Skip to main content

Santri, Abangan dan Susahnya Berada di Tengah


SELEPAS hadiyuan, seperti biasa, jamaah terdengar riuh. Mereka yang tadinya ngantuk pun seolah kembali segar. Ngobrol ngalor ngidul, tanpa komando. Sejurus kemudian, tuan rumah mengeluarkan aneka suguhan, dari mulai keripik gedang, intip, lumpia hingga bolu kukus. Tak lupa, rokok kretek dan kopi pun dihidangkan.

Begitulah suasana akrab setiap malam sewelasan (malam tanggal 11 setiap bulan dalam tahun Hijriyah) di desa kami, Kertasura. Anak-anak muda Ansor desa menginisiasi kegiatan yang sudah hampir setengah tahun ini berjalan. Tak banyak yang hadir, mungkin ada 20-an orang. Tapi kekhusyukan tak memedulikan kuantitas, bukan?

Sebelum pembacaan hadiyu, jamaah terlebih dulu membaca surah Al-Waqi’ah. Mengistiqomahkan membaca surat ke-56 dalam Al-Qur’an tersebut dipercaya bisa memudahkan segala urusan. Utamanya melancarkan rizki. Meski biasanya amalan Waqi’ah dibaca selepas Ashar, tapi jamaah tak terlalu risau mengamalkannya malam hari dibarengi dengan membaca hadiyu setelahnya.

Bagi saya, yang tak kalah menarik dari kegiatan jamaah di kampung-kampung ini adalah obrolan yang menderas-bandang setelah acara. Acara ini biasanya mengalahkan acara utamanya. Pembacaan surah dan dzikir paling lama satu jam-an selesai. Tapi kalau sudah ngobrol, lupa semua. Pun, tak terasa hari sudah hampir pagi.

Selayaknya obrolan tanpa moderator, kanda-kanda itu liar dan meloncat-loncat. Dari bahasan tentang panenan, tambak hingga masalah politik ibukota. Dari sekian obrolan, tersiar informasi yang menarik perhatian. Ia adalah tentang santri dan abangan.

Salah seorang pemuda, putra dari seorang kyai di desaku menganalisa bahwa masyarakat di desanya itu terbagi dalam dua kutub yang berbeda, golongan agama (santri) dan golongan adat (abangan).

Golongan agama adalah mereka yang saleh secara ritual keagamaan. Mereka biasanya rajin ke masjid atau tajug untuk salat berjamaah. Ibu-ibu dan bapak-bapak dari golongan ini juga beberapa kali setiap seminggu mengadakan majelis taklim. Dalam majelis, ibu-ibu mengisinya dengan aneka kegiatan seperti marhabanan, tahlilan, ataupun mengaji kitab.

Tempat acara berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Untuk menyiasati kebutuhan konsumsi dan perjamuan yang harus ditanggung tuan rumah, majelis juga biasanya adalah perkumpulan arisan. Yang mendapatkan kocokan, dialah yang akan menjadi tuan rumah pengajian berikutnya. Setelah semua orang mendapat kocokan, arisan pun diulang kembali dengan beberapa masukan dan usulan.

Kalau majelis ibu-ibu biasanya pada siang hari, majelis bapak-bapak diadakan pada malam hari. Mereka semua dalam setahun biasanya melakukan beberapa perjalanan spiritual bersama-sama lewat kegiatan ziarah Walisanga (ziarah besar) ataupun ziarah kecil seperti ziarah Gunung Jati, ziarah Syekh Datul Kahfi, ziarah Pamijahan, ziarah Habib Keling dan sebagainya. 

Sementara golongan kedua adalah golongan adat. Walaupun beragama Islam, tetapi mereka tidak taat dalam menjalankan tuntutan agama. Mereka cenderung malas pergi ke marjid atau tajug. Meski sebagian dari mereka masih melakukan ritual agama secara individual, tapi sebagian besar tidak melaksanakan ajaran agama sama sekali.

Mereka menjadikan adat dan budaya leluhur sebagai pedoman kehidupan. Dari sekian tata nilai yang ada, solidaritas dan jiwa sosial yang tinggi adalah salah satu sikap utama mereka. Mereka biasanya suka dengan acara-acara adat seperti sedekah bumi, ngunjungan, mapag sri, nanggap wayang, organ tunggal dan temoan

Kegemaran mereka mungkin bersumber dari rasa primordial yang amat kuat terhadap budaya masa lalu. Sifat primordial dan solidaritas yang tinggi inilah yang memperbesar potensi konflik antar desa di daerah loran –begitulah daerah di ujung utara Cirebon ini disebut--.

Seorang anggota masyarakat yang dicederai, dilukai, dihina, atau bahkan dibunuh oleh masyarakat dari desa lain sangat memungkinkan menjadi pemicu perang antar desa. Rasa tersinggung dan ikut terhina saat anggota masyarakat lain terdzolimi mutlak merupakan pegangan hidup yang tidak boleh luntur hingga kapanpun. Sebab, hanya dengan sikap begitu harkat dan martabat mereka tetap terjaga.

Di satu sisi, solidaritas sosial yang begitu tinggi memang membantu mereka bertahan hidup, tapi di sisi lain hal itulah yang membuat mereka susah membaur dengan masyarakat dalam lingkup yang lebih luas. Akibat lebih jauh, mereka sulit menjadi masyarakat yang kosmopolit.

Golongan agama menuding segala tradisi yang diagung-agungkan golongan abangan penuh dengan kemaksiatan. Pesta pora, musik dangdut, keseronokan dan minuman keras selalu menyertai panggung adat. Tidak ada sama sekali jejak-jekak Sunan Kalijaga dalam menyiarkan agama Islam lewat seni-seni tradisi dalam upacara adat desa. 

Oleh karenanya, banyak ajengan yang semakin menjauhi adat desa, termasuk pagelaran wayang. Wayang kulit yang saban tahun ditanggap di alun-alun desa, tepat di depan masjid, tak pernah sekalipun disambangi agamawan. Wayang sepenuhnya menjadi panggung bagi mereka yang disebut tidak lagi ‘islami’.

Tak kalah, kaum abangan menuduh para santri sebagai makhluk yang asosial. Segala kesalehan yang dilakukan tak berdampak sama sekali bagi kesejahteraan masyarakat. Santri juga dituding sebagai orang yang tak suka bermasyarakat dan lebih mementingkan keselamatan individu dibandingkan kemaslahatan bersama. Ketakwaan yang ditunjukkan golongan agama tak lebih dari sekadar ambisi mengkapling surga untuk diri dan keluarganya.

Bagi para abangan, lebih baik bermasyarakat (mengutamakan kesalehan sosial) meski meninggalkan kesalehan individu dibandingkan mengutamakan kesalehan individu tapi tak peduli dengan masyarakat. Sementara bagi santri, ritual agama amatlah penting dilaksanakan setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tapi ritual tersebut berhenti pada tahap ritual dan belum berhasil menjadi etika sosial.

Dalam kehidupan sebenarnya, memang masyarakat di Desa Kertasura tak bisa dikategorikan sesempit itu. Ada banyak kelompok dan individu yang mempunyai karakteristik berbeda dan tak bisa dikategorikan dengan mudah. Tapi pengkategorian seperti ini bisa membantu kita melihat lebih dalam tentang pertaruhan dan pertarungan pemaknaan terhadap budaya dan simbol-simbolnya. Ada baiknya bahasan tersebut dilakukan dengan penelitian secara mendalam terlebih dulu. Saya hanya memberikan gambaran yang masih sangat kasar.

Susahnya berada di tengah

Anak-anak muda Ansor Kertasura kebanyakan adalah mereka yang gundah gulana berdiri di antara dua realitas yang saling tarik-menarik di atas. Mereka berada pada medan laga antara mereka yang kukuh terhadap nilai-nilai lama warisan leluhur Cirebon dan mereka yang mendapat pengetahuan agama yang steril dari nilai-nilai leluhur tersebut.

Kegundahan tersebut awalnya berangkat dari masih dijalankannya beberapa ritual keagamaan gubahan para wali. Ritual tersebut seperti ngupati, nuju bulan, mudun lema, munjuk sunan, ngunjungan, sedekah bumi, mapag sri, dan lain sebagainya. Ritual-ritual itu beserta beberapa seni warisan Walisongo seperti wayang kulit dan yang lebih baru seperti wayang cepak (wayang golek) ternyata miskin pemaknaan.

Kami yang di kampung-kampung dan pelosok desa masih mengamalkannya tapi tak mengerti apa maksudnya, bagaimana maknanya dan kenapa Walisanga menciptakannya? 

Kegalauan itu pun bertambah-tambah tatkala anak-anak muda golongan Wahabi menyerang telak segala ritual kami. Dari mulai tahlilan, marhabanan hingga mereka katakan ngunjungan tak lebih dari penyembahan terhadap arwah nenek moyang. Ia adalah pemberhalaan, katanya. Sontak, darah muda kami membuncah tak terima. Tapi saat kami mencoba menjelaskan semuanya, mencoba berdebat dan membela segala tradisi yang baik itu, kami kehabisan amunisi.

Di pesantren, kami tak dapati pelajaran tentang makna ritual yang khas Islam Nusantara itu. Apalagi tentang wayang dan seni tradisi lainnya. Di sekolah dan madrasah pun sama, semuanya steril dari pemaknaan terhadap ritual yang dekat dan keseharian itu. 

Sisa-sisa pemaknaan datang dari para tetua desa, tapi itu pun jauh dari memuaskan. Para orang tua lebih banyak menyederhanakan makna dengan analogi-analogi yang tak rasional dan ahistoris. Jawabannya terlalu simpel dan tidak bisa dipahami akal kami. Kami adalah generasi yang kepaten obor.

Golongan Wahabi itu pernah mendebatkan satu masalah. Kata mereka wayang itu hanya strategi Walisanga untuk mengislamkan orang-orang Jawa. Selaiknya strategi, saat orang-orang di Jawa sudah beragama Islam, maka sah saja jika kemudian wayang ditinggalkan. 

Masih menurut mereka, strategi yang sama pun digunakan Walisanga dengan menggubah tahlil serta ritual-ritual lain yang mengadopsi ajaran pribumi. Lagi-lagi kata mereka, setelah orang-orang Jawa sudah beragama Islam, maka semua ritual-ritual sinkretik tersebut harus dihapuskan.  

Kami pun berkukuh dengan seribu argumen. Kalau sudah mentok, kami selalu bilang bahwa segala amalan dan ritual tersebut adalah warisan Sunan Gunung Jati yang tak bisa ditinggalkan. Selainnya, kami tak punya cukup jawaban yang mengesankan. Apalagi kemudian kami sadar, memang semakin banyak orang dari golongan kami yang pelan-pelan meninggalkan wayang dan ritual-ritual itu. Mungkin kami yang keliru memahami Islam Nusantara atau terlalu berharap pada bertemunya nilai masa lalu yang baik dengan nilai zaman baru yang lebih baik.  

Tapi saya tahu, para pemuda ini tak patah arang. Meski kadang saya sendiri lelah, mereka tetap melangkah mencari titik temu dua kutub yang lama terpisah tersebut. Dalam sebuah acara ngunjungan, GP Ansor Kertasura memberanikan diri mendatangkan dua penceramah. Pertama adalah kyai dari Tegalgubug, sementara yang kedua adalah budayawan, filolog Cirebon Opan S. Hasyim yang mendaraskan tentang sejarah dan budaya Cirebon.

Lewat acara tersebut, mereka berharap ada dialog antara agama dan budaya. Para pemuda ini yakin, NU dengan Islam Nusantaranya bisa menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya. Oleh karenanya, saat saya menawarkan NU sebagai jalan tengah bagi dua kutub, mereka pun mau untuk bergabung dengan GP Ansor. Tapi perjuangan baru saja dimulai. Pengkajian, diskusi dan konsolidasi harus terus dilakukan.

Banyak pihak merasa senang dengan langkah kami, tapi lebih banyak yang nyinyir. Tembok tebal yang memisahkan santri dan abangan masih begitu kuat dan belum bisa diruntuhkan. Keduanya masih saling menyalahkan dan perang pendapat dalam senyap. Kami pun lekas sadar, memang susah berada di tengah.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: