Oleh: Rini Kustiasih
Musik kasidah menyapa setiap tamu yang hadir saat peringatan
hari lahir Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama, di
Kantor Pusat GP Ansor, Jakarta, Jumat (5/5) malam. Hujan membuat ratusan kader
Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna atau Banser semakin larut menikmati musik
sajian grup Qasima dari Magelang, Jawa Tengah.
Sambil menggelesot di halaman kantor, yang dijadikan
panggung mini untuk acara, sebelum menikmati musik kasidah, kader Ansor
mengikuti pembacaan tahlil. Setelah itu, satu per satu lagu bercorak Islami
dibawakan grup Qasima, mulai dari “Shalawat Badar” hingga “Magadir”.
Musik atau seni pada umumnya bukan hal tabu bagi Ansor yang
mengikuti paham keagamaan yang dikembangkan Nahdlatul Ulama. NU sendiri
menginduk kepada tradisi Islam Walisongo, kelompok wali yang menyebarkan Islam
sejak abad ke-13, yang banyak menggunakan kesenian dan tradisi serta kearifan
lokal sebagai infrastruktur agama.
Salah satu kader Ansor, Marzuki Rais (40), yang ikut
menikmati hiburan meski tak kebagian tempat duduk, tampak terbiasa. “Seni jadi
bagian dari dakwah, seperti di masa Walisongo. Kasidah ini juga bagian dari
kekayaan musik Nusantara. Di NU atau Ansor, kami tak mengharamkan seni karena
secara naluriah manusia menyukai seni. Seni bisa menjadi alat memikat untuk
menerima unsur-unsur agama atau moral yang disisipkan. Pada momen tertentu,
kami juga menampilkan wayang semalam suntuk,” tutur Marzuki yang juga anggota
Departemen Hubungan dan Kajian Strategis PP GP Ansor.
Kesadaran berbudaya ini lekat dengan Islam kultural yang
diemban NU dan kemudian dianut tiap-tiap organisasi yang lahir dari rahim NU,
termasuk Ansor. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam bukunya Menggerakkan
Tradisi menyebutkan, Islam yang datang ke Nusantara tidak memberangus
kepercayaan lokal. Kearifan lokal dipelihara, dipertahankan, dan didekati
dengan penuh pengertian. Tidak ada pemaksaan dan pemberangusan.
Moderat dan toleran
Pandangan itu persis seperti dikatakan Ketua Umum Pengurus
Besar NU Said Aqil Siroj saat peringatan harlah ke-83 Ansor. Bahwasanya
kemampuan Islam merangkul kearifan lokal memikat warga Nusantara untuk
mempelajari agama baru. “Ada dua prinsip NU, yakni tawasud dan
tasamuh. Tawasud adalah sikap moderat, sedangkan tasamuh sikap
toleran. Untuk bisa bersikap moderat, dibutuhkan kecerdasan, sedangkan untuk
bisa bersikap toleran diperlukan akhlak yang baik. Orang yang tidak toleran
sudah pasti akhlaknya tak baik,” kata Kiai Said.
Fenomena radikalisme dan ekstremisme sebenarnya ditemui
sejak zaman Nabi Muhammad. Bahkan, Nabi Muhammad meramalkan akan ada kelompok
umat yang bersikap jumud atau kaku menafsirkan kitab suci, tetapi sesungguhnya
kelompok yang demikian itu tak memahami pesan moral yang dikandung kitab suci.
“Kitab suci hanya sampai di kerongkongan,” ucap Said.
Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat, Nabi
mencontohkan Madinah sebagai komunitas yang dibentuk bukan berdasarkan suku
atau agama. Sebagai sebuah konsepsi ideal yang dibangun Nabi Muhammad tentang
negara atau komunitas, Madinah menghargai hak-hak sipil warganya.
“Madinah bukan negara Islam, bukan negara suku, karena di
Madinah hak-hak warga diakui, tanpa membedakan agama dan suku. Jika dicari di
dunia modern sekarang ini, di manakah contoh negara Madinah itu? Bukan Kota
Madinah di Arab Saudi sekarang ini, melainkan Swedia, Belgia, Selandia Baru,
yang negerinya makmur, sejahtera, tertib, bersih,” kata Kiai Said memberi
contoh.
NU sebagai salah satu elemen pendiri bangsa kini menengarai
adanya kelompok tertentu yang ingin mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi bentuk lain. Ide pembentukan negara Islam atau khilafah yang
dijadikan tujuan kelompok itu bertentangan dengan pandangan NU tentang
keselarasan antara bangsa dan agama.
Kiai Hasyim Asyari, pendiri NU, mengajarkan prinsip hubbul
wathan minal iman, yang artinya tak lengkap iman seseorang jika tidak
mencintai Tanah Air-nya. Konsep ini khas NU karena tidak ada satu pun negara
dengan warga Islam yang menganut paham ini. Karena begitu populer, prinsip
ajaran Kiai Hasyim Asyari ini kerap dikira hadis, padahal bukan. Prinsip ini
diajarkan setiap kiai NU kepada santrinya.
NU juga menilai Pancasila sebagai satu konsensus nasional
yang dijadikan dasar negara telah final. Setiap upaya mengganti bentuk negara
dan dasar negara harus ditindak tegas. Sebab, siapa pun yang mengganggu bangsa
atau Tanah Air adalah musuh NU. “Pemerintah harus menindak tegas setiap
organisasi masyarakat yang bertentangan dengan Pancasila,” kata Kiai Said.
Ambil peranan
Harlah ke-83 GP Ansor pun menjadi momentum bagi organisasi
itu untuk menyikapi perkembangan terbaru di Tanah Air dan dunia internasional.
Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menandai dua perkembangan yang harus
diwaspadai. Pertama, perang di Timur Tengah yang bisa membawa dampak suburnya
paham kekerasan, radikalisme, dan ekstremisme yang harus dicegah. Kedua, aksi
China di Laut China Selatan yang membahayakan keamanan regional di Asia
sehingga dikhawatirkan kedaulatan Indonesia terusik.
“Menghadapi dinamika Islam di Timteng, Ansor terus
meneladani sejarah pendakwah Nusantara yang melakukan kontekstualisasi Islam.
Islam bukan kekuatan penakluk, melainkan jalan kesempurnaan jiwa sambil menjaga
harmoni sosial. GP Ansor tetap teguh menjamin legitimasi Indonesia, NKRI, yang
merupakan hasil ijtihad (pemikiran) para ulama,” tutur Yaqut.
Ia pun menegaskan, GP Ansor merasa perlu mengambil peran
mewujudkan Al Islam lil insaniyah atau Islam bagi kemanusiaan.
Selaras dengan tema harlah GP Ansor, cita-cita itu perlu diwujudkan dengan
terus meneguhkan semangat kebangsaan dan membawa khazanah Islam Nusantara untuk
perdamaian dunia.
Dari sudut kebudayaan, upaya ambil peran GP Ansor mengawal
dan menjaga Indonesia itu memenuhi unsur terpenting dari laku jalannya
kebudayaan. Hadirnya kelompok radikal dan ekstrem salah satunya disebabkan karena
kelengahan kelompok Islam moderat yang membiarkan pusat-pusat pendidikan dan
kebudayaan Islam, seperti kelompok pengajian, masjid, dan mushala, dikuasai
kelompok radikal.
“Akhir 70-an, lahirlah usrah-usrah (kelompok
pengajian) di mushala, di kampus-kampus. NU dan Muhammadiyah tenteram dengan
gerakan itu dan ada sebagian yang menganggap mereka sebagai minoritas, atau tak
punya kekuatan,” kata Mohamad Sobary, budayawan yang hadir di acara itu. Namun,
anggapan itu keliru.
Kelompok itu ternyata berhasil membangun corak kebudayaan
yang berisi doktrin, cara pandang, sikap, dan pola perilaku sehari-hari. Corak
kebudayaan itu berkembang pesat, utamanya di kalangan terdidik. “Dalil-dalil
mereka itu terutama manjur sekali bagi mahasiswa jurusan eksakta di kampus-kampus.
Pola pikir mereka jadi sangat radikal,” katanya.
Upaya Banser NU menghadapi kelompok intoleran dan radikal,
menurut Sobary, adalah bagian dari tindakan itu. “Tindakan memberi makna pada
hidup. Sebab, setiap tindakan menjadi wujud kesadaran. Ada kesadaran bertindak
menyelamatkan sesuatu yang besar,” ujarnya. (Kompas, 7 Mei 2017)
Ilustrasi. liputanutama.com
Comments
Post a Comment