Skip to main content

Kearifan Lokal dan Asa Kedaulatan Pangan


Bukan lautan tapi kolam susu//Kail dan jala cukup menghidupimu//Tiada badai tiada topan kau temui//Ikan dan udang cukup menghidupimu//Orang bilang tanah kita tanah surga//Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

LIRIK lagu dari Koes Ploes di atas sudah dihapal bahkan meaning of messege - nya tertanam jauh ke dalam benak rakyat Indonesia jauh sebelum lahirnya grup band legendaris tersebut. Bagaimana tidak? tanah kita adalah tanah tersubur di dunia, sebagian besar daratannya adalah tanah yang di atasnya tumbuh beraneka ragam makhluk hayati, sumber daya alam yang melimpah dan jangan pula lupakan masyarakat yang terkenal dengan keramahannya.

Batang pohon, seperti singkong tinggal ditancapkan ke tanah maka tumbuhlah tanaman yang bisa kita makan nantinya. Begitupun biji seperti mangga, umbi-umbian yang menyerupai batu asal kita lempar saja ke tanah surga Indonesia pasti tumbuh dan bisa kita makan juga.

Dari ilustrasi lirik lagu di atas, kalau memang iya benar, maka kesuburan tanah kita itu seharusnya membuat semua penghuninya sejahtera. Tidak ada lagi anak negeri ini yang terkena busung lapar karena kekurangan gizi. Tapi apakah seperti itu realitasnya? Untuk melihatnya, kita tidak usah jauh-jauh, kita bisa lihat dari fenomena yang terjadi di sekitar kita.

Semua orang, terutama para pembaca berita tentunya tidak melewatkan headline di satu surat kabar tentang warga yang masih makan nasi aking. Nasi yang biasanya diberikan untuk makan ternak unggas menjadi pilihan makanan manusia, dan mereka sangat dekat dengan kita. Tidak hanya itu saja, sebagian warga di Cirebon juga terbiasa untuk makan roti tiluk (roti buluk/roti kedaluarsa) yang sering dijajakan pedagang keliling dan warung kecil.

Padahal kata orang tua dulu, Cirebon adalah daerah yang sangat subur. Penghasilannya melimpah ruah, hingga menarik saudagar besar dari India, Cina, Arab dan daerah lainnya. Orang besar seperti Laksamana Ceng Ho pun menyempatkan diri untuk mengunjungi daerah penghasil komoditas pertanian dan perairan yang melimpah ini.

Orang tua dulu menyiratkan kemakmuran tanah Cirebon dengan nasi tumpeng dan nasi berkat di atas tenong dan takir. Orang tua dulu pun merayakan kemakmuran dengan pesta rakyat yang beraneka ragam, mulai dari mapag sri, ngunjungan, nadranan. Semua itu adalah simbol bahwa orang Cirebon dangat dekat dengan pertanian yang makmur dan dengan perikanan yang melegenda (lihat jargon kota cirebon; Kota Udang).

Adakah semua simbol kultural itu masih bermakna bagi wong cilik yang sehari-hari makan nasi aking dan tiluk? Ataukah sebenarnya simbol dan ritual-ritual itu berhenti hanya dalam fungsi ritualnya belaka, dan kemakmuran yang disimbolkan telah usang dan tertinggal jauh bersama sejarah menjadi kenangan yang penuh romantisme?

Salah sendiri kalau memang kenyataan menjadi semakin buruk seperti kasus di atas, masalah besar dalam pertanian dan ketersediaan pangan kita di Cirebon. Pemerintah tidak pernah memerhatikan sektor pertanian dengan serius. Prioritas utama mereka hanyalah industri, perdagangan dan investasi. Mereka lalai dengan pertanian sekalipun di masa krisis pangan yang serius seperti sekarang ini.

Respon terhadap masalah kelaparan dan kemiskinan biasanya mentok hanya sampai pada level pemberitaan heboh di media. Sejurus kemudian keluarlah program pengentasan kemiskinan dan penenangan rakyat yang kelaparan tanpa perlu melihat dulu asal muasal kemiskinan dan kelaparan tersebut berasal. Bertebaran-lah program pelipur lara bernama raskin (beras miskin), BLT (bantuan langsung tunai),

BLSM, bantuan ini dan itu yang kesemuanya bukanlah program padat karya maupun program penguatan dan pemberdayaan masyarakat. Bantuan yang seperti itu hanya sebagai program candu yang menenangkan untuk sementara waktu saja bukan menyelesaikan masalah sebenarnya.

Di tambah lagi, sistem pelipur lara seperti ini sama sekali tidak mendidik masyarakat untuk mandiri dan keluar dari masalahnya sendiri. Masyarakat penerima bantuan tidak mungkin dan tak akan pernah menjadi masyarakat yang berdaya justru akan menjadi masyarakat yang bergantung dan ketergantungan.

Pangan, Manusia dan Dunia

Pangan adalah hal pokok pada diri manusia. Tidak ada satupun manusia yang tidak makan. Apapun agamanya, rasnya, kecerdasannya, jabatannya, asal-usulnya, kaya, miskin, selagi dia manusia dia pasti butuh makan. Jadi, manusia dan pangan adalah dua hal yang tidak mungkin terpisah.

Sepanjang sejarah, manusia berjuang, berseteru, berperang, dan saling membunuh hanya untuk memperebutkan keleluasaan akses memperoleh pangan. Semua peningkatan teknologi dan pertarungan ideologi sepanjang sejarah manusia sebenarnya berpangkal pada naluri paling primitif manusia untuk survive, bertahan hidup atau bisa terus makan tiap harinya.

Semakin berkembangnya populasi penduduk dunia, serta terus tergerusnya lahan penghasil pangan membuat pangan menjadi ancaman serius makhluk bernama manusia. Masalah pangan pun sekarang bukanlah hanya masalah lokal negara-negara saja, pangan menjadi perhatian serius sekaligus masalah bagi dunia internasional.

Kelaparan terjadi di mana-mana, sebagian besar di negara-negara miskin, negara dunia ketiga, negara terkena musibah dan negara yang sedang konflik, baik perang dengan negara lain maupun perang etnis. Negara benua hitam seperti Ethiopia, Kongo dan puluhan negara lainnya juga tidak kunjung terlepas dari musibah kelaparan. Di Haiti, dahsyatnya protes warga atas kenaikan pangan menjatuhkan pemerintah yang berkuasa karena dinilai tidak mampu menjaga harga pangan sehingga tidak terbeli lagi oleh rakyat.

Menurut FAO (Food and Agriculture Organitation), pada tahun 1996 terdapat 800 juta dari 5,67 miliar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, di antaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein. Sedangkan menurut laporan PBB, 3 sampai 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan dan dampaknya.

Di Indonesia, ancaman kelaparan dan kekurangan gizi telah menjadi persoalan yang sampai hari ini belum bisa terselesaikan oleh negara. Sejak tahun 2005 tersiar luas berita kelaparan, rawan pangan serta gizi buruk di beberapa provinsi. Data Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan 317 balita (bayi dibawah tiga tahun) di Bogor kekurangan gizi. Anak-anak tersebut hanya makan sehari sekali. 

Kasus lain, di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya pangan, ternyata di daerah pedalaman masyarakatnya hidup hanya dengan makan sehari sekali.

Indonesia sempat swasembada beras pada tahun 1984 dan mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan Dunia) karena keberhasilannya itu. Akan tetapi pada tahun 1994 Indonesia yang mayoritas penduduknya petani kembali mengimpor beras, hingga kini.

Pertanian tanpa Petani dan Lahan

Lahan pertanian yang subur dan luas, air yang melimpah, serta manusia yang banyak seharusnya menjadikan negara kita bebas dari masalah pangan dan impor bahan makanan. Tapi fakta menunjukkan hal sebaliknya, ada masalah pangan di negara kita. Hasil pertanian dari tanah kita tidak lagi mencukupi untuk makan tiap hari seluruh masyarakat.

Kalau trend ini dibiarkan saja tanpa antisipasi cerdas mungkin anak cucu kita harus membayar mahal pangan yang seharusnya bisa kita tanam dan olah sendiri. Kekayaan, harta dan upah kerja mereka nantinya akan habis hanya untuk belanja barang yang pada zaman kita terlihat tidak penting dan sepele: pangan.

Perlu diketahui, setiap tahunnya lahan pertanian subur yang dikonversi menjadi kawasan perumahan dan industri di Indonesia kurang lebih 30.000 hektar per tahun (KLH, 2002). Di lapangan, kita bisa mencari pembuktian bagaimana angka sebesar itu didapat. Coba kita lihat sejenak kalau berjalan melewati daerah Dawuan, Talun dan bagian Cirebon lainnya.

Lahan pertanian yang menghasilkan makanan pokok bagi kita tersebut kini disulap oleh para pengembang menjadi kawasan perumahan. Kalau anda lewat Cirebon Timur, cobalah tengok kanan kiri jalan. Lahan pertanian yang ditinggal penggarapnya di daerah tersebut berubah menjadi kawasan industri. Belum lagi jika kita tengok sebentar saja daerah Kecamatan Gunung Jati, Cirebon Utara, Kapetakan dan sekitarnya yang saluran irigasinya tidak berfungsi setiap kemarau tiba.

Pemerintah dan warga pun seolah mempunyai keyakinan bahwa ini adalah kemestian yang tidak perlu dicarikan solusinya. Masalah yang datang dari sananya oleh karena itu yang diperlukan hanya sabar dan tawakal belaka. Ini salah kaprah.

Perkembangan zaman mengharuskan para petani dan keturunan mereka meninggalkan ladang adalah mitos. Tapi kesejahteraan para petani yang tidak kunjung diperhatikan memang mengirim para anak petani ke kota. Generasi petani pun habis, lahan di kampung tidak terurus dengan maksimal karena kekurangan tenaga tani.

Kesejahteraan petani tidak dipedulikan oleh pemerintah. Harga pupuk, pestisida dan benih unggul tidak terkontrol dengan baik. Proteksi dari undang-undang, pejabat dan aparat pemerintah hampir tidak ada. Wajar jika para petani banyak yang diam-diam mulai mengabaikan keberadaan pemerintah.

Mahalnya pupuk dan pestisida tidak dibarengi dengan hasil panen yang signifikan. Hal ini mengakibatkan para petani kecil tekor. Hasil panen lebih kecil dari biaya penggarapan. Anehnya, tak hanya harga gabah, bawang dan tanaman palawija lainnya menjadi murah tepat pada waktu panen.

Kebijakan monokultur pada revolusi hijau tahun 90-an semakin membuat perih warga. Saat harga gabah menurun dan penghasilan panennya tidak menggembirakan, mereka lupa dan tidak tahu lagi bagaimana menanam tanaman selain padi dengan baik.

Mereka juga telah lupa bagaimana menggunakan pupuk kompos karena keharusan berakidah pada pupuk kimia yang harganya ditentukan korporasi. Warga juga lupa bahwa ngunjung dan mapag sri serta sedikit ritual di galengan sawah adalah usaha kecil untuk memahami dan saling paham dengan hewan seperti wereng, walang dan tikus. Sehingga tidak ada ketidakseimbangan ekosistem akibat paparan racun pestisida.

Alih-alih pemerintah menguatkan potensi lokal dengan memberdayakan masyarakat untuk menanam kembali bahan makanan pokok seperti jagung, ubi dan kacang-kacangan, mereka justru membuka keran impor pangan selebar-lebarnya dan memberikan lebih banyak izin perusahaan makanan cepat saji dari luar negeri, terutama dari Amerika, Inggris dan Jepang.

Paradigma pemerintah hanya sebatas Ketahanan Pangan yang kalau stoknya tidak mencukupi pilihan yang diambil adalah impor, yang penting stok terpenuhi. Padahal kalau impor pangan, petani lokal bisa merugi besar, tapi itulah pilihan pemerintah kita yang salah kaprah. Seharusnya paradigma kebijakan pangan kita adalah kedaulatan pangan. Rakyat bisa berdikari, berdaya dan bebas berkreatifitas memecahkan masalah pangannya sendiri.  

Padahal dengan jelas UU no.68 /2002 pasal 2 tentang Ketahanan Pangan menyebutkan bahwa ketersediaan pangan salah satunya dipenuhi melalui sistem produksi yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.

Tidak dengan mencuci otak yang menggerus local wisdom dan menggantinya hanya dengan pendapat para ahli pangan pemerintah. Terakhir, Ir. Soekarno pernah berkata bahwa “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa”. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, maka malapetaka. Oleh karena itu, perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.”***



Ilustrasi: http://4.bp.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: