SEPINTAS, kebaikan dan kejahatan amat mudah dibedakan
seperti memilah antara hitam dan putih. Begitupun saat selintas membedakan
antara cinta dan benci. Tapi dunia tak hanya menghadirkan realitas secara
dikotomis bukan? Realitas ternyata lebih tidak bisa dimengerti pikiran. Daya
pikir yang serba biner, hitam putih, tak lain hasil dari kerja otak untuk
mengkategorisasi dan membeda-bedakan satu dengan lain hal.
Nyatanya tak ada yang melulu baik atau jahat, yang begitu
murni cinta dan bencinya. Semuanya saling bercampur, berkait bahkan kadang beralih
tempat. Yang jahat adalah baik dan yang baik adalah kejahatan itu sendiri. Ada
cinta yang begitu besar hingga mewujud dalam tindak kebencian dan ada kebencian
yang sangat hingga nampak sebagai kasih.
Hidup dan kematian Socrates (470-399 SM) barangkali akan
mengilhami kita tentang bertapa absurdnya kebaikan dan kejahatan. Ia adalah
seorang filsuf Athena, Yunani yang mendobrak sistem dan tata nilai serta
pengetahuan orang-orang Yunani waktu itu. Pada masa Sokrates, Yunani dikuasai
para Sofis yang mengedepankan relativisme kebenaran.
Bagi kaum sofis dan orang-orang Yunani waktu itu, kebenaran tak
bisa ditentukan dengan pasti, tapi ia bisa muncul dalam beragam bentuk. Maka,
yang ada hanyalah seni untuk meyakinkan, retorika. Socrates melihat bahwa
ketidakpastian kebenaran bisa dipatahkan jika kita terus mempertanyakan hal
yang belum terpahami.
Di manapun, setiap kali bertemu dengan orang lain, Sokrates
mengajaknya berbicara dan bertanya-tanya tentang segala sesuatu sampai ke
akar-akarnya. Metodenya ini dikenal dengan dialektika, sebuah cara untuk menguji
pengetahuan manusia tentang kebenaran, atau tentang sesuatu yang dianggap benar.
Socrates akhirnya terkenal sebagai seorang yang mencari
kebenaran sejati yang tak gentar karena berbeda dengan orang-orang. Dia menerjang
segala keangkuhan yang mengatasnamakan kebenaran. Pada zamannya, Socrates adalah
seorang pendobrak yang berjalan melawan arus yang dikomandoi kaum Sofis, mereka
menganggap bahwa kebenaran itu relatif.
Socrates pada akhirnya wafat pada usia tujuh puluh tahun
dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari
pengadilan dengan hasil voting,
280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya. Pemikiran-pemikiran Socrates
mengilhami para muridnya dan umat manusia ratusan tahun setelahnya. Tapi pada
zamannya, kebaikan Socrates tersebut adalah sebuah kejahatan yang harus
dihukum.
Plato adalah murid Socrates yang menuliskan kisah tersebut
dalam Apologia. Aristoteles, murid Plato melanjutkan tradisi filsafat Yunani
tersebut jauh lebih luas seiring dengan meluasnya kekuasaan muridnya, Alexander
Agung ke hampir separuh dunia. Dunia modern hari ini, tidak lepas dari
pijakan-pijakan utama yang diletakkan ketiga filsuf ini, Sokrates, Plato dan
Aristoteles.
Pada saat berada di dalam penjara, sesaat sebelum eksekusi
mati dengan meminum racun, Socrates sebenarnya bisa saja meloloskan diri dengan
bantuan para simpatisannya. Tapi Socrates menolaknya dan
menganggap pelarian itu akan meruntuhkan semua perjuangannya selama ini.
Socrates menyadari sepenuhnya bahwa pertarungan nilai dan kebenaran tak bisa
dilakukan dengan langsung mengadu yang baik dengan yang jahat, melainkan semuanya butuh waktu yang begitu lama.
Andai Socrates waktu itu mau diajak melarikan diri, bisa
saja pemikiran-pemikirannya tak akan diakui banyak orang. Militansi
murid-muridnya pun tak akan sekuat saat tahu gurunya yang begitu baik, jujur,
pandai dan berjasa pada Yunani itu dihukum mati. Perjuangan kadang butuh
semacam drama untuk menguatkan tekad.
Socrates adalah ilham bagi kebaikan yang hidup dalam sistem
masyarakat yang sedemikian rusak. Secercah cahaya lilin kecil dalam ruang
yang gelap gulita. Seorang agen yang menyuarakan kebenaran yang semakin jauh
dari sistem yang menjelma menjadi monster yang mengalpakan kesadaran.
Saat
sistem begitu mapan, maka kesadaran manusia tercerabut dan yang ada hanya
kepatuhan pada aturan. Tak ada lagi pertanyaan kritis sejauh mana peraturan itu
masih relevan dan berguna bagi masyarakat.
Manusia yang terus berubah, lama-lama akan menjauhkannya
dari sistem masa lalu yang termapankan oleh birokrasi kebenaran massa. Saat ada
suara-suara kecil yang meneriakkan bahwa tatanan sudah tak sesuai dengan
manusia, maka hal itu dikatakan sebagai sebuah kejahatan yang bisa meruntuhkan
bangunan dan tata nilai masyarakat. Tapi di sisi lain, ia adalah kebaikan yang
mengingatkan manusia untuk kembali pada kesadarannya yang terjajah sistem
mapan.
Muhammad (570-632 M) adalah satu lagi contoh sebuah cahaya
kecil yang mendobrak tatanan masyarakat yang sudah sedemikian mapan. Pamannya,
Abu Lahab mengingatkannya bahwa apa yang dilakukannya –mendakwahkan kembali
menyembah pada Tuhan yang satu—akan menghancurkan sendi-sendi masyarakat
Quraisy waktu itu.
Tapi Muhammad begitu teguh dalam pendiriannya. Dia ingin
mengembalikan nilai-nilai Muru’ah, nilai-nilai kebajikan bangsa Quraisy, serta nilai-nilai agama
Ibrahim yang perlahan sudah mulai ditinggalkan orang. Muhammad melihat
ada ketidaksejajaran antara perilaku dan keimanan dengan Ka’bah sebagai tempat
suci yang didirikan Ibrahim bersama anaknya, Ismail.
Orang-orang Arab “lupa” dengan ajaran-ajaran Ibrahim meski
mereka menyembah di tempat yang dibuat Ibrahim. Muhammad pun berupaya
mengembalikan keyakinan pada Tuhannya Ibrahim dan menyadarkan masyarakat Mekah
yang sudah sedemikian jauh menyimpang dari agama yang hanif. Tapi apa mau dikata, sistem dan tata masyarakat Quraisy
Mekah sudah sedemikian mapan. Betapa kuatnya tarikan sistem itulah
yang membuat paman Muhammad yang lain, Abu Thalib begitu menderita dan serba
dilematis.
Di satu sisi, dia percaya dengan semua ajakan keponakannya,
Muhammad yang dia kenal sejak kecil sebagai orang yang jujur dan istimewa.
Perkataannya tidak pernah keliru. Tapi sebagai kepala klan Bani Hasyim, dia
tidak bisa meninggalkan ajaran-ajaran Abdul Muthollib, kakeknya, seorang
penjaga Ka’bah yang mempunyai pengaruh amat besar bagi pengurusan Masjidil
Haram pada masa-masa berikutnya.
Pertarungan antara
perubahan dan kemapanan, kebaikan dan kejahatan, antara agen dan struktur,
beritu jelas bergejolak dalam diri Abu Thalib. Hanya cintanya kepada
Muhammad yang membuatnya selalu melindungi nabi, meski semua klan dalam
suku Quraisy mengembargo Bani Hasyim dan memberikan ancaman yang
terang-terangan.
Yesus barangkali menjadi contoh lain yang menggambarkan
kepada kita bagaimana orang-orang baik –yang tidak sejalan dengan sistem—pada waktu
itu, pada akhirnya dihukum. Itulah kejahatan orang-orang baik seperti Yesus:
dia tidak sejalan dengan sistem.
Tapi garis perjuangan Yesus tak berhenti
ketika badannya disalib, bahkan mengalami kehidupannya setelah dia mati. Maka
kemudian terkenal sebuah adagium, “badan boleh mati, tapi pikiranku tidak”, atau
yang sejenis “badan boleh dijeruji, tapi pikiranku tidak”.
Ajaran-ajaran Yesus berkembang sedemikian luas, yang tak lepas dari perjuangan para murid-muridnya. Ajarannya hingga sekarang menjadi agama yang masih dianut oleh banyak penghuni bumi. Itulah jalan kebenarannya.
Hukuman kepada Sokrates maupun Yesus, diputuskan atas nama
hukum, demi selamatnya suatu sistem, bukan keselamatan umat manusia. Bahwa
kemaslahatan manusia dirumuskan dan ditentukan oleh sistem kita tidak bisa meragukannya.
Tapi sebuah sistem seberapa canggihnya tetap merupakan gubahan manusia. Sistem apapun selalu meninggalkan retak-retak dan tak akan bisa melampaui pikiran
orang-orang terpilih semacam Socrates, Muhammad, Yesus dan yang lainnya. Mereka adalah manusia yang
menerobos sekat-sekat kaku buatan manusia. Mendobrak besi yang mengerangkeng
kemanusiaan itu sendiri.
Meskipun semua orang mengetahui bahwa Socrates dan
Yesus adalah orang-orang bajik yang tidak pantas dihukum, mereka tetap harus
mengeksekusinya. Para eksekutor keduanya mengalami dilema yang sama: menghukum
orang baik ataukah membiarkan rusaknya aturan.
Dalam cerita eksekusi Socrates,
disebutkan bahwa algojo yang membawa piala berisi racun itu menangis, sekujur
badannya bergetar. Ada pergolakkan yang begitu kuat dalam dirinya. Pertarungan batin
serupa melanda eksekutor penyaliban Yesus, para prajurit Romawi yang perkasa
itu bergetar tak ada habisnya.
Saya yakin, kejahatan orang baik itu masih akan terus
terjadi selagi manusia terus berubah. Di Indonesia, hal serupa pernah terjadi
saat eksekusi mati salah seorang wali di Jawa, Syekh Siti Jenar. Sekarang,
kejahatan orang baik itu apakah kembali terjadi saat hakim memvonis bersalah
mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama?
Saat gelombang cinta terhadap Ahok muncul silih berganti pasca
vonis semakin menguatkan kembali munculnya fenomena "kejahatan orang baik". Juga permintaan Ahok kepada para
pendukungnya untuk segera pulang dan meninggalkan unjuk rasa. Ahok meyakini
bahwa penjara tak akan mengerangkeng pikirannya, itulah jalan perjuangannya. Satu-satunya jalan keluar adalah jalur hukum yang memasungnya itu, andai bukan itu maka segala perjuangannya akan sia-sia belaka.***
Ilustrasi: www.azlyrics.com
Comments
Post a Comment