Skip to main content

83 Tahun Berkiprah, Ansor Tak Lengah


Oleh: Rini Kustiasih

Musik kasidah menyapa setiap tamu yang hadir saat peringatan hari lahir Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama, di Kantor Pusat GP Ansor, Jakarta, Jumat (5/5) malam. Hujan membuat ratusan kader Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna atau Banser semakin larut menikmati musik sajian grup Qasima dari Magelang, Jawa Tengah.
Sambil menggelesot di halaman kantor, yang dijadikan panggung mini untuk acara, sebelum menikmati musik kasidah, kader Ansor mengikuti pembacaan tahlil. Setelah itu, satu per satu lagu bercorak Islami dibawakan grup Qasima, mulai dari “Shalawat Badar” hingga “Magadir”.

Musik atau seni pada umumnya bukan hal tabu bagi Ansor yang mengikuti paham keagamaan yang dikembangkan Nahdlatul Ulama. NU sendiri menginduk kepada tradisi Islam Walisongo, kelompok wali yang menyebarkan Islam sejak abad ke-13, yang banyak menggunakan kesenian dan tradisi serta kearifan lokal sebagai infrastruktur agama.

Salah satu kader Ansor, Marzuki Rais (40), yang ikut menikmati hiburan meski tak kebagian tempat duduk, tampak terbiasa. “Seni jadi bagian dari dakwah, seperti di masa Walisongo. Kasidah ini juga bagian dari kekayaan musik Nusantara. Di NU atau Ansor, kami tak mengharamkan seni karena secara naluriah manusia menyukai seni. Seni bisa menjadi alat memikat untuk menerima unsur-unsur agama atau moral yang disisipkan. Pada momen tertentu, kami juga menampilkan wayang semalam suntuk,” tutur Marzuki yang juga anggota Departemen Hubungan dan Kajian Strategis PP GP Ansor.

Kesadaran berbudaya ini lekat dengan Islam kultural yang diemban NU dan kemudian dianut tiap-tiap organisasi yang lahir dari rahim NU, termasuk Ansor. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam bukunya Menggerakkan Tradisi menyebutkan, Islam yang datang ke Nusantara tidak memberangus kepercayaan lokal. Kearifan lokal dipelihara, dipertahankan, dan didekati dengan penuh pengertian. Tidak ada pemaksaan dan pemberangusan.

Moderat dan toleran

Pandangan itu persis seperti dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siroj saat peringatan harlah ke-83 Ansor. Bahwasanya kemampuan Islam merangkul kearifan lokal memikat warga Nusantara untuk mempelajari agama baru. “Ada dua prinsip NU, yakni tawasud dan tasamuh. Tawasud adalah sikap moderat, sedangkan tasamuh sikap toleran. Untuk bisa bersikap moderat, dibutuhkan kecerdasan, sedangkan untuk bisa bersikap toleran diperlukan akhlak yang baik. Orang yang tidak toleran sudah pasti akhlaknya tak baik,” kata Kiai Said.

Fenomena radikalisme dan ekstremisme sebenarnya ditemui sejak zaman Nabi Muhammad. Bahkan, Nabi Muhammad meramalkan akan ada kelompok umat yang bersikap jumud atau kaku menafsirkan kitab suci, tetapi sesungguhnya kelompok yang demikian itu tak memahami pesan moral yang dikandung kitab suci. “Kitab suci hanya sampai di kerongkongan,” ucap Said.

Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat, Nabi mencontohkan Madinah sebagai komunitas yang dibentuk bukan berdasarkan suku atau agama. Sebagai sebuah konsepsi ideal yang dibangun Nabi Muhammad tentang negara atau komunitas, Madinah menghargai hak-hak sipil warganya.

“Madinah bukan negara Islam, bukan negara suku, karena di Madinah hak-hak warga diakui, tanpa membedakan agama dan suku. Jika dicari di dunia modern sekarang ini, di manakah contoh negara Madinah itu? Bukan Kota Madinah di Arab Saudi sekarang ini, melainkan Swedia, Belgia, Selandia Baru, yang negerinya makmur, sejahtera, tertib, bersih,” kata Kiai Said memberi contoh.

NU sebagai salah satu elemen pendiri bangsa kini menengarai adanya kelompok tertentu yang ingin mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi bentuk lain. Ide pembentukan negara Islam atau khilafah yang dijadikan tujuan kelompok itu bertentangan dengan pandangan NU tentang keselarasan antara bangsa dan agama.

Kiai Hasyim Asyari, pendiri NU, mengajarkan prinsip hubbul wathan minal iman, yang artinya tak lengkap iman seseorang jika tidak mencintai Tanah Air-nya. Konsep ini khas NU karena tidak ada satu pun negara dengan warga Islam yang menganut paham ini. Karena begitu populer, prinsip ajaran Kiai Hasyim Asyari ini kerap dikira hadis, padahal bukan. Prinsip ini diajarkan setiap kiai NU kepada santrinya.

NU juga menilai Pancasila sebagai satu konsensus nasional yang dijadikan dasar negara telah final. Setiap upaya mengganti bentuk negara dan dasar negara harus ditindak tegas. Sebab, siapa pun yang mengganggu bangsa atau Tanah Air adalah musuh NU. “Pemerintah harus menindak tegas setiap organisasi masyarakat yang bertentangan dengan Pancasila,” kata Kiai Said.

Ambil peranan

Harlah ke-83 GP Ansor pun menjadi momentum bagi organisasi itu untuk menyikapi perkembangan terbaru di Tanah Air dan dunia internasional. Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menandai dua perkembangan yang harus diwaspadai. Pertama, perang di Timur Tengah yang bisa membawa dampak suburnya paham kekerasan, radikalisme, dan ekstremisme yang harus dicegah. Kedua, aksi China di Laut China Selatan yang membahayakan keamanan regional di Asia sehingga dikhawatirkan kedaulatan Indonesia terusik.

“Menghadapi dinamika Islam di Timteng, Ansor terus meneladani sejarah pendakwah Nusantara yang melakukan kontekstualisasi Islam. Islam bukan kekuatan penakluk, melainkan jalan kesempurnaan jiwa sambil menjaga harmoni sosial. GP Ansor tetap teguh menjamin legitimasi Indonesia, NKRI, yang merupakan hasil ijtihad (pemikiran) para ulama,” tutur Yaqut.

Ia pun menegaskan, GP Ansor merasa perlu mengambil peran mewujudkan Al Islam lil insaniyah atau Islam bagi kemanusiaan. Selaras dengan tema harlah GP Ansor, cita-cita itu perlu diwujudkan dengan terus meneguhkan semangat kebangsaan dan membawa khazanah Islam Nusantara untuk perdamaian dunia.

Dari sudut kebudayaan, upaya ambil peran GP Ansor mengawal dan menjaga Indonesia itu memenuhi unsur terpenting dari laku jalannya kebudayaan. Hadirnya kelompok radikal dan ekstrem salah satunya disebabkan karena kelengahan kelompok Islam moderat yang membiarkan pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, seperti kelompok pengajian, masjid, dan mushala, dikuasai kelompok radikal.

“Akhir 70-an, lahirlah usrah-usrah (kelompok pengajian) di mushala, di kampus-kampus. NU dan Muhammadiyah tenteram dengan gerakan itu dan ada sebagian yang menganggap mereka sebagai minoritas, atau tak punya kekuatan,” kata Mohamad Sobary, budayawan yang hadir di acara itu. Namun, anggapan itu keliru.

Kelompok itu ternyata berhasil membangun corak kebudayaan yang berisi doktrin, cara pandang, sikap, dan pola perilaku sehari-hari. Corak kebudayaan itu berkembang pesat, utamanya di kalangan terdidik. “Dalil-dalil mereka itu terutama manjur sekali bagi mahasiswa jurusan eksakta di kampus-kampus. Pola pikir mereka jadi sangat radikal,” katanya.

Upaya Banser NU menghadapi kelompok intoleran dan radikal, menurut Sobary, adalah bagian dari tindakan itu. “Tindakan memberi makna pada hidup. Sebab, setiap tindakan menjadi wujud kesadaran. Ada kesadaran bertindak menyelamatkan sesuatu yang besar,” ujarnya. (Kompas, 7 Mei 2017)



Ilustrasi. liputanutama.com 

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: