ADA adagium yang begitu terkenal di zaman saat asumsi-asumsi
modernitas dipertanyakan kembali: “pengarang telah mati”. Adagium ini begitu
laris manis dan digunakan banyak orang, utamanya para mahasiswa dan pegiat
sastra.
“Pengarang telah mati” mengandaikan bahwa teks itu otonom
dan terlepas sama sekali dari penulisnya. Saat teks selesai dari tangan
penulisnya, maka ia menjadi milik masyarakat pembacanya dan makna dalam teks
tersebut bukanlah makna sebagaimana makna yang dikehendaki penulis. Itulah
pesan dari “pengarang telah mati”.
Sungguh pun demikian, saya sendiri menganggap “pengarang
telah mati” tidak begitu tepat untuk menerjemahkan adagium yang dalam bahasa
Prancis “la mort de l'auteur” dan bahasa Inggris berbunyi “the death of the author”.
Filsuf semiotik Roland Barthes mungkin saja memaksudkan
esainya pada 1967 tersebut untuk melakukan kritik terhadap satu bentuk tafsir
dominan atas teks sastra. Tapi pesan yang lebih mendalam bisa kita dapatkan
bahwa sebuah teks tidak mempunyai makna dengan sendirinya, tapi ia termaknai,
dimaknai oleh manusia.
Makna itu, katanya, bisa datang dari siapa saja dan dari
mana saja. Masing-masing makna tersebut niscaya berbeda-beda meski hanya untuk
merujuk pada satu teks tertentu. Barthes ingin mengatakan bahwa di antara
makna-makna tersebut tak ada yang lebih absah. Tapi yang terjadi adalah sebuah
pertarungan pemaknaan. Pertarungan terus menerus tanpa henti hingga kebinasaan
manusia.
Dalam sebuah medan pertarungan, kebebasan permaknaan menjadi
mutlak dibutuhkan karena perbedaan horizon pemahaman manusia yang berbeda-beda.
Dalam situasi demikian, Barthes mengumandangkan bahwa tak ada satupun otoritas
yang bisa menentukan makna suatu teks sebagai satu-satunya makna.
Otoritas penentu makna itu bisa pengarang, pembaca,
pengkritik, akademisi, politisi, pejabat, anggota dewan, presiden, kiai atau
siapapun. Bagi Barthes, semua otoritas itu tak ada.
Penentuan satu makna tertentu tidak berarti menghapus makna
lainnya, melainkan memarginalkan yang lainnya. Makna-makna yang termarginalkan
itu tidak hilang, pergi dan menguap tapi ia melakukan perlawanan, meski dalam
diam dan jalan kesunyian.
Kata Michel Foucault, setiap dominasi (makna) dalam struktur
relasi pengetahuan-kuasa selalu menyimpan resistensi dari makna-makna lain yang
tak sempat muncul.
Jika kehidupan manusia ini adalah sebuah semesta simbolik,
maka menurut saya Barthes sesungguhnya ada pada sisi dimana dia tak
menginginkan ada satu kelompok yang menghegemoni kelompok lainnya lewat
pemaknaan tunggal terhadap realitas-realitas yang asalnya adalah netral.
Barthes memimpikan lahirnya sebuah perayaan perbedaan pemaknaan terhadap apapun
(teks).
Makna yang diklaim paling benar dari sebuah teks hanya akan
menciptakan perbudakaan peradaban, penghancuran manusia itu sendiri.
Jadi, menurut saya “la mort de l'auteur” memiliki pesan dan kandungan
yang jauh lebih mendalam dibanding sebuah deklarasi bahwa pengarang telah
lenyap. Saya yakin, ada sebuah keberpihakan terhadap sub-altern dalam teori ini.***
Comments
Post a Comment