Skip to main content

Tak Pecah oleh Hantaman Zaman

Kompas, Selasa 4 April 2017.

Semar dengan tubuh subur itu tertawa menyambut tamu. Itulah bagian dari kerajinan gerabah dalam pameran Antara Sitiwinangun dan Pagerjurang Bayat di Bentara Budaya Jakarta, yang berlangsung 4-9 April ini. Pameran ini menampilkan gerabah dari Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dan Desa Pagerjuang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Dengan berbagai kreasi, perajin bertahan menyapa pasar tanpa meninggalkan warisan tradisi. Gerabah memang sempat terpuruk oleh modernitas.

Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Natadiningrat, yang bersama artis Lola Amaria membuka pameran ini, mengenang bagaimana di masa kecilnya ia menggunakan celengan dan peranti minum dari gerabah. "Sekarang orang menggunakan dispenser, atau bahan plastik," kata Arief.

Karena desakan ekonomi, perajin gerabah di Dusun Caplek dan Dusun Kebagusan, Sitiwinangun, sempat beralih menjadi pembuat kerajinan dari bahan ban bekas. "Dulu tahun 1970-an ada lebih dari seribu perajin gerabah. Kini tinggal sekitar 36 keluarga perajin gerabah," kata Ratija Brata Menggala, Kuwu atau Kepala Desa Sitiwinangun. Begitu pula kaum muda di Pagerjuang enggan bekerja menekuni kerajinan gerabah yang ditekuni leluhurnya.

Merawat budaya

Inovasi dilakukan oleh para perajin di Pagerjuang dan Sitiwinangun. Celengan, kendi, tungku dari Pagerjuang, berubah dari desain konvensionalnya. Anglo atau tungku yang semula berfungsi sebagai alat pemasak di dapur diubah berukuran lebih kecil dan berfungsi sebagai pemanas masakan. "Sekarang kami bisa mengekspor gerabah ke Eropa," kata Antonius Triyanto, seniman dan perajin dari Bayat.

Celengan model punakawan seperti Semar, Cungkring, atau Ceblok dari Sitiwinangun kini menjadi penyangga kap lampu, atau patung berbagi ukuran.

Tidak semata memburu rupiah, para perajin juga berusaha merawat warisan budaya. Mereka tidak ingin kehilangan identitas yang diturunkan leluhur mereka. "Dengan gerabah, kami kembali pada jati diri budaya bangsa kita," Kata Arief Natadiningrat. (XAR)

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...