BERITA
bohong (hoax) menjadi masalah yang
cukup pelik yang dihadapi masyarakat digital sekarang ini. Pada saat kita mulai
merayakan kebebasan informasi yang semakin egaliter dan massif, ternyata
terdapat residu yang begitu mengganggu.
Cita informasi yang mudah, murah dan
bermanfaat sirna begitu saja dengan semakin banyaknya berita yang tidak benar.
Alih-alih mendapat informasi yang bermanfaat, masyarakat sekarang banyak
dijejali berita palsu mengandung fitnah dan provokasi.
Ada pernyataan yang
cukup relevan bahwa anugerah yang besar selalu diiringi dengan tanggung jawab
yang besar. Kemudahan berkomunikasi lewat jejaring sosial harusnya selalu dibarengi
dengan kearifan menggunakannya. Kalau tidak, maka bencana informasi siap
menerjang segalanya.
Pada 10 Januari 2017, dua desa di
Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, terlibat konflik gara-gara hoax. Sekira 90 rumah di lokasi tersebut
rusak, sementara para korban mengungsi dan mengalami trauma yang tidak ringan. Konflik
berawal saat sebuah akun Facebook dari satu desa yang menyebutkan seorang warga
desanya tewas dikeroyok warga desa tetangga. Berita yang disebarkan tersebut
bohong belaka, sebab orang yang meninggal merupakan korban kecelakaan tunggal.
Peristiwa nahas tersebut
menyadarkan kita bahwa internet memberikan pengaruh ke semua lini kehidupan
manusia. Tidak hanya di Indramayu, dampak buruk berita bohong juga melanda
sejumlah daerah lainnya di Indonesia. Berita bohong dan ajakan menarik uang
secara serentak (rush money) akhir
tahun kemarin juga memberikan efek kejut yang luar biasa bagi pemerintah.
Tak
heran jika Presiden Jokowi berkali-kali mengingatkan betapa pentingnya kita
mencegah berita bohong tersiar luas. Untuk memastikan tak ada lagi berita
bohong, Jerman bahkan mengancam akan mendenda Facebook miliaran rupiah untuk
setiap berita bohong yang ditampilkan. Bagi masyarakat dunia, hoax adalah ancaman serius bagi
demokrasi karena ia bisa membelokkan informasi yang berdasar nalar kepada
informasi yang berdasar emosi belaka.
Seorang calon pemimpin bisa
menyiarkan kebencian dan kekerasan rasial, berdasar agama atau identitas
tertentu yang berpotensi menyulut emosi satu kelompok demi mendapatkan
popularitas. Internet dan media sosial menjadi medium yang pas untuk membakar
emosi massa. Dalam kasus terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS, para
pengamat meyakini bahwa kampanye yang penuh diskriminasi-lah yang membuatnya
menang.
Dengan bantuan media sosial, Trump membakar emosi voters meskipun janjinya berseberangan dengan konstitusi. Setelah
dilantik, kebijakan-kebijakan Trump terus mendapat banyak tentangan dari
warganya sendiri. Akibatnya, stabilitas negeri dengan pengalaman demokrasi yang
matang itu terganggu.
Peristiwa ganjil di AS menjadi
pelajaran berharga bagi negara-negara lain untuk menyikapi serius ancaman
berita bohong. Segala upaya dilakukan termasuk dengan memblokir situs atau akun
tertentu. Tapi bagi negara demokrasi, termasuk Indonesia, memblokir informasi
sama saja dengan mengkerangkeng kebebasan informasi.
Penyebaran berita bohong
tak bisa diselesaikan dengan cara memberangus kebebasan berpendapat. Lalu
seperti apa jalan yang perlu dilakukan? Di sinilah pentingnya menguatkan peran
pers untuk menumbuhkan kedewasaan masyarakat dalam mencerna informasi.
Rendahnya Literasi
Zaman digital mengubah karakter
pembaca menjadi lebih instan. Selain semakin bebas mengemukakan pendapatnya di
media sosial, masyarakat jadi semakin sering membaca informasi secara singkat
dan memercayainya meski tanpa verifikasi. Informasi dengan minim pencernaan itu
disebarkan dengan begitu derasnya.
Belum lagi, informasi yang berpotensi viral seringkali adalah berita yang
mengaduk-aduk emosi dan tak jarang memunculkan sentimen primordial berbasis suku,
ras, agama, ataupun pilihan politik tertentu.
Berita palsu mempunyai daya kejut
yang mampu menggiring netizen
(masyarakat internet) terlibat secara emosional dan lupa mencernanya dengan
menggunakan nalar. Kealpaan nalar dalam konsumsi informasi salah satunya
disebabkan rendahnya budaya literasi bangsa kita.
Fenomena maraknya hoax di Indonesia disebut sebagai
pertemuan tak imbang antara tingkat pemakaian internet yang tinggi dengan
hancur leburnya tingkat literasi. Bangsa ini belum cukup dewasa untuk menerima
anugerah luar biasa dari kebebasan yang ditawarkan internet.
Tentang betapa hancurnya tingkat
literasi bangsa Indonesia sudah disinggung secara ‘nyinyir’ oleh Mohamad
Sobary. Dalam tulisannya pada tahun 2014 lalu, budayawan dan esais ini menyebut
bangsa Indonesia sebagai ‘Umat yang Jarang Membaca’.
Betapa tidak? Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNESCO) pada tahun 2012 pernah mencatat indeks membaca bangsa Indonesia hanya
0,001. Artinya, dari 1.000 orang hanya satu orang yang membaca. Sungguh indeks
yang tidak membanggakan, bahkan Sobary menyebut indeks tersebut bukan terendah,
melainkan ‘terkubur di bawah tanah’.
Pada 2014, UNESCO kembali merilis
sebuah data yang di dalamnya menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia membaca
hanya 27 halaman buku dalam satu tahun. Itu berarti hanya 2,25 halaman buku
yang dibaca anak Indonesia setiap bulannya atau hanya 0,1 halaman buku setiap
harinya.
Pada 2016, World’s Most Literate Nations, Central Connecticut State
University menempatkan literasi Indonesia di posisi ke-60 dari 61 negara. Data
yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan lembaga dalam negeri.
Pada 2015, Kajian Perpustakaan Nasional di 12 Provinsi dan 28 kabupaten/kota di
Indonesia mencatat minat baca masyarakat termasuk dalam kategori rendah (25,1).
Begitu rendahnya literasi
berbanding terbalik dengan sangat ‘cerewetnya’ masyarakat Indonesia di media
sosial. Twitter Indonesia mencatat sebanyak 1,4 miliar cuitan dihasilkan oleh
netizen di Indonesia selama 2016. Angka ini menobatkan Indonesia sebagai Negara Twitter yang paling ‘cerewet’
sedunia.
Selain itu, Asosiasi Jasa Internet Indonesia (AJII) dan Polling
Indonesia mencatat 132,7 juta orang (51,8 persen dari total penduduk) di
Indonesia telah menggunakan internet per November 2016. Di mana sekitar 69,9
persennya merupakan pengguna internet dari perangkat ringan seperti telepon
pintar.
Meski banyak pendapat yang
berbeda tapi data-data di atas cukup untuk menyimpulkan bahwa hoax akan terus berkembang di Indonesia.
Jika diibaratkan hoax adalah sebuah
pohon, maka internet adalah tanahnya sedangkan literasi yang rendah adalah
humusnya. Pohon perusak tersebut akan tumbuh lebat jika pemilik kebun tak
mengantisipasinya dengan baik.
Berharap Pada Pers
Di atas telah disebutkan bahwa
peran pers harus lebih dikuatkan untuk membendung serangan informasi bohong. Internet
memang menghadirkan kemudahan tapi cara kerja komputer tidak pernah kita sangka
akan membawa dampak yang cukup serius bagi penyebaran hoax. Algoritma yang dibangun komputer, internet dan media sosial
tak bisa mendeteksi niat jahat dan kandungan buruk satu konten berita.
Kemudahan membuat akun media
sosial maupun website membuat setiap orang bisa dengan gampang menciptakan
kebohongan demi menangguk untung semata. Kementerian Informasi dan Informatika (Kominfo)
menyebutkan ada sekitar 700.000 hingga 800.000 situs bermuatan negatif, seperti
pornografi, penipuan, berita bohong, dan radikalisme. Kepercayaan masyarakat
pada kredibilitas informasi yang disebarkan melalui media sosial pun semakin
turun.
Pada situasi seperti inilah,
harapan masyarakat terhadap kredibilitas informasi kembali pada pers, terutama
media cetak. Profesionalitas pers dengan melakukan verifikasi terhadap setiap informasi
sebelum disebarkan ke publik menjadi jaminan kredibilitas informasi.
Kredibilitas inilah yang dijaga dengan sangat ketat melalui lembaga sepeti
Dewan Pers hingga Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Untuk itu, peran pers membangun
kedewasaan masyarakat dalam mencerna informasi pun perlu dikuatkan. Penguatan
tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya pers harus mampu
hadir tak berjarak dengan masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat. Media
cetak harus mampu menjadi lembaga media plus lembaga sosial yang berinteraksi
aktif dengan masyarakat.
Kedua, pers harus bisa
beradaptasi dengan zaman yang terus berubah. Lembaga pers tradisional harus
bisa merebut hati generasi milenial yang sudah menjiwai internet. Mereka yang berusia
18 hingga 35 tahun harus didekati secara berbeda. Media cetak penting untuk
mempunyai dan terus mengembangkan versi online dan koran versi digitalnya.
Strategi ini ampuh untuk merebut perhatian anak-anak muda.
Akhirnya, membendung derasnya berita
bohong dengan memblokir situs-situs dan akun media sosial tertentu saja tidak akan
pernah cukup ampuh. Jauh lebih penting adalah mengedukasi generasi muda bangsa
Indonesia untuk melek literasi agar terbiasa mencerna informasi dengan nalar.***
*Dimuat di Fajar Cirebon, Rabu 19 April 2017.
**Ilustrasi: geotimes.co.id
Comments
Post a Comment