SAYA dan banyak
kawan barangkali terheran-heran mengapa begitu banyak orang Islam yang rela
turun ke jalan, berpanas-panasan dan menempuh jarak yang tidak dekat demi Aksi
Bela Islam III 2 Desember 2016 kemarin. Saya juga tak menduga, beberapa kawan
saya yang merupakan alumni pesantren ikut dalam aksi tersebut padahal PBNU
dengan tegas melarang warganya ikut aksi 212. Beberapa kawan yang lain
menyampaikan dukungan dan simpati terhadap aksi tersebut lewat media sosial.
Aksi Bela
Islam III yang merupakan aksi lanjutan menuntut Gubernur Jakarta non-aktif,
Basuki Tjahaja Purnama Ahok dihukum tegas dalam kasus dugaan penistaan agama, tak
lain menurutku karena adanya umat Islam yang mengambang. Mengambang di sini
disebabkan pemahaman yang belum selesai tentang Islam dan Indonesia. Ada yang
belum selesai dalam diri sebagian umat Islam tentang Islam yang diamalkan
bangsa Indonesia.
Islam
sebagai keyakinan memang merupakan satu hal yang final. Tidak bisa diotak-atik
oleh siapapun. Keyakinan bersifat hakiki dan melekat pada diri manusia dan
tidak bisa diinterupsi. Oleh karenanya, keyakinan dan agama merupakan bagian
dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak bisa ditunda pemenuhannya.
Hanya saja,
keyakinan yang bersifat sakral –karena kaitannya dengan Tuhan—tersebut turun
dalam dimensi kemanusiaan setiap kali bersentuhan dengan manusia. Pada bagian
ini, kesakralan telah berubah menjadi sesuatu yang manusiawi, menjadi profan.
Kita bisa
saja mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang kekal dan mengandung
kebenaran mutlak. Dalam kediriannya, sebagai umat Islam saya meyakini Al-Qur’an
memang demikian. Tapi, kesakralan agama membuka ruang-ruang tafsir dan ruang
tafsir atas tafsir dari manusia yang tidak pernah sepi.
Bahasa
langit tidak bisa begitu saja dibumikan dan dimanusiawikan atau bahkan bisa
diaplikasikan di dalam kehidupan. Apalagi kalau mengingat bahwa dunia tak
pernah hitam putih, tak pernah sederhana, tak ada masalah yang sama persis
terjadi di waktu dan tempat yang berbeda sekalipun.
Agama memang
melingkupi seluruh kehidupan manusia, di masa lalu, sekarang dan masa
mendatang. Tapi tafsir serta pemahaman manusia terhadap agama selalu bersifat
lokal. Itu kodrat dari makhluk bernama manusia yang selalu terkungkung ruang
dan waktu, berbeda dengan Allah.
Makanya,
kalau ada yang menunggalkan pendapatnya dalam agama, maka itu sama saja dengan
mengebiri ke-Maha-an Allah SWT. Maka, yang paling mungkin bagi manusia adalah
berusaha memahami, bukan tahu betul apa yang dikatakan Allah.
Di tengah
keadaan yang serba relatif tersebut, para ulama terdahulu memberikan alternatif
bagi umat Islam dengan upaya taklid bagi orang-orang awam. Taklid tidak lain
adalah agar umat tidak merasa tanpa pegangan. Tapi taklid juga menyimpan bahaya
laten radikalisme agama.
Barangkali
masih banyak di antara kita yang tidak begitu mengerti bahwa ada perbedaan
besar antara keyakinan beragama yang sakral dengan pemahaman manusia tentang
agama yang profan. Apakah Aksi Bela Islam III benar-benar merupakan bagian dari
agama Islam atau sebenarnya adalah sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan
agama yang memanfaatkan keyakinan buta para penganutnya?
Lalu, apa
yang sebenarnya mereka bela? Islam yang sakral ataukah Islam yang profan? Islam
yang merupakan bentuk pengabdian kepada Allah atau Islam yang dimodifikasi
untuk kepentingan manusia saja?
Penting
untuk kita ketahui, Bassam Tibi dalam bukunya Islam dan Islamisme pernah mengatakan bahwa ada yang berbeda antara
term Islam dan Islamisme. Saya melihat, Tibi membedakan Islam yang sakral dari
Islam yang profan yang sudah digubah hasrat manusia. Dia membedakan keduanya
dalam istilah ‘Islam’ dan ‘islamisme’.
Menurutnya, Islam
sebagai keyakinan sedangkan Islamisme sebagai kategori politik keagamaan.
Keduanya adalah dua entitas yang berbeda sama sekali, walaupun mirip tapi
memberikan implikasi yang jauh berbeda.
Islamisme,
kata Tibi, bukanlah bagian dari Islam. Islamisme merupakan tafsir politis atas
Islam. Dasar dari Islamisme bukan pada Islam, tetapi pada penerapan ideologis
atas agama di ranah politik.[1]
Islamisme,
tidak hanya sekadar masalah politik saja. Lebih jauh lagi, Islamisme ternyata
erat kaitannya dengan politik yang diagamaisasikan (religionized politics). Menurut Tibi, model tersebut ditengarai
sebagai contoh yang paling kuat dari fenomena global fundamentalisme agama. Religionized politics adalah model di mana
sekelompok masyarakat menawarkan sebuah tatanan politik yang diyakininya
sebagai kehendak Allah.[2]
Tibi yang
mencermati perkembangan populasi umat Islam di Eropa menolak keras Islamisme.
Menurutnya, Islam memang menyiratkan nilai-nilai politis tertentu namun tidak
mensyaratkan suatu tata pemerintahan khusus, pemerintahan Islam misalnya.
Islamisme bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk tafsir terhadap Islam,
tetapi bukanlah Islam itu sendiri, karena ia adalah sebentuk ideologi politik,
bukan sebuah keyakinan ataupun sesuatu yang sakral dalam Islam.[3]
Menurut Tibi,
di tengah semakin banyaknya orang Islam di Eropa --sebagaimana yang ditulis Buya
Syafi’i Ma’arif-- ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hubungan Islam dan
Eropa. Pertama, proses eropaisasi
atau pengeropaan Islam. Kedua,
islamisasi atau pengislaman Eropa. Tibi mengatakan model pertama lebih
realistik. Sedangkan model yang kedua tidak lain dilakukan kelompok politik
identitas Islam yang merupakan kelanjutan dari gagasan dâr al-Islâm (negara Islam) periode klasik yang sudah lapuk. Tetapi
doktrin ini masih terus memengaruhi sebagian umat Islam di dunia. Menurut
Syafi’i Ma’arif, sikap a-historis tersebut menyebabkan sebagian umat Islam
masih berkubang dalam mimpi dan tidak menghiraukan kehidupan sosial saat ini.[4]
NU, Islam Nusantara dan Tantangan ke Depan
Berdasar
kerangka konseptual di atas, penulis mencermati bahwa Aksi Bela Islam III tidak
lain merupakan bentuk Islamisme yang terjadi di Indonesia. Analisis beberapa
orang termasuk saya, pada awalnya, yang melihat peserta aksi begitu banyak
karena melihat dari kacamata representasi ormas Islam.
Meskipun
Ketua Umum PBNU, KH Said Aqiel Siradj sudah menegaskan bahwa warga NU tidak
boleh ikut dalam Aksi Bela Islam III, tetap saja banyak warga NU yang ikut
juga. Pendekatan golongan berdasar ormas tidak memadai untuk membaca mereka.
Konsep Islam
dan Islamisme alaa Tibi yang membaca fenomena Islam di Eropa barangkali akan
sedikit membuka cara pandang lain memahami masalah ini. Berdasarkan konsep
tersebut, maka ada dua golongan besar dalam diri umat Islam di Indonesia saat
ini, terlepas dari apapun ormas Islamnya.
Pertama,
golongan yang memercayai islamisasi Indonesia. Kedua, golongan yang memercayai indonesianisasi Islam. Keduanya
mengandung term ‘Islam’ dan ‘Indonesia’, tapi keduanya juga memuat implikasi
yang amat berbeda.
Mereka yang
percaya dengan islamisasi Indonesia meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang
mutlak, yang harus ditelan mentah-mentah oleh masyarakat di dunia ini. Konteks
bangsa penganut tidak relevan sebagai pertimbangan melaksanakan ajaran Islam.
Segala
bentuk asimilasi kebudayaan Nusantara dan Islam yang datang dari negeri
seberang tak lain adalah sebuah pemberhentian sementara menuju Islam yang benar-benar
murni sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Dengan
begitu, mereka mayakini bahwa dakwah yang dilakukan para penyebar agama Islam
terdahulu, terutama Walisanga yang menggunakan budaya sebagai media dakwah,
merupakan kesementaraan.
Pada zaman
sekarang, saat informasi melaju dengan mudah, kesementaraan tersebut harus
segera dihilangkan dan digantikan dengan Islam yang sebenar-benarnya, Islam
yang murni. Fatalnya, beberapa kelompok dalam golongan ini mengasumsikan Islam
yang murni itu sebagai yang hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits
sebagaimana paham Wahabi di Arab Saudi.
Pandangan
ini tidak realistik dan rasional sama sekali. Tidak realistik karena nyatanya
tidak memungkinkan untuk mengembangkan satu kebudayaan dari luar dengan menafikan
sama sekali budaya lokal.
Tidak
rasional karena pandangan ini menganalogikan manusia sebagai makhluk yang tidak
mempunyai budhi, kreasi dan karya. Semua orang di seluruh dunia diasumsikan
sebagai sebuah makhluk yang homogen.
Sementara
yang kedua, indonesianisasi Islam, lebih memercayai Islam sebagai sebuah agama yang berdialog terus
menerus dengan budaya Nusantara. Pada akhirnya, Islam yang datang tersebut
terserap dan membuat bangsa Indonesia memeluk agama Islam yang berbeda dengan
Islam dari belahan dunia manapun.
Banyak istilah
yang digunakan untuk menggambarkan fenomena ini, Gus Dur menyebutnya dengan
pribumisasi Islam. Istilah ini barangkali lebih tepat karena bisa digunakan di
hampir seluruh wilayah di dunia, tidak hanya di Indonesia. Proses pribumisasi
Islam yang terjadi di Indonesia barangkali bisa disebut dengan indonesianisasi
Islam atau nusantaraisasi Islam.
Hasilnya yakni sebuah karakater praktik agama
yang berbeda dibandingkan bangsa lainnya. Dalam konteks keislaman di Indonesia
mungkin ini yang dimaksud orang-orang NU sebagai Islam Nusantara.
Pandangan
ini memercayai bahwa dialektika yang terjadi antara Islam dan Indonesia adalah
proses dialog terus menerus antara Islam dan Indonesia. Konteks keindonesiaan,
watak manusia Nusantara dan identitas lokal diyakini pada akhirnya akan membuat
ajaran yang datang dari luar menjadi miliknya, khas Indonesia.
Maka, segala
yang dilakukan para penyebar agama Islam di Nusantara tak lain adalah bentuk
kecerdasan para wali memahami agama sebagai sebuah ajaran untuk manusia. Konteks
hidup manusia yang berbeda memungkinkan ajaran agama dipahami dan dipraktikkan
secara berbeda pula. Itulah yang diantaranya dilakukan oleh Walisanga dan dilanjutkan kemudian oleh para kiai-kiai pesantren.
Saya
memandang, orang-orang Nahdlatul Ulama (NU) dengan Islam Nusantara-nya menegaskan betul posisinya di golongan
yang kedua ini. Islam Nusantara dengan begitu ingin menegaskan bahwa Islam yang
dianut dan diamalkan oleh orang-orang Indonesia itu berbeda dengan Islam di
negara manapun. Islam telah menjadi milik orang Indonesia.
Tapi
pandangan ini tidak menjadi primadona karena masih banyak masyarakat yang
memercayai bahwa Islam model Arab Saudi-lah yang memiliki kemurnian ajaran
Islam sebagaimana yang dibawakan Nabi beratus-ratus tahun sebelumnya.
Segala
bentuk Islam yang telah menyebar ke seluruh dunia dan itu berbeda dengan Islam
Saudi (Wahabiisme) dianggap sudah tidak murni lagi karena telah bercampur
dengan berbagai macam bentuk kebudayaan masing-masing wilayah.
Model ini masih mendapat banyak pengikut karena di satu
sisi, Wahabiisme membawakan paham yang tegas tak pandang bulu terhadap segala
jenis perbedaan penafsiran ajaran Islam. Di sisi lain, umat Islam di Indonesia
belum mendapatkan pendidikan yang cukup untuk memahami dinamika Islam.
Berbeda
dengan para kyai pesantren yang merupakan tokoh pendiri dan penerus NU paham
betul bagaimana dinamika Islam di dunia internasional saat Wahabisme mulai
menebar ancaman. Orang-orang NU pula yang dengan dengan kecerdasannya sigap
menentukan sikap untuk membentengi ajaran serta praktik Islam yang khas
nusantara dari ideologi yang disemai Ibnu Sa’ud dengan dalih pemurnian Islam.
Mayoritas
masyarakat muslim di Indonesia masih jauh dari kesadaran beragama Islam. Agama
tidak menjadi ajaran yang membumi dan mewujud dalam bentuk moral keseharian.
Kesadaran akan sejarah, budaya dan Islam itu sendiri masih jauh panggang dari
api.
Belum lagi
positivisme pengetahuan yang menjadi patron sistem pendidikan di Indonesia juga
berpengaruh terhadap cara pandang hitam putih masyarakat kita.
Maka, tantangan
NU ke depan akan sangat berat. Aksi 212 kemarin harus semakin menyadarkan para
intelektual muda NU bahwa pekerjaan rumah mereka tidak sederhana. Utamanya
adalah mereka harus bisa membangkitkan kesadaran warga tentang cara beragama yang
menyentuh keseharian, agama yang menjadi etika sosial dan cara berkehidupan
yang berdasar nilai-nilai Islam.
Tugas berat
untuk menghapus jarak antara agama yang melangit dan praktik sehari-hari
masyarakat. Memahami agama bukan sebagai alien yang baik hati, tapi sebagai
bagian dari diri. Tentunya sambil terus menangkal paham-paham yang menjauhkan
umat dari agama yang sudah dijiwai masyarakat Nusantara.
Nilai-nilai Utama
Masyarakat Indonesia kadang dan seringkali tidak mengenal jati dirinya karena
meremehkan sejarah masa lalunya dan lebih tergiur dengan kebudayaan dari
sana-sana. Padahal, beberapa nilai utama dari masyarakat Nusantara sangat
sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dibawa Nabi.
Sebagian
dari nilai-nilai utama tersebut misalnya, orang-orang Nusantara pandai
berinteraksi dan berdialog dengan budaya luar yang datang. Unsur budaya luar
itu menjadi luluh dan dianggap sebagai milik sendiri. Kemampuan tersebut membuat
masyarakat Nusantara sejak masa silam tidak pernah menjadi India atau menjadi
Cina, melainkan tetap Austronesia. [5]
Toleransi
dan solidaritas Asia Tenggara telah ditunjukkan sejak masa silam. Hal itu
dibuktikan dengan adanya berita tertulis yang menyatakan ada kerjasama antara
beberapa kerajaan Asia Tenggara untuk membendung pengaruh Cina yang selalu
mendesak ke selatan. [6]
Konsep
kerjasama antara pulau di Nusantara pun menjadi harga mati bagi
kerajaan-kerajaan besar di Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit. Sebab,
tanpa kesatuan tersebut maka mereka dengan mudah dikalahkan pengaruh budaya
asing.[7]
Tak salah jika Mpu Tantular menyebut Nusantara sebagai bhinneka tunggal ika,
sebagai keanekaragaan yang bersatu.
Nilai-nilai
utama tersebut masih akan sangat banyak jika kita merujuk pada pendirian para
pendiri bangsa yang akhirnya sepakat pada sebuah konsep bangsa berdasar wawasan
Nusantara. Atau pada kesadaran kebangsaan dan kenusantaraan para kyai pesantren.
Para kyai?
Iya. Kalau tidak percaya, bolehlah kita buktikan dengan lagu Yaa Lal Wathon.
Lagu ini diciptakan KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1934. Dalam liriknya
terdapat kalimat ḫub al-wathon min al-ḭman atau cinta kepada negeri adalah sebagian
dari iman.
Ungkapan
kecintaan pada tanah air yang dikumandangkan Kyai Wahab itu adalah kesadaran
historis seorang anak bangsa. Kesadaran yang muncul sejak pertama kali
orang-orang Austronesia menetap di pulau-pulau Nusantara, dilanjutkan oleh
kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit dan para pendiri bangsa
kita.
Penjajahan
hanya mengubah kulit luarnya saja, watak dan pribadi orang-orang Nusantara
tetap sama. Agama boleh hilir mudik, datang dan pergi dari tanah air ini tapi
masyarakat Nusantara tetap pada dirinya. Itulah yang amat disadari orang-orang
tua kita. Jadi, yang kemarin sempat lupa dengan ikut pada patron kesadaran
asing, mari kembali kepada pangkuan Nusantara.***
[1]
Tedi Kholiludin, Islamisme, Pos-Islamisme
dan Islam Sipil, akses dari jurnal.elsaonline.com pada 13 Desember 2016.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Politik Identitas
dan Masa Depan Pluralisme Indonesia. Makalah Disampaikan dalam Nurcholish
Madjid Memorial Lecture III.
[5] Agus
Aris Munandar, Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna, (Jakarta, Wedatama
Widya Sastra: 2014), hal. 16-17.
[6]
Ibid.
[7] Ibid.
Comments
Post a Comment