Skip to main content

Cirebon dan Petaka Sampah yang Terabaikan



PERNAHKAH kita sesekali menghitung berapa sampah yang kita buang setiap hari? Ke mana sampah-sampah itu dikumpulkan dan dibinasakan? Adakah dari kita yang pernah berpikir bahwa sampah yang kita buang setiap hari sebagian besar tidak bisa dihancurkan? 

Sampah terus menumpuk dan terus menggunung sementara cara dan gaya hidup kita terus menghasilkan sampah. Kalau tidak diatasi segera, bisa jadi sampah akan menjadi masalah utama kita di masa depan.

Pada 2015 lalu, majalah Science meneliti 192 negara pesisir menggunakan data mereka pada 2010. Hasilnya, Indonesia merupakan negara terbesar kedua penghasil sampah laut terbesar setelah Tiongkok. Jumlah sampah di Indonesia akan terus meningkat jika penanganan sampah belum serius. Diprediksikan, pada 2019, produksi sampah di Indonesia akan menyentuh 67,1 juta ton sampah per tahun.

Kabupaten Cirebon juga menjadi daerah yang mempunyai masalah sampah yang tidak ringan. Dengan asumsi setiap orang menghasilkan 0,7 kg sampah per hari dan total jumlah penduduknya 2.065.142 jiwa (sensus 2010), masyarakat Kabupaten Cirebon menghasilkan kurang lebih 1.446 ton sampah per hari atau 527.643 ton sampah per tahunnya. Sadar atau tidak, saban hari masyarakat Kabupaten Cirebon membuang sampah seberat 241 ekor gajah Sumatera.

Selanjutnya 241 gajah tersebut dibuang ke berbagai penjuru dan pelosok kabupaten. Ada yang dibuang di bantaran sungai, ke pinggir jalan dan bahkan di sekitar pemakaman. Beberapa dibuang di tempat yang seharusnya, di tempat pembuangan sampah (TPS) selanjutnya dinas pun mengangkut dan membuangnya ke tempat pembuangan akhir sampah (TPAS). 

Meskipun ada kata “akhir” dalam TPAS tapi nyatanya riwayat sampah tak pernah berakhir. Sebab, dibakar sekalipun, sampah yang sebagian merupakan plastik tak begitu saja hancur. Alhasil, sampah pun menggunung di TPAS.

Sudah begitu, kelalaian dinas terkait membuat pengangkutan sampah dari TPS dan masyarakat ke TPAS terkendala. Jadilah, tumpukan sampah di mana-mana. Masyarakat pun dibuat semakin resah karena sampah-sampah menghiasi hampir setiap sudut lingkungannya. 

Selain pemandangan menjadi tidak nyaman, bau tidak sedap dan ancaman datangnya penyakit, mereka pun khawatir sampah bisa mengundang banjir ke daerahnya.

Selain memperburuk citra dan ganjalan untuk meraih Piala Adipura, dampak negatif sampah sejatinya lebih dirasakan masyarakat Kabupaten Cirebon sendiri. Ketua Perkumpulan Pencinta Kelestarian Alam (Petakala) Grage, Deddy Madjmoe mengatakan di salah satu media bahwa sampah bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. 

Sampah yang dibuang ke sungai dan saluran air bisa menimbulkan banjir dan mengeluarkan bau serta menimbulkan berbagai macam penyakit.

Bahkan, jika sampai mengalir mengikuti air sampai ke laut, sampah-sampah itu bisa merusak biota laut, meracuni ikan dan pada akhirnya meracuni masyarakat yang memakan ikan yang terkontaminasi tersebut. Kalau yang masuk ke tubuh manusia adalah sampah plastik, maka bisa dibayangkan betapa bahayanya keadaan tersebut.

Plastik dibuat dengan menggunakan bahan pelembut yang disebut  DEHA. Di dalam DEHA ini terdapat suatu zat yang sangat berbahaya yang dapat menyebabkan cacat pada janin. 

Plastik yang dibakar pun bisa mengeluarkan asap toksis yang apabila diirup manusia bisa mengakibatkan gangguan kesuburan. Sementara zat berbahaya lain dalam sampah juga bisa memicu munculnya sel kanker pada tubuh manusia.

Maka, sudah saatnya seluruh lapisan masyarakat, terutama pemerintah daerah dan instansi terkait memperhatikan masalah sampah. Pemerintah daerah seharusnya tidak melulu memikirkan bagaimana cara mengangkut, membuang, mengumpulkan dan membakar sampah.

Tapi harus mulai berpikir cerdas dan bertindak segera untuk mengelola sampah dengan baik. Karena urusan buang membuang itu gampang, tapi yang lebih penting adalah mengelolanya dengan benar. Kalau untuk membuang saja sudah kewalahan apalagi untuk melakukan yang lebih darinya.

Akhirnya, masalah yang di permukaan terlihat sepele ini harus siap ditanggung masyarakat. Lagi-lagi, rakyatlah yang harus menanggung segala akibat buruk sampah hingga masa jauh ke depan.***



Ilustrasi: suaramerdeka.com

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: