Skip to main content

Ronggeng Bugis: Folklor tentang Transvestite di Cirebon

Ronggeng Bugis

SEORANG
 penari pria mengenakan sinjang dan kebaya dengan bedak putih tebal menyeruak masuk mengikuti gerakan dua orang penari wanita.
Gerakannya yang terkesan asal-asalan membuat penonton yang memenuhi tempat duduk gedung Teater Tertutup dibuat tidak henti tertawa. Tawa penonton semakin menjadi manakala penari pria berdandan ala wanita tersebut terjengkang akibat tersenggol pinggul seorang penari wanita.Dalam keadaan meringis kesakitan, enam rekannya yang berdandan menyerupai wanita, masuk dari belakang panggung. Tawa penonton semakin tidak tertahankan dan beberapa di antaranya tampak terpingkal-pingkal.Tari ronggeng bugis, khas Kabupaten Cirebon memang sering kali mengundang gelak tawa penonton yang menyaksikannya. Retno Heriyanto, Wartawan Pikiran Rakyat.

RONGGENG BUGIS sepintas merupakan tarian yang aneh dan tak lazim. Saya sebut tak lazim karena tari ini terkesan mengutamakan mbodor (melawak). Menimbulkan tawa geli penontonnya menjadi tujuan panggung tari. Ini tentu berbeda dengan tari lain yang selalu menimbulkan rasa takjub. Bahkan membuat orang merenung, mengkhidmati ataupun menyerapi sebuah makna dan keindahan dalam sebuah gerak.

Dalam tari yang tak lazim tersebut, para penari yang semuanya pria mengenakan busana yang biasa dipakai perempuan: kebaya. Baju adat itu pun berwarna sangat mencolok, merah atau kuning. Lengkap dengan motif bunga yang disertai dengan sinjang batik bermotif mega mendung.

Gerakan tari mereka terkesan asal-asalan dan sesekali meniru gaya seorang bodor, komedian Cirebon. Beberapa adegan bahkan memungkinkan para penari ‘menggoda’ dan menghampiri penonton untuk ikut menertawakan tingkah mereka.

Ronggeng bugis menimbulkan kelakar dan gelak tawa bahkan bisa jadi sarkasme seksual, menertawakan keganjilan jenis kelamin dan gender penarinya yang kecentilan. Tapi kesan minor tersebut niscaya  sirna kalau kita simak penjelasan peraciknya, Handoyo MY.

Almarhum Handoyo yang merupakan seniman Cirebon sekaligus pendiri Sanggar Seni Pringgadhing, menurut salah seorang wartawan PR, Retno Heriyanto, adalah orang yang pertama kali mengangkat tari ‘telik sandi’ itu ke atas pentas. Handoyo membuat tarian ini dengan diiringi gending Cirebon dan sebuah tembang berjudul 'Angkut'.

Menurut Pak Han, dinamakan tari ‘telik sandi’ karena tari ini diangkat dari sebuah folklor (cerita rakyat) tentang telik sandi, intelejen atau mata-mata.

Tari ini menceritakan tentang sekelompok telik sandi yang menjadi pahlawan semasa Kesultanan Cirebon. Mereka adalah 'pasukan khusus' yang dibentuk Sultan Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Mereka tak lain adalah para pasukan asal Bugis yang ditugaskan untuk memata-matai wilayah Padjajaran yang akan ‘di-Islam-kan’.

Jadi, tari ini bukanlah sebuah gerakan asal-asalan atau bodoran belaka. Tari ini juga bukan sebuah gerak simbolik-spiritual yang maknanya transenden seperti tari panji, kelana ataupun lainnya. Tapi tari ini lebih merupakan rekonstruksi cerita lewat media gerak. 

Penggubah tari ronggeng bugis kemungkinan besar bermaksud memasukkan satu cerita epik dalam gerak tari ini dan mengabadikannya menjadi semacam mnemonic device bagi masyarakat.

Dengan begitu, tari ronggeng bugis sama nilainya dengan sebuah prasasti yang menghendaki penikmatnya mengingat kembali peristiwa penting di masa lalu. Ronggeng bugis, dengan kecerdasan penggubahnya menjelma menjadi sebuah tari sarat pengetahuan, bukan sekedar kelakar dan gelak tawa.

***

Para bissu dari Bugis
Telik Sandi dari Bugis, Para Bissu-kah?

Saya yakin, banyak sejarawan menyangsikan kebenaran cerita telik sandi yang disiarkan ronggeng bugis. Kesangsian itu terutama karena sumber tertulis yang terbatas. Hanya ada sumber lisan yang disiarkan secara turun temurun. Terlepas dari kesahihan historiografinya, sebagai sebuah folklor, tari ronggeng bugis menyimpan beberapa hal menarik yang sayang untuk dilewatkan.

Saya tidak tahu betul apakah pada zaman kesultanan ada hubungan diplomatik antara Cirebon semasa Sunan Gunung Jati dengan kerajaan Bugis. Rentang waktu yang cukup jauh dengan masa sekarang dan tak adanya catatan tertulis membuat siapapun mungkin akan sulit melacak hubungan ini.

Tapi andai hubungan antar kedua kerajaan memang pernah terjalin, maka mungkin benar para telik sandi tersebut berasal dari Bugis. Sebab, di daerah Bugis ada kelompok pendeta kuno pra Islam yang disebut bissu.

Komunitas bissu bukanlah laki-laki ataupun perempuan. Secara biologis kebanyakan dari mereka bahkan laki-laki (memiliki penis) dan sedikit yang perempuan (memiliki vagina). Tapi dalam penampilannya, para bissu lebih terkesan feminin.

Bissu dan tradisi transvestite (lelaki yang berperan sebagai perempuan) mempunyai sejarah yang amat panjang di tanah Bugis. Mereka dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun silam dan punya posisi sosial, agama dan politik yang cukup tinggi di tengah masyarakat.

Bissu dalam naskah La Galigo bagi orang Bugis laiknya seorang Hermes yang menjembatani antara bumi dan langit. Konon, para bissu punya bahasa sendiri (basa Torilangi) untuk berkomunikasi dengan dewata. Karena kekuatannya itu, banyak dari mereka yang menjadi penasihat raja.

Hingga sekarang, tradisi bissu masih lestari dan menyebar di daerah Bone, Sigeri, Soppeng, Luwu dan Poliwali di Sulawesi Selatan.

Tapi apakah para pasukan ‘telik sandi’ yang diceritakan tari ronggeng bugis merupakan bissu atau bukan, masih belum terjawab. Namun mereka yang diutus dari Bugis ke Cirebon untuk menjadi intelejen pastinya adalah orang-orang terpilih, bukan orang buangan. 

Selain itu, hal penting lainnya yang patut dicatat dalam tari ronggeng bugis adalah tentang sejauh mana masyarakat Cirebon menerima sosok laki-laki yang menyerupai perempuan. 

Merujuk folklor yang lain tentang Nyi Mas Gandasari saat berperang melawan Kerajaan Rajagaluh, maka kuat dugaan ada ‘penerimaan’ secara sosial dari masyarakat Cirebon terhadap kaum transvestite atau bahkan transgender.

Dalam salah satu versi cerita saat Cirebon menyerang Rajagaluh, Nyi Mas Gandasari diceritakan sebagai sosok ‘ambang-pintu’ yang bukan laki-laki, bukan pula perempuan. Dalam cerita yang lain bahkan dia dikisahkan memiliki penis. 

Betapa paradoksnya identitas Nyi Mas Gandasari terlihat dari penggambaran tentang dia dalam cerita tutur. Nyi Mas Gandasari digambarkan sangat ayu hingga menjadi rebutan banyak pembesar kerajaan sekitar Cirebon. Sekaligus dia kuat dan sakti mandraguna melebihi kekuatan para lelaki. 

Lebih lanjut, siapa dan bagaimana sosok ini bisa dibaca di tulisan saya yang lain di blog ini, Bertemu Nyi Mas Gandasari.

Yang pasti, Nyi Mas Gandasari menjadi sosok yang amat dihormati masyarakat Cirebon hingga sekarang. 

Penghormatan itu terbukti dengan legendanya yang dikenal luas dan diingat di luar kepala oleh masyarakat Cirebon. Makamnya di Panguragan pun selalu ramai diziarahi orang-orang dari berbagai daerah.

Kalau semua hipotesa di atas benar, maka satu lagi bukti bahwa Cirebon adalah daerah pantai yang terbuka dan egaliter. Cirebon menerima semua orang dari daerah manapun dengan latar belakang apapun di bawah bendera kesetaraan berlandaskan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin.***
   



Sumber bacaan:
Pikiran Rakyat Edisi 23 Maret 2016 Halaman 24
Menggugat Maskulinitas dan Femininitas dalam Srinthil, Oktober 2003.
Babad Sunda, Babad Cirebon, PS Sulendraningrat (1984).

Sumber foto:
http://america.aljazeera.com/
http://www.pikiran-rakyat.com/

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: