KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menurutku adalah orang
yang demikian cerdas mencermati masyarakat Indonesia. Salah satu ikhtiarnya adalah saat memaknai hubungan agama dengan kearifan lokal masyarakat Nusantara.
Beliau menulis gagasan yang
begitu terkenal: Pribumisasi Islam.
Saya memahami, pribumisasi
Islam bukanlah sebuah konsep gerakan tapi lebih sebagai abstraksi
kecerdasan penggagasnya bahwa di Nusantara ini telah terjadi sebuah proses
peradaban yang kemudian disebut pribumisasi Islam. Ialah ‘menjadi pribuminya ajaran-ajaran
Islam’.
Pribumisasi mengandaikan bahwa proses ini terjadi terus
menerus dan tidak berhenti di satu titik. Proses menjadi pribumi tersebut penuh
dinamika dan mempunyai karakter yang berbeda di setiap zamannya. Juga
kemungkinan di masa depan. Pribumisasi tidak anti-kemajuan.
Pribumisasi Islam juga mengandaikan bahwa proses ini tidak
berlangsung secara politis karena tidak terjadi seketika, melainkan terjadi
secara budaya dengan sangat perlahan.
Pribumisasi juga mengandaikan ada dua entitas kebudayaan yang
berinteraksi dan saling menemukan kecocokan secara essensi. Hasilnya,
Islam yang telah terpribumisasi menjadi Islam otentik yang tak berjarak sama
sekali dengan masyarakat penganutnya.
Syari’at Islam
Saat bicara
agama, maka kita telah dengan sendirinya bicara mengenai cara kita meyakini dan
mempraktekkannya. Dalam kehidupan nyata agama mewujud dalam syari’at. Tapi sayang sekali, syari’at yang dipahami sekarang telah
direduksi oleh fiqh dan kehilangan makna sebenarnya, watak asli dari syari’at. Pembahasan ini sangat penting
karena titik tolak pandangan terhadap syari’at
ini akan menentukan apakah proses pribumisasi itu mereduksi Islam atau tidak.
Jika kita telisik
lebih jauh, kata syari’at ada dalam
bahasa arab sebelum ada al-Qur’an. Kata tersebut dalam bahasa ibrani muncul di
Taurat, kitab suci umat Yahudi. Taurat menyebutkan kata syari’at sebanyak 200 kali.[1]
Dalam taurat yang dimaksud dengan syari’at adalah jalan atau metode tertentu
untuk melakukan suatu ritual tertentu, untuk melangsungkan korban, bernazar,
mengikuti cara suatu kehidupan tertentu atau semacamnya.[2]
Dalam tradisi
Islam, kata syari’at hanya muncul
sekali di dalam al-Qur’an yakni pada surat Al-Jatsiyah (45) ayat 18.
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Sementara dalam
bentuk fi’il (kata kerja)-nya
muncul dalam surat Al-Ma’idah (5) ayat 48, dan Asy-Syura (42) ayat 21.
Kata syari’at sendiri secara bahasa adalah
“tempat mengalirnya air”, yaitu “sebuah jalan atas sesuatu”. Kata syari’at tidak bermakna legislasi hukum
atau undang-undang. Dalam surat Al-Jatsiyah (45) ayat 18 dan Asy-syura (42)
ayat 13 adalah surat Makiyyah, berarti ayat syari’at
turun sebelum legislasi hukum yang baru dimulai setelah nabi pindah ke Madinah.[3]
Dengan sangat
jelas Al-Asymawi mengatakan bahwa syari’at bukanlah aturan hukum akan tetapi dia adalah pranata yang
merupakan manifestasi dari kehidupan sosial masyarakat.
Syari’at bukanlah
aturan-aturan atau hukuman-hukuman, namun ia pertama-tama merupakan kondisi
umum yang menguasai masyarakat, dan satu semangat yang menerobos masuk ke dalam
inti sesuatu, serta suatu wilayah kuat yang mengatur prilaku manusia dan setiap
tindakan, di mana dengannya seorang individu atau masyarakat bisa hidup dengan
napas cinta, hatinya berdenyut dengan denyutan kebenaran, dan relasi antarmereka
terjalin dengan penuh ketakwaan dan keutamaan.
Selama itu tidak
terjadi, selama semangat tidak mendahului teks (nash) dan hati nurani tidak mengalahkan huruf-huruf, sementara
ketakwaan menjadi asas utama dalam hukum dan penerapannya, selama semua itu
tidak terjadi, maka pemberlakuan syari’at itu berarti menggunakan hukum-hukum syari’at demi tujuan-tujuan non-syari’at.
Mengarahkan agama demi tujuan-tujuan yang bukan merupakan tujuan agama itu
sendiri. dan meletakkan komponen agama pada tangan yang memanfaatkan
kepentingan dan tujuan pribadinya, bukan bermaksud menegakkan nilai-nilai kebenaran,
kemenangan agama, dan kemajuan manusia.[4]
Dengan demikian,
dalam pemahamannya syari’at bukanlah
artefak hukum akan tetapi dia adalah aturan atau sistem nilai yang selalu
bersandar dalam diri masyarakat. Aturan di sini muncul karena konteksnya dengan
realitas masyarakatnya. Jadi, syari’at
adalah metode, cara atau jalan bagi cita kemaslahatan masyarakat, cita kemanusiaan.
Karena syari’at adalah jalan, maka
untuk menempuh tujuan yang sama setiap manusia yang mempunyai konteks kehidupan
yang berbeda akan menempuh jalan yang berbeda pula. Intinya adalah essensi bukan jalannya.
Jadi watak dari syari’at tidaklah statis dan rigid seperti hukum yang mengikat. Akan
tetapi syari’at mempunyai kekenyalan
dalam menghadapi realitas yang beragam. Keragaman yang diakibatkan oleh
perbedaan ruang juga oleh waktu.
Pribumisasi
Istilah
pribumisasi seperti yang sudah disinggung di muka adalah istilah yang digunakan
oleh Gus Dur. Gus Dur tidak menawarkan sebuah teori. Akan tetapi, beliau mewartakan kepada kita bahwa
Islam telah membumi dalam kultur Indonesia. Pribumisasi bukan sinkretisme
ritual keagamaan tapi lebih kepada “kenyamanan isi”.[8]
Kecocokan essensi, tanpa terlalu memerdulikan bungkus.
Meskipun secara
teoritis, agama dan kebudayaan jika dipertemukan pasti akan terjadi bentrokan.
Karena bagaimanapun juga, agama (Islam) adalah satu sistem nilai, konsep hidup
dan sekaligus hukum. Saat dia hidup di masyarakat berarti membawa serta
seperangkat sistemnya dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, masyarakat
sudah mempunyai sistem nilai sendiri. Budaya, tradisi juga agama.
Dalam titik
inilah Islam hadir tidak dengan konfrontasi tapi dengan dialog antar budaya.
Dia menemukan ruang yang tercipta dari kenyamanan essensi, dia “meruang” dalam kebudayaan Nusantara yang telah mapan
dengan ajaran mistisisme hasil akulturasi local
genius dengan ajaran Hindu-Buddha.
Bahkan ada yang
mengatakan bukan Islam yang menaklukkan Nusantara, tetapi struktur kebudayaan Nusantara-lah
yang menyerap Islam, untuk kemudian tunduk pada sistem keyakinan mistisisme
lokal.[9] Oleh
karena itu kenapa Islam di Indonesia berbeda dengan Islam dari negeri asalnya,
Arab Saudi, ataupun dengan daerah Timur Tengah lainnya.
Saat bicara Nusantara,
identitas kebangsaan, maka yang menarik di sini adalah kemampuan adeshi dari local genius Nusantara. Tak salah lagi bahwa “essensi ketuhanan”, “kedalaman
batin”, atau bahasa kekinian menyebutnya “mistisisme” adalah local genius Nusantara, jauh sebelum
Hindu-Budha masuk ke tanah Nusantara.
Ada cerita
menarik saat Mark R. Woodward, dalam bukunya Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, mengakui dengan
jujur bahwa dia harus menggunakan logika tak biasa untuk memahami perwujudan
Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Nusantara. Sejarah Jawa menurutnya bertujuan
bukan untuk menghadirkan tokoh-tokoh, tempat-tempat, dan peristiwa-peristiwa
yang akurat. Sejarah Jawa juga bertujuan bukan untuk menjelaskan sesuatu dalam
kerangka ekonomi, perdagangan, keseimbangan kekuasaan, atau konsep-konsep
lainnya yang digunakan oleh sejarahwan umumnya di Barat. Masa lalu yang sudi dituliskan (sejarah) bagi orang
Jawa adalah pernyataan simbolik penuh makna dari segi keagamaan. Pernyataan
simbolik yang mendasari pengetahuan yang membebaskan pemikiran dan penafsiran
dari hegemoni bahasa.[10]
Dari pengakuan
Woodward di atas, penulis semakin yakin bahwa local genius Nusantara adalah sifat yang semata-mata mementingkan
essensi. Hal demikian tercermin dalam setiap gelombang “Islamisasi”. Ajaran
Islam selalu dapat tunduk dalam ruang dialog saling menguntungkan antara Islam
dan pribumi Nusantara. Proses dialog inilah yang penulis kira maksud dari “pribumisasi”.
Pribumisasi ini pada akhirnya mencari bentuk Islam yang paling sesuai dengan
jiwa orang-orang Indonesia. Karena sifatnya mencari, jadi pribumisasi akan
terus berjalan, tidak akan pernah selesai selama manusianya masih hidup.
Contoh dari hasil
dialog tersebut antara lain terjadi saat banyak sekali saudagar luar negeri
dengan berbagai macam wajah Islam berinteraksi, orang Indonesia lebih tertarik
untuk mengadopsi Islam yang datang dari Kerala, yang berada di pantai Malabar,
barat daya India. Ternyata, di Kerala pedagang muslim berasal dari Arab dan Teluk
Persia.[11] Mistisisme
Islam Persia memberikan banyak hal pada mistisisme Nusantara, terutama menjadi
legitimasi kekuasaan bagi raja-raja Nusantara.
Saat penjajah
Belanda datang dengan menyediakan pula lembaga agama resmi milik pemerintah
kolonial,[12] orang
Indonesia lebih tertarik untuk masuk ke dalam aliran tarekat. Satu lembaga
mistisisme Islam, sebagai simbol perlawanan dan penolakan terhadap agama yang
formal.
Saat zaman
kemerdekaan, para perumus kebangsaan dalam rapat-rapat menjelang kemerdekaan
(PPKI dan BPUPKI) lebih tertarik melihat essensi Islam bukan pada simbol,
huruf, lafadz, dan kata-kata Islam. Islam ada di jiwa masyarakat dengan terus
dilaksanakannya ajaran Islam meskipun tanpa disebutkan dalam Pancasila. Pada
kurun ini, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi umat Islam mayoritas
sangat memahami hal dan situasi
ini.
Sekarang,
sebagian golongan Islam di Indonesia meneriakkan formalisasi syari’at
dan penegakkan khilafah. Dalam
prosesnya, gerakan ini menimbulkan banyak sekali kerentanan kerukunan kehidupan
beragama di Indonesia. Sudah
saatnya kita melihat ini dalam kacamata tradisi. Islam kultural sebagai Islam
yang telah mempribumi harus kembali dikedepankan untuk meng-counter
paham yang melupakan tradisi.***
[1] Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar
Kritis Syari’ah, (Terj. Luthfi Thomafi), Yogyakarta: LKIS, 2004, hlm. 8-9.
[2] Ibid, hlm. 15.
[3] Ibid, hlm. 19-21.
[4] Ibid, hlm. 52.
[5] Ibid, hlm. 47.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Syaiful Arif, Deradikalisasi
Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural, Depok: Koekoesan, hlm. 53.
[9] Ibid, hlm. 59.
[10] Mark R. Woodward, Islam Jawa:
Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LkiS, cetakan V tahun
2012, hlm. 65-66.
[11] Ibid, hlm. 86.
[12] Atas Prakarsa dari Snouck Hurgronje, pemerintah membentuk Kantoor voor Inlandsche Zaken, atau
Kantor Agama, embrio lahirnya Departemen Agama. Lihat Ahmad Baso, NU Studies.
Comments
Post a Comment