FRONT
Pembela Islam (FPI) dan Habib Rizieq sedang naik daun, terutama sejak 'jualan' mereka “Aksi Bela Islam” yang berjilid-jilid itu laku keras di pasaran. Betapa tidak, dalam Aksi
Bela Islam III 2 Desember 2016 bersama GNPF-MUI mereka berhasil
menghimpun ratusan ribu massa muslim dari berbagai latar belakang dan golongan.
Klaim
penyelenggara bahkan menyebut angka kerumunan massa di Monas tersebut mencapai
7 juta orang. Klaim yang lain mengatakan 2 juta muslim, meski tak ada yang bisa
membuktikan jumlah persisnya.
Dukungan
massa yang banyak –atau yang dicitrakan demikian- membuat ormas yang
rajin melakukan sweeping ini semakin percaya diri (PD). Begitu PD-nya, hingga Sang Habib diwacanakan menjadi seorang
imam besar.
Meski wacana
tersebut hanya menjadi ‘lelucon’ bagi kelompok Islam yang lain, tapi kita bisa melihat
level PD kelompok ini sudah membumbung tinggi. Terakhir, bentrok dan perselisihan
FPI dengan GMBI dan Kapolda Jabar semakin memperlihatkan PD mereka bukan lagi
membumbung tinggi, tapi sudah terbang ke langit.
FPI terlihat
semakin sering mengatasnamakan Islam atau umat Islam, termasuk untuk menyerang
orang atau kelompok yang berseberangan dengan mereka. Dukungan massa Islam
dalam Aksi Bela Islam ‘seolah’ melegitimasi cara mereka berislam. Padahal, jumlah
mereka secuil saja dari total populasi muslim di Indonesia. Tapi, FPI telah terbukti sukses mengumpulkan para 'penggemar rahasia'-nya yang ternyata jauh lebih banyak dari perkiraan.
Dari aksi 212 kita mengetahui bahwa muslim yang menjadi penduduk mayoritas di Indonesia
terlalu alim. Bahkan sebagian orang berpendapat yang mayoritas ini gamang sehingga sering termakan isu yang digelar FPI.
Banyak muslim Indonesia mengidap pikiran ganda (doublethink). Berkata 'iya' sekaligus 'tidak' dalam waktu yang sama. Di satu sisi, mereka tidak setuju dengan gaya dakwah
Islam dengan kekerasan tapi di sisi lain mereka setuju dengan tindakan yang dilakukan FPI,
sekalipun itu sebenarnya sudah sangat keras. Bagaimana bisa?
Meskipun dari latar dan ormas yang berbeda, para penggemar FPI ini biasanya mempunyai beberapa kesamaan. Utamanya kesamaan itu yakni mereka sama-sama meyakini ide absolutisme agama (memercayai
agamanya sebagai kebenaran tunggal). Tapi di sisi lain, mereka tidak bisa melaksanakan idenya itu dengan tangannya sendiri.
Ketidakmampuan
mereka seringkali muncul karena yang bersangkutan terdampar dalam panggung
sosial yang tidak memungkinkan untuk merealisasikan idenya. Sebab ide-ide absolutisme/totalitarianisme agama yang bersemayam di kepalanya itu utopia belaka. Utopia yang mengawang-awang, juga ahistoris, lebih menyerupai ilusi dalam pikiran.
Bagi mereka, dunia nyata terlihat sangat berbeda dengan yang diangankan tentang sebuah kebenaran. Tapi aksi di dunia nyata akan membawa risiko sosial yang tak ringan. Selain itu, karena ide itu hanya ilusi belaka jadi tidak ada saluran yang rasional dalam kenyataan. Bagi para penggemar yang mempunyai keberanian bisa saja melampiaskannya dalam bentuk letupan. Letupan ini bisa berupa aksi kekerasan kecil semacam sweeping hingga aksi besar seperti terorisme.
Sementara penggemar yang tidak punya keberanian memilih tetap membaur dengan masyarakat. Kegemarannya pada FPI tak kentara. Karenanya, mereka lebih tepat disebut 'penggemar rahasia'.
Meskipun sehari-hari membaur dalam masyarakat, ide
radikalnya susah hilang. Ide-ide itu siap mencari
pelampiasan-pelampiasan yang sesuai. Aksi Bela Islam III adalah arena yang
tepat untuk menjadi panggung pelampiasan mereka. Dalam aksi sebesar itu, dia sebagai individu bisa lenyap dalam
kerumunan. Identitasnya yang lebur membuatnya terlepas dari risiko sosial yang mengancam.
Dalam
konteks ini, bisa dibilang FPI bagi para 'penggemar rahasia'-nya bak juru selamat. FPI muncul
dan menjembatani ide-ide itu tersalurkan ke alam nyata. FPI membuat ilusi mereka 'seolah' mewujud di atas panggung sosial. Paling tidak untuk sementara waktu. Oleh FPI, imajinasi radikalisme agama mereka digubah menjadi panggung yang menggemberikan.
Tidak ada data
survei yang menyebutkan, tapi saya yakin para 'penggemar rahasia' FPI ini banyak sekali. Mereka
bisa dari berbagai ormas, lintas lembaga, lintas suku, lintas parpol, lintas
pandangan politiknya, tapi mempunyai ide yang sama: meyakini kebenaran tunggal.
Kalau jumlah 'penggemar rahasia' memang sangat banyak seperti gambaran di atas, maka wacana tentang imam besar umat Islam di Indonesia bisa jadi sangat rasional.
Islam dan Islamisme
Orang yang mempunyai
keyakinan pada kebenaran tunggal, seperti para 'penggemar rahasia' ini biasanya sangat mudah menyalahkan bahkan
melenyapkan yang liyan. Mereka juga relatif mudah dipolitisasi atau diarahkan oleh ‘juru kemudi’. Daya nalar rasional
mereka akan berkurang drastis sebagai ganti dari kepatuhan total pada apa yang
dia yakini.
Saya menyarankan para 'penggemar rahasia' ini menyimak pandangan menarik dari Bassam Tibi. Dalam
bukunya Islam dan Islamisme, Tibi mengatakan
bahwa ada perbedaan yang tajam antara terma 'Islam' dan 'islamisme'. Banyak orang
salah paham menganggap 'islamisme' sebagai Islam. Padahal keduanya berbeda
seratus delapan puluh derajat.
Tibi melanjutkan, 'Islam' adalah ia yang sakral tapi 'islamisme' tidaklah sakral melainkan profan karena
sudah digubah hasrat manusia. 'Islam' sebagai keyakinan sedangkan 'islamisme' sebagai kategori politik keagamaan. Keduanya adalah dua entitas yang berbeda
sama sekali, agama dan politik.
Islamisme,
kata Tibi, bukanlah bagian dari Islam. Islamisme merupakan tafsir politis atas
Islam. Dasar dari islamisme bukan pada Islam, tetapi pada penerapan ideologis
atas agama di ranah politik. Karena politik, maka gerakan islamisme adalah
gerakan yang ‘melek’ momen politik dan cenderung memilah isu.
Tidak semua
isu di dalam perjuangan umat Islam akan diangkat ke permukaan oleh pelaku
politik ini. Bahkan mereka sama sekali tidak mengangkat isu yang lebih
substansial seperti melawan kemiskinan atau melenyapkan korupsi. Bagi mereka, isu yang permukaan akan lebih populer secara politik.
Islamisme,
tidak hanya sekadar masalah politik saja. Lebih jauh lagi, islamisme ternyata
erat kaitannya dengan politik yang diagamaisasikan (religionized politics). Menurut Tibi, model tersebut ditengarai
sebagai contoh yang paling kuat dari fenomena global fundamentalisme agama. Religionized politics adalah model di mana
sekelompok masyarakat menawarkan sebuah tatanan politik yang diyakininya
sebagai kehendak Allah.
Tibi yang
mencermati perkembangan populasi umat Islam di Eropa menolak keras Islamisme.
Menurutnya, Islam memang menyiratkan nilai-nilai politis tertentu namun tidak
mensyaratkan suatu tata pemerintahan khusus, pemerintahan Islam misalnya.
Islamisme bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk tafsir terhadap Islam,
tetapi bukanlah Islam itu sendiri. Ia adalah sebentuk ideologi politik,
bukan sebuah keyakinan ataupun sesuatu yang sakral dalam Islam.
Menurut
Tibi, di tengah semakin banyaknya orang Islam di Eropa --sebagaimana yang
ditulis Buya Syafi’i Ma’arif-- ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hubungan
Islam dan Eropa. Pertama, proses
eropaisasi atau pengeropaan Islam. Kedua,
islamisasi atau pengislaman Eropa.
Tibi
mengatakan model pertama lebih realistik. Sedangkan model yang kedua tidak lain
dilakukan kelompok politik identitas Islam yang merupakan kelanjutan dari
gagasan dâr al-Islâm (negara Islam)
periode klasik yang sudah lapuk. Di bawah panji inilah para 'penggemar rahasia' berdiri.
Doktrin tersebut masih terus memengaruhi sebagian umat Islam di dunia, termasuk di
Indonesia.
Menurut Syafi’i Ma’arif, sikap ahistoris semacam itu menyebabkan
sebagian umat Islam masih berkubang dalam mimpi dan tidak menghiraukan kehidupan
sosial yang lebih nyata. Umat Islam menjadi lebih peduli pada ide kuno yang
bersemayam di dalam pikirannya dibandingkan awas terhadap kehidupan yang nyata.
Dengan begitu, islamisme cukup berbahaya karena selain menjauhkan umat Islam dari realitas sosialnya juga membuat Islam menjadi terdistorsi. Islam yang diturunkan untuk manusia pada akhirnya menjadi agama yang berjarak dengan realitas sosial. Segala ajarannya hanya menjadi doktrin tapi tidak menjadi etika sosial. Islamisme pelan-pelan menggerogoti Islam dan ini tak bisa dibiarkan.
Tapi saya yakin,
islamisme akan terus hidup dan berkembang di Indonesia selagi umat di negara
ini –meminjam istilah Ahmad Sobary-- masih ‘jarang membaca’. Islamisme
mendapatkan rumah nyaman di negeri yang jarang membaca ditambah dengan kebebasan medsos yang
merajalela.
Jalan keluarnya, tak lain harus dengan membangun kesadaran bangsa.
Kesadaran lahir hanya dari pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang membuat para murid rakus membaca.***
Sumber bacaan:
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Desantara, 2011).
Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Politik Identitas dan
Masa Depan Pluralisme Indonesia. Makalah Disampaikan dalam Nurcholish
Madjid Memorial Lecture III.
Tedi
Kholiludin, Islamisme, Pos-Islamisme dan
Islam Sipil, akses dari jurnal.elsaonline.com.
Yurgen Alifia, Ahok, Orwell dan Bahaya Doublethink, akses dari selasar.com
Sumber gambar:
http://www.santrinews.com/
https://www.mizanstore.com/
Yurgen Alifia, Ahok, Orwell dan Bahaya Doublethink, akses dari selasar.com
Sumber gambar:
http://www.santrinews.com/
https://www.mizanstore.com/
Comments
Post a Comment