KABAR terputusnya
rambut Syarif Syam, sang pengelana dari Suriah zaman Sunan Gunung Jati (sekira
abad ke 15-16 M) begitu melegenda. Legenda rambut panjang seorang pemuda ini
sering dimaknai sebagai simbol kesombongan dan putusnya rambut itu sebagai
simbol dari runtuhnya segala ketakaburan manusia. Pemuda itu akhirnya
diceritakan takluk oleh kiai yang bisa memotong rambutnya: Sunan Gunung Jati.
Penaklukkan tersebut berlanjut pada pengakuan menjadi murid.
Kalau dicermati, kerangka legenda tersebut sangat dramatik
karena menyandingkan ‘kekuatan baik’ dan ‘buruk’ dalam panggung. Pada saat yang
sama, cerita ini juga bekerja sebagai legitimasi kekuatan dan kesaktian Sunan
Gunung Jati saat menyebarkan agama Islam di Cirebon. Dalam dunia panggung,
kebenaran datang dari kemenangan saat terjadi konflik antara ‘yang baik’ dan
‘yang buruk’ berlangsung sengit.
Cerita masa lalu yang diwartakan dengan gaya drama panggung
di Cirebon terutama disebarluaskan lewat wayang cepak dan masres. Keduanya menghadirkan
masa lalu dalam sebuah medium kontestasi antara hitam dan putih. Hal ini
dinilai positif karena bisa menarik para penonton dan pendengar. Tapi di sisi
lain, karena bingkai darma panggung ini, rekonstruksi sejarah dari cerita lisan
menjadi sulit dilakukan.
Masa lalu yang ‘memanggung’ dalam masa kini menghadirkan sejarah
yang penuh dengan daya imajinasi dan fiksi. Bumbu-bumbu cerita muncul karena
seorang pelaku panggung (dalang) selalu mengandaikan psikologi penonton dalam
setiap cerita yang dibawakannya. Dalam pengandaian tersebut, muncul daya kreasi
yang tumbuh atas dasar keinginan dan kenyamanan penonton. Sejarah faktual pun
akan menjadi sangat absurd tatkala panggung memaksa pelakunya menuruti ketakjuban.
Ketakjuban inilah yang sesungguhnya menjadi kebutuhan dasar
panggung. Cerita yang biasa saja, tokoh yang biasa saja dan sejarah biasa akan
hambar saat dipersembahkan di atas panggung. Penonton butuh dinamika dan
ketakjuban. Kalau kita penggemar wayang cepak dan masres pasti akan dengan
mudah menemukan dinamika dan ketakjuban itu hampir di sepanjang pertunjukkan.
Penonton yang dahaga perlu diobati dengan pertunjukkan yang
tidak biasa dan mengundang decak kagum. Dengan begitu, cerita rakyat yang
melalui panggung lebih sebagai sebuah skrip drama dibandingkan sebuah ingatan
kolektif masyarakat tentang masa lalu. Meskipun isi ceritanya berbahan dasar
sebuah ingatan kolektif masyarakat.
Lalu, adakah harapan untuk merekonstruksi sejarah dari
cerita-cerita masa lalu yang dikemas secara dramatik itu? Tentu saja cerita
sebagai sebuah simbol dari peristiwa masa lalu maupun fenomena sosial masyarakat
masih bisa dibaca dan diinterpretasikan ulang – baik dengan analisis hermeneutika,
semiotika maupun folklor—untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Islam Cirebon
Misalnya, cerita mengenai putusnya rambut Syekh Magelung
oleh Sunan Gunung Jati bisa diinterpretasikan untuk tujuan mengetahui watak
Islam yang dikembangkan di Cirebon pada masa itu.
Salah satu sumber lokal dari Desa Karangkendal mengatakan
bahwa Syekh Magelung datang ke tanah Jawa tidak dengan tangan hampa, melainkan
membawa dua perahu besar. Perahu pertama bermuatan bahan makanan dan perbekalan
selama perjalanan dari Suriah ke Jawa. Perahu kedua berisi kitab-kitab ajaran
Islam yang hendak ia pakai selepas berlabuh di pulau Jawa. Informasi ini tidak
terdapat dalam naskah maupun buku-buku yang menjadi rujukan utama sejarah
Cirebon.
Sesampainya di pesisir Cirebon, Syekh Magelung yang hendak
menyebarkan Islam dengan kitab-kitab agamanya itu diberikan saran yang mendalam
dari seorang yang mendiami daerah tersebut. Orang tersebut mengatakan bahwa
orang Jawa tidak memerlukan banyak kitab karena yang dibutuhkan orang Jawa
adalah dua kalimat syahadat.
Ahmad Hamam Rochani membeberkan keberatan orang Cirebon
terhadap Syekh Magelung tersebut dalam bukunya yang bersumber dari naskah
Kuningan. Adapun menurut Rochani, orang yang menyarankan Syekh Magelung
tersebut tak lain adalah orang pertama yang dia jumpai di daerah muara Kali Kedung
Pane – sekarang masuk daerah Pasindangan— Syekh Bentong.
Sedangkan sumber lokal Karangendal mengatakan orang yang menyampaikan
saran tersebut adalah Pangeran Cakrabuana. Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa
orang tersebut adalah Sunan Gunung Jati, yang sekaligus memotong rambutnya yang
panjang.
Saya sendiri melihat, kisah rambut Magelung yang terpotong hanya sebatas simbol dari
peristiwa ‘ditolaknya’ niatan Syekh Magelung untuk menyebarkan agama Islam yang
bersumber dari kitab-kitab. Rambut yang panjang itu tak lain merupakan simbol
dari ilmu agama yang sangat berlimpah yang ditulis banyak ‘alim dan digunakan
di Suriah. Tapi, kitab tersebut memuat hanya pengetahuan dan pengetahuan itu
merupakan konstruksi peradaban yang berbeda dengan peradaban di Jawa.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa penduduk asli Cirebon
sudah mempunyai peradaban yang mandiri sebelum Syekh Magelung datang. Dengan
melihat karakter keagamannya, agama Islam datang saat para penduduk asli
memeluk agama Kesahyangan atau
menurut Agus Sunyoto agama Kapitayan.
Agama ini memiliki inti ajaran dengan kecenderungan esoteris
oleh karenanya amat lentur untuk menerima keyakinan dari luar, termasuk Islam.
Hanya saja, Islam yang akan mudah masuk ke sanubari masyarakat adalah Islam
yang juga sama esoterisnya: mistisisme Islam. Dalam hal ini, Islam yang bisa terjiwai
dalam diri orang-orang Cirebon.
Dengan begitu, agama apapun bagi orang Cirebon yang penting adalah
bukan sesuatu yang berada di luar manusia, tetapi sesuatu yang berasal dari
dalam diri menusia itu sendiri. Sehingga tidak diperlukan otoritas dalam
beragama. Tidak perlu kitab-kitab dan pengetahuan yang njelimet. Beragama
dengan model ini mengedepankan aktualisasi diri sebagai subjek peradaban
dibandingkan tunduk pada aturan kaku yang membelenggu subjek.
Beragama bukan merupakan upaya memberhalakan sosok melainkan
upaya mengenali diri. Saat sudah bisa mengenali diri, agama akan membawa
manusia mengenali Tuhannya. Mungkin ini yang menyebabkan kenapa ajaran wahdatul wujud menjadi primadona di
Cirebon karena kesadaran beragama orang Cirebon lebih dekat kepada jargon dalam
Islam: man ‘arofa robbahu faqod ‘arofa
robbahu.
Berislam bukanlah tentang aturan-turan dari luar diri yang
mendisiplinkan tubuh dan jiwa dengan sangat kaku. Tapi ia datang dari dalam,
dibangkitkan dan akhirnya manusia bisa mengendalikan diri dari setiap hasrat
yang mempunyai daya merusak amat besar. Sisi Islam yang demikian akomodatif
terhadap kearifan lokal diserap, sisanya yang begitu kaku dan memaksa ditolak
dengan halus.
Mengenai Islam yang begitu akomodatif terhadap nilai-nilai lokal juga diungkapkan oleh Dr. Mahrus el-Mawa dalam disertasinya tentang naskah Sattariyah wa Muhammadiyah. Menurutnya, simbolisasi iwak telu sirah sanunggal dalam ajaran tarekat Sattariyah di Cirebon merupakan salah satu bentuk pergumulan yang sangat intim antara Islam dan kearifan lokal Cirebon.
Pada akhirnya, Islam Cirebon menjadi peradaban sendiri yang
berbeda dengan Islam di daerah lainnya. Islam ini menjadi Islam yang toleran
dan terbuka terhadap segala jenis perbedaan agama. Maka wajar bila tak ada
masalah saat banyak para pedagang dari luar negeri datang ke Cirebon, meskipun
berbeda agama.
Sunan Gunung Jatipun menikahi seorang putri dari Tiongkok
dan pada akhirnya paham kebinekaan itu muncul dalam kebijakan, petatah-petitih dan arsitektur keraton
Cirebon yang memadukan banyak unsur dari berbagai negara. Cirebon pun tumbuh menjadi
kota terbuka bagi siapa saja. Nilai ini menjadi spirit luar biasa yang semakin
mengokohkan paham kebangsaan Nusantara yang mengatasi segala agama-agama.***
Ilustrasi: nu.or.id
Comments
Post a Comment