Skip to main content

Masa Depan Media di Zaman Digital


DENGAN berbagai mediumnya, jurnalisme muncul sepanjang titian kehidupan manusia. Jurnalisme sebagai sebuah komunikasi antarmanusia pun sudah dimulai sejak zaman purba di mana manusia menyebarluaskan berita melalui tradisi lisan. Setelahnya, tulisan pun dikenal sebagai medium komunikasi antar manusia dan yang paling tua ditemukan bertarikh 15.000 SM di Altamira, Spanyol dan Lascaux, Prancis.

Akan tetapi, jurnalisme modern dalam arti yang dipahami sekarang baru lahir hampir bersamaan dengan munculnya mesin telegraf pada abad ke-19. Dalam perkembangannya, berita pun disebarkan melalui radio, kertas, televisi hingga yang paling kontemporer melalui media digital, internet. 

Medium yang beralih dan berubah hingga sekarang ini sejatinya merupakan tahapan-tahapan menuju informasi yang makin tersebar luas, terbuka dan setara. Tapi jangan lupa, sejarah juga membeberkan fakta bahwa perubahan-perubahan medium yang terjadi pada setiap zaman selalu menampilkan ketegangan dan polemik yang tak sederhana. 

Ihwal ketegangan tersebut pernah dicatatkan dalam sebuah cerita kuno dari Yunani kuno. Alkisah, seorang cendikia di negeri Mesir bernama Theuth menemukan angka dan hitungan, geometri dan astronomi, permainan dadu dan yang utama, dia menemukan tulisan. Di depan Raja Mesir kala itu, Thamus, Theuth memamerkan semua penemuannya itu. Pada saat memamerkan tulisan, Theuth berkata: 

Keahlian ini (tulisan), wahai Raja, akan membuat orang-orang Mesir lebih bijaksana dan memperbaiki ingatan mereka. Penemuanku adalah resep bagi ingatan dan kebijaksanaan mereka.

Sang raja pun secara mengejutkan mengomentari penemuan Theuth: 

Wahai Theuth, penemuan ini sebenarnya akan membuat lupa jiwa-jiwa orang yang mempelajarinya. Mereka akan berpegang pada apa yang tertulis, ketimbang kekuatan mandiri mereka sendiri. Dan dalam hal kebijaksanaan, engkau hanya melengkapi murid-muridmu dengan sesuatu yang mirip dengannya, dan bukan kebenaran sejati.”

Demikian polemik yang tergambarkan pada zaman itu di mana saat pertama kali teknologi tulisan ditemukan. Tulisan dianggap akan menghilangkan cahaya kebenaran sejati yang waktu itu dipercaya diperoleh manusia langsung dari realitas. 

Tulisan hanya akan membuat pengetahuan dan kearifan menjadi palsu karena diyakini bahwa yang tertulis bukanlah yang asli tapi yang tiruan. Yang asli adalah yang ada di alam faktualnya. Tapi di zaman setelahnya terbukti sudah bahwa tulisan mampu “mengawetkan” pengetahuan, membawa dan menyebarluaskannya ke banyak peradaban di dunia. Dan pada gilirannya membawa banyak kemajuan untuk kehidupan manusia hingga masa-masa jauh ke depan.

Sekarang, dengan latar dan kompleksitas yang berbeda, ketegangan kembali terjadi. Internet yang membuat informasi dan komunikasi antarmanusia menjadi semakin bebas, egaliter dan tersebar sangat luas menimbulkan perdebatan. 

Arah informasi yang tidak lagi satu arah membuat semua orang dapat memberikan informasi dan berkomunikasi dengan manusia di belahan bumi manapun saat itu juga. Hal itu ternyata juga mengundang kekhawatiran banyak orang media bahwa teknologi ini bisa merobohkan bangunan kokoh masa lalu.

Internet dan Media Online

Bill Kovach dan Tom Rosentiel menyiratkan bahwa merebaknya media-media online perlu mendapatkan perhatian serius. Buku mereka Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload seolah menegaskan kembali posisi media di tengah banjir informasi dengan tetap berpegang pada asas jurnalistik. Buku yang dalam edisi bahasa Indonesianya diterbitkan Dewan Pers itu juga menegaskan bahwa hadirnya internet tak akan menghapuskan sama sekali tulisan cetak. 

Sebagaimana tulisan tidak pernah benar-benar menghapus tradisi lisan dan radio serta televisi yang datang belakangan tak pernah benar-benar menghilangkan tulisan cetak. Tapi semuanya akan saling melengkapi dan kadangkala berkonvergensi menjadi satu bentuk media baru bagi semua orang dengan aneka situasi, kecenderungan dan kebutuhan.

Kita ketahui bersama bahwa demam internet dan media online merebak di seluruh dunia dan menjadi kekuatan yang tak terbendung di abad ke-21. Di tengah hiruk pikuk tersebut, jurnalisme menjadi wilayah yang tak steril darinya. Media online muncul di mana-mana bak jamur di musim hujan. Dari media online yang bermodal raksasa, modal cekak hingga yang partikelir.

Beberapa kalangan berpendapat media online -dengan karakternya- telah memporakporandakan bangunan jurnalisme yang telah dibangun dan dijaga bertahun-tahun. Disiplin konfirmasi dan keberimbangan yang menjadi patokan utama jurnalisme dibabat oleh kepentingan untuk up to date dan mengejar rating. Pada akhirnya, sensasi dan pergunjingan lebih diutamakan ketimbang informasi yang mengandung kebenaran faktual yang bermanfaat untuk masyarakat.

Baru di tahun-tahun belakangan, mereka yang tak sepakat kemudian memunculkan gelombang tandingan yang berbeda. Berita dalam media online pun tidak harus secara tergesa-gesa dilaporkan, ditulis, diedit dan ditayangkan dalam laman berita. 

Unsur-unsur jurnalistik harus lebih dulu dipenuhi untuk bisa masuk ke dalam laman berita digital sehingga nilai-nilai jurnalistik pun bisa tetap terjaga tanpa menghilangkan sama sekali aspek realtime khas media online. Tak jarang pula, beberapa portal berita menampilkan berita dengan analisis mendalam.

Tahun 2015 pun menjadi amat penting karena di tahun ini netizen (masyarakat internet) yang membaca berita dan konten-konten di dunia maya sudah mulai terlihat semakin dewasa. Setelah di tahun sebelumnya, para pejabat pemerintahan, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, menggunakan jejaring sosial pribadi untuk “kulakan masalah” dan memberikan contoh yang baik tentang penggunaan internet. Hal ini tentu menggembirakan.

Dinamika dalam dunia digital tersebut bukan tidak mungkin merupakan gerakan mencari titik seimbang sosio-kultural baru. Dalam masa transisi dari budaya cetak ke budaya digital, diam-diam kita mulai mencari bentuk masyarakat baru. Kita pelan-pelan sedang mencari bentuk kebudayaan baru yang berasaskan kebebasan, demokrasi, kesetaraan dan kesamaan derajat dalam bingkai hubungan antar manusia yang bebas, terbuka, egaliter serta informasi yang bisa diakses siapapun.

Sudden Shift

Perubahan sosio-kultural sekarang –dan mungkin di masa-masa sebelumnya- membawa dampak yang mengagetkan. Migrasi orang-orang ke internet dengan sangat cepat perlu disikapi dengan bijak. 

Data tahun 2015 menyebutkan, di Indonesia saja terdapat 88,1 pengguna aktif internet dengan sebagian besarnya merupakan pengguna ponsel pintar. Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang masyarakatnya paling gandrung berjejaring sosial. Efek migrasi dan berubahnya perilaku masyarakat tersebut berefek besar dan menyentuh hampir semua aspek. Di bidang ekonomi, pembeli yang melakukan transaksi secara online di e-commerce tercatat terus mengalami peningkatan hingga ratusan persen.

Di bidang sosial kita juga menemukan hal-hal baru yang tidak didapatkan di zaman sebelumnya. Mengenal lebih banyak orang dari banyak latar belakang, suku dan bangsa menciptakan manusia baru yang bervisi global namun bercita rasa lokal. 

Selain itu, yang paling kentara dari fenomena baru ini yakni terbukanya ruang-ruang konflik baru akibat bertemunya berbagai macam perbedaan dalam satu wadah. Bagi sebagian orang, konflik ini bisa jadi destruktif tapi konflik tersebut juga bisa menjadi sesuatu yang membangun. Sayangnya, para akademisi di Indonesia belum terlalu peka dan tertarik meneliti fenomena sosial baru ini.

Perubahan-perubahan akibat migrasi yang dilakukan jutaan orang dalam waktu yang relatif singkat tersebut lazim disebut fenomena sudden shift. Sudden shift di Indonesia juga ditopang dengan banyaknya masyarakat berusia muda (15-30 tahun) yang menghayati internet. 

Fenomena ini akan mengubah banyak orientasi dan kecenderungan berkehidupan. Pada akhirnya, semua lembaga sosial, ekonomi, pemerintah dan sebagainya harus menyesuaikan diri dengan masyarakat yang mulai berubah ini. Utamanya sektor jasa harus mulai beradaptasi jika tak ingin stagnan bahkan ditinggal pelanggannya.

Contoh faktual dampak sudden shift di jagat media dapat kita tengok dari banyaknya koran cetak yang menghentikan penerbitannya. Terhitung per 1 Januari 2016 nanti, Surat Kabar Sinar Harapan yang terbit sore tak lagi cetak. Lalu, BeritaSatu Holding, pengelola surat kabar harian berbahasa Inggris, The Jakarta Globe, menghentikan versi cetak sejak September 2015 dan beralih sepenuhnya menjadi media online.

Selanjutnya, Harian Bola, media di bawah naungan Grup Kompas Gramedia juga gulung tikar. Harian Bola bernasib sama dengan Soccer, juga dari Grup Kompas Gramedia, yang terpaksa beralih ke online sepenuhnya pada 30 Oktober 2014. Tutupnya Harian Bola disinyalir lantaran kegagalan bersaing dengan media olahraga online yang kian menjamur dan terus menggerogoti pembaca muda kisaran usia 15-30 tahun.

Nielsen Indonesia pun membeberkan, dari 117 surat kabar yang biasanya dipantau, 16 unit media telah gulung tikar. Dari 170 majalah, kini menyisakan 132 saja yang sanggup bertahan.

Akan tetapi, bergugurannya berbagai media cetak tersebut bukan berarti masa depan bisnis ini bakal suram. Hanya saja perlu ada pencermatan situasi dan adaptasi cepat karena di setiap masa transisi selalu lahir para pemenang baru. Yakni mereka yang mampu menemukan titik seimbang baru yang sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakatnya. 

Seperti apa titik seimbang yang baru tersebut, kita hanya akan menduga-duganya sambil menunggu semua proses ini berjalan. Wallahu a’lam bishshowab. ***



Artikel ini dimuat di koran Fajar Cirebon Kamis, 31 Desember 2015

Ilustrasi: tekno.liputan6.com 

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: