disebutkan:
Musuh paling berat yang dihadapi seseorang adalah kata hatinya sendiri, yang selalu membawa kejahatan di depan matanya, tanpa meninggalkan alat baginya untuk menghindari hal tersebut."
Terakhir, hanya diri-yang-lalai yang bisa mengalahkan orang-orang Jawa.***


Sumber foto: http://www.mediametafisika.com/

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: