PRIBUMISASI
Islam bukan hanya ihwal Islam yang begitu akomodatif terhadap kearifan lokal
belaka, tapi ia juga mengandaikan sebuah budaya yang benar-benar siap dan terbuka
menerima nilai-nilai asing. Hipotesa ini berangkat dari asumsi bahwa setiap
budaya harus lebih dulu memiliki kedudukan setara sebelum perpaduannya
menghasilkan sebuah tegangan kreatif. Kedudukan setara ini memungkinkan kedua
entitas saling melengkapi dan menyempurnakan. Jadi prinsip kesalingan
(resiprokal) tak boleh dilepaskan sama sekali untuk bisa menjelaskan
pribumisasi Islam di Nusantara secara lebih utuh.
Berangkat dari hipotesa tersebut,
kajian mengenai betapa budaya Nusantara sangat mengakomodasi nilai-nilai asing
menjadi penting dilakukan. Mengingat wacana pribumisasi Islam baru sebatas pada
elaborasi Islam yang ‘lentur’ saat menerima nilai-nilai lokalitas. Kajian ini
bisa kita awali dengan melacak beberapa catatan mengenai sejarah masa lampau, ingatan
kolektif masyarakat, arkeologi maupun yang bidang lainnya yang terkait.
Dalam Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna, arkeolog Agus Aris
Munandar mengatakan bahwa salah satu ciri dari bangsa Austronesia di Asia
tenggara (termasuk Indonesia) adalah mereka mampu berinteraksi dan berdialog
dengan budaya luar yang datang. Kemudian unsur kebudayaan luar itu menjadi
luluh dan perlahan menjadi miliknya sendiri. Tentu saja apa yang dikatakan
Munandar menarik untuk didalami lebih jauh karena kesimpulan ini pun mendapat
banyak tentangan.
Dia pun melacak watak peradaban Nusantara
yang unik ini dengan berdasar pada teori yang mengatakan bahwa asal muasal bangsa
Austronesia adalah satu koloni sebelum akhirnya dipisahkan oleh permukaan air
yang naik akibat pencairan es di kutub pada zaman Pleistosen. Menariknya, meski
seorang arkeolog, Munandar tak ragu menggunakan mitos untuk merekonstruksi
sejarah peradaban tersebut.
Dia menganalisis beberapa mitos
dari berbagai daerah di Asia Tenggara dan sekitarnya. Dia mencermati mitos Suku
Daya Ngaju, Batak, Nias, Sumba, Flores, Minahasa, Toraja, Kanekes, asal-usul
manusia di pulau Jawa, Aji Saka, bangsa Aboribin di Australia, bangsa Ifugao di
Filipina, Thailand, Cina, hingga cerita dalam mitologi Hindu. Dari sekian
banyak cerita tersebut kuat kemungkinan bahwa mitos-mitos tersebut bukan
sekadar cerita rekaan irasional melainkan sebuah ingatan kolektif masyarakat
yang terbiaskan oleh rentangan zaman. Percaya atau tidak, semua mitos yang
dicermati Munandar mempunyai beberapa kesamaan tema.
Meskipun bercerita tantang sosok
yang berbeda tapi beberapa kesamaan ada di dalam cerita-cerita tersebut. Ada
cerita tentang banjir besar, cerita tentang sebuah pohon hayat, cerita tentang
penghormatan terhadap gunung dan cerita tentang perahu. Dari kesamaan tema-tema
tersebut, kuat diduga memang dulu bangsa Austronesia berasal dari satu koloni
yang terpisah gegara banjir besar.
Mereka yang selamat dan menghuni kepulauan Nusantara adalah mereka yang ‘diselamatkan’ pohon-pohon besar, naik ke atas
gunung ataupun naik perahu. Tak heran jika pohon-pohon besar dan puncak gunung
menjadi tempat yang amat istimewa dalam peradaban di Nusantara.
Hingga masa jauh ke depan,
ingatan kolektif orang-orang yang menghuni pulau-pulau di Nusantara tak pernah
lupa bahwa mereka yang berada nun jauh di seberang lautan sana tak lain adalah
saudara. Maka, bangsa yang terpisah ini mengidentifikasi bangsanya bukan
sebagai tanah, pulau, benua atau land,
melainkan Tanah Air. Bukan hanya daratan tapi juga lautan, karena yang berada
di seberang lautan sana juga saudara.
Lebih jauh, Primadi Tabrani
pernah mencoba membandingkan watak manusia kepulauan seperti Indonesia dengan
watak manusia benua seperti Eropa dan lainnya. Menurutnya, watak manusia
kepulauan cenderung dengan perdamaian dengan orang asing. Sementara watak
manusia benua cenderung berseteru dengan yang berbeda, apalagi yang asing.
Hal ini dia buktikan dengan
banyaknya pertempuran di negeri yang ada di tengah benua dan harmoninya
negeri-negeri kepulauan. Bagi Tabrani, Indonesia merupakan kebalikan dari apa
yang terjadi di Eropa. Di Indonesia tercipta bangsa dulu baru kemudian muncul
suku yang beraneka ragam. Berbeda dengan orang benua yang mulai dengan etnik
dulu kemudian baru bangsa.
Keberadaan bangsa di kepulauan
Indonesia yang memiliki peradaban mandiri dan mempunyai ciri yang kuat diakui
banyak ilmuwan, salah satunya adalah sejarawan Belanda, Bernard H.M. Vlekke.
Dia meyakini bahwa ketika India pertama menetap di Kepulauan Indonesia mereka
tidak berjumpa dengan orang-orang yang tidak beradab, yang bisa dengan
seenaknya mereka cekoki dengan budaya mereka sendiri.
Yang terjadi saat itu adalah
intensitas hubungan Indonesia-India dan pada akhirnya orang Indonesia meminta
sumber kekuatan India, monumen, ajaran dan ilmu gaib dari India. Negara-negara
di Indonesia sudah ada sebelum mengadopsi peradaban asing, tapi pengaruh asing
itulah yang membuat mereka jadi ‘vokal’.
Peradaban yang dimaksud Vlekke
adalah sebuah local genius yang mampu
mengatasi agama-agama. Ia adalah sebuah kebiasaan ‘menerima kultus baru tanpa
menolak yang lama’. Banyak penguasa di Indonesia menganut Buddhisme tapi ini
tidak dengan sendirinya berarti Buddhisme menjadi agama ‘resmi’ dengan
menyingkirkan semua keyakinan dan praktik agama lain.
Perang agama jarang terjadi dalam
sejarah pulau Jawa, bahkan ketika Islam masuk. Penjelasan yang lebih masuk akal
atas peristiwa-peristiwa tersebut adalah bahwa keputusan menganut Buddhisme
atau Shiwaisme adalah urusan yang ditentukan para raja. Dan bahwa masuknya satu
agama baru tidak menimbulkan perubahan mendasar dalam praktik pemujaan popular.
Walaupun mungkin ada tambahan unsur-unsur baru. Juga tidak ada tuntutan
terhadap rakyat banyak untuk menganut ajaran Buddha atau secara eksklusif
menyembah dewa-dewa Shiwais.
Bingkai ‘menerima kultus baru
tanpa menolak yang lama’ sepertinya digunakan oleh Vlekke untuk menafsirkan
data-data historis yang tidak bisa dipahami orang Eropa seperti dia. Baginya,
berganti-gantinya agama dalam setiap kurun sejarah tak pernah sekalipun
terdapat perselisihan dan pertumpahan darah atas nama agama cukup mengherankan.
Bahkan, salah satu dinasti
Singhasari memadukan dua agama yang jelas berbeda yang kemudian disebut
Shiwa-Buddha atau dalam sejarah popular disebut agama Hindu-Buddha. Padahal,
dalam kenyataannya tak ada agama yang mencampuradukkan Hindu dan Buddha. Yang
seperti ini hanya ada di Nusantara.
Segala ajaran apapun diterima
dengan baik oleh orang-orang Nusantara dan lambat laun ajaran tersebut menjadi
miliknya, dalam artian sudah tak sama lagi dengan ajaran dari daerah asalnya.
Hindu di Bali tak sama dengan Hindu dari India, Buddha di Kalimantan tidak sama
dengan Buddha di Tiongkok, pun Islam di Jawa tak pernah sama dengan Islam di
Arab.
Semua itu karena tegangan yang
terjadi antara dua entitas, religiositas dan lokalitas menjadi sebuah energi
kreatif yang luar biasa hingga menciptakan peradaban sendiri yang berbeda dari
peradaban manapun juga. Di sinilah letak kecerdasan para pendiri bangsa yang
mempertahankan mati-matian falsafah bangsa, Pancasila yang mengakomodir semua
agama. Juga bentuk negara kesatuan yang merupakan kesadaran total tentang tanah
dan air, Nusantara.
Jadi, pemahaman dan gerakan
keagamaan yang akhir-akhir ini terus mengumandangkan syariatisasi negara dan
islamisasi negara merupakan sebuah langkah mundur kalau tak bisa dikatakan
ahistoris. Sebab, sejak awalnya Nusantara adalah sebuah bangsa yang terbuka
menerima segala perbedaan suku, agama, bahasa, warna kulit dan sebagainya.
***
*Artikel dimuat HU Fajar Cirebon, 11 April 2017. Merupakan cuplikan dari makalah yang disampaikan dalam Dialog Kebangsaan yang diselenggarakan CSPC di IAIN Syekh Nurjati Cirebon pada 6 April 2017.
Ilustrasi: jalandamai.org
Comments
Post a Comment