ADA sebuah
anggapan umum dalam dunia akadamis pasca Demokrasi Terpimpin dan munculnya Orde
Baru, bahwa narasi-narasi daerah, narasi-narasi lokal tidak mempunyai nilai positif
bagi pembangunan bangsa yang sedang bangkit untuk meneguhkan nasionalisme.
Bahkan, banyak di antara para pemikir-pemikir kebudayaan bangsa ini yang
menegaskan dengan sangat tegas bahwa narasi lokal akan memberi dampak disintegratif
bagi bangsa ini.
Nasionalisme mengandaikan ia melampaui sekat-sekat identitas
suku-suku di Indonesia. Dalam logikanya, apa yang dianggap kesukuan,
kedaerahan, etnis, keyakinan dan agama lokal sebagai sebuah fanatisme sempit, chauvinis bahkan tak lebih dari perasaan
ego-sektoral yang kebablasan. Sebagai gantinya, diangkatlah sebuah kebudayaan
yang lebih tinggi yang nanti lazim disebut sebagai kebudayaan nasional.
Unsur-unsur kebudayaan (bentukan) baru ini disebutkan
Koentjaraningrat (1991) sebagai sesuatu yang harus bermutu tinggi, sehingga
dapat memberi kebanggaan kepada sebanyak mungkin bangsa Indonesia.
Kriteria yang amat tinggi itu sayangnya masih mengandung
bias subjektifitas. Satu hal bisa bemutu tinggi bagi kelompok tertentu tapi
bisa kurang bahkan tidak bermutu sama sekali dalam pandangan kelompok lain.
Begitupun, kebanggaan adalah hal yang paling subjektif dari kriteria kebudayaan
tinggi tersebut.
Narasi-narasi lokal pun terkubur dalam-dalam digantikan
dengan narasi besar dalam sebuah payung proyek nasionalisasi kebudayaan. Satu
per satu budaya lokal dan narasi-narasinya yang berharga hilang dan lenyap,
kalah tanding dengan budaya nasional yang dibikin-bikin tersebut.
Proyek mercusuar tersebut didanai pemerintah sementara
suara-suara lirih dari pelosok daerah dibiarkan begitu saja. Tak heran jika
anggaran-anggaran kebudayaan di daerah kecilnya minta ampun bahkan dinasnya pun
digabung dengan bidang-bidang lain, yang lebih memprihatinkan adalah kebudayaan
ditaruh dibawah bidang pariwisata. Kebudayaan seolah tak lebih dari sebuah
komoditas bernilai jual karena eksotismenya yang menawan. Logika berpikir
seperti ini menihilkan nilai budaya bagi warganya sendiri.
Narasi Lokal dan Paranoia
Disintegrasi
Dalam salah satu tulisannya, seorang sejarawan kelas kakap
mengatakan bahwa dalam konteks masyarakat-bangsa, yang masih berada dalam
proses pemupukan integrasi nasional, penulisan sejarah tradisional dan
regio-sentris ini dapat memberi dampak yang disintegratif.
Sejarah-sejarah lokal yang penuh dengan mitologi dan
pralogis dianggap tak punya nilai dan manfaat sama sekali. Oleh karenanya perlu
dihindari dan tak perlu untuk dituliskan menjadi sebuah sejarah masyarakat,
sejarah bangsa. Menurut saya, ketakutan ini tidak beralasan sama sekali. Selagi
sejarah-sejarah lokal-tradisonal ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan,
kenapa kita mesti takut?
Penulisan kisah-kisah dari masa lalu dari tradisi lisan
memang akan mengandung mitos juga mempunyai kekentalan kedaerahan. Tapi
menyimpulkan bahwa penulisan sejarah seperti itu akan menimbulkan dampak perpecahan
bangsa sangat keterlaluan.
Justru, penulisan sejarah yang berjarak dengan narasi-narasi
kecil yang hingga saat ini terjadi di negara kita telah terbukti ampuh
memisahkan masyarakat dari tata nilai, budaya dan identitasnya sendiri. Sudah
saatnya haluan kajian sejarah, budaya dan sosial bangsa ini diubah ke arah yang
lebih membumi.
Sering sekali para budayawan, pegiat kesenian dan para
pengrajin yang masih berpegang teguh pada warisan dan kearifan lokal daerahnya
mengeluh, mereka tak diperhatikan. Pemerintah memang abai dan para teknokratnya
berdalih bahwa punahnya segala yang lokal: bahasa daerah, agama, keyakinan,
kesenian, kerajinan, dan masih banyak lagi adalah akibat globalisasi.
Percayalah, pernyataan itu tak sepenuhnya benar karena yang
membunuh narasi-narasi lokal bangsa ini adalah proyek nasionalisme itu sendiri.
Nasionalisme yang ditafsirkan para teknokrat kita itu mengeliminir nilai-nilai
lokal dan tanpa sadar memberangusnya dari kehidupan bangsa ini.
Artefak, situs, tarian, cagar budaya dan peninggalan masa
lalu yang menjadi pranta narasi-narasi lokal pun dipelihara dan dipugar karena
nilai jualnya secara wisata, bukan pentingnya bagi pembangunan peradaban bangsa.
Jadilah istilah pelestarian budaya yang digaung-gaungkan pemerintah itu
sebenarnya adalah reduksi habis-habisan. Dari yang seharusnya revitalisasi daya
hidup peradaban bangsa menjadi hanya sebuah penciptaan wahana rekreasi demi
pemasukan negara.
Arah Baru Nasionalisme
Kadang saya berpikir sambil gelisah, bangsa ini memang secara
politik sudah selesai tapi secara kultural belum selesai sama sekali. Cara
berkehidupan dan acuan nilai orang-orang sama sekali tidak bersumber dari
budayanya sendiri, budaya dari narasi-narasi lokal itu. Budaya bentukan baru,
nasionalisme, pada akhirnya lebih mengakomodir nilai-nilai budaya asing yang
tampil dalam wajah hegemonik.
Masyarakat kita yang budayanya diberangus itu gagal bertransformasi
dalam kultur baru, kultur bangsa Indonesia. Kegagalan itu menurut saya
disebabkan konsep nasionalisme-nya berkiblat pada pendisiplinan khas militer.
Sehingga nasionalisme sama dengan penyeragaman dan memberangus setiap yang
berbeda. Padahal bisa saja jika kita merumuskan nasionalisme yang berdasar pada
keberagaman, sesuai dengan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Nasionalisme dengan paradigma penyeragaman telah terbukti mempunyai
daya rusak bahkan mengeliminir budaya daerah. Paradigma ini menjadikan budaya
daerah sebagai artefak-artefak dan komoditas pariwisata belaka. Nasionalisme
jenis ini membunuh dan me-mumi-kan budaya orang-orang di daerah.
Para teknokrat budaya kita gagal menangkap sisi universal dari
pluralitas etnisitas yang mengikat kita menjadi satu bangsa. Mereka hanya
menghadirkan sebuah perasan hasil ijtihad “suka-suka” hasil kolaborasinya
dengan modernitas Barat. Karena keberjarakannya dengan realitas, maka hasil
perasan itu pun tidak kunjung berkembang. Alih-laih ikut dengan perkembangan
zaman, perasan itu kian menjadi kuno dan tak terpakai. Sialnya, tak ada lagi kajian
yang terus-menerus seolah proyek itu dibutuhkan memang untuk menunjang
kekuasaan satu rezim: Orde Baru.
Kalau ingin segera bergegas menemukan jati dirinya, bangsa
ini harus segera berubah. Bangsa yang berdikari hanya bisa dicapai melalui pemunculan
narasi-narasi lokal yang nilai-nilainya selaras dan meneguhkan nilai-nilai
kebangsaan.
Narasi-narasi lokal pun mempunyai daya reflektif yang lebih
mendalam bagi masyarakatnya dibandingkan nilai-nilai baru hasil ijtihad pada
akademisi karena hakikatnya masyarakat sendiri yang mengalami hidup, bukan para
teknokrat pemerintah.
Ujungnya, paradigma pengetahuan sosial di Indonesia perlu
direvolusi menuju pada pandangan yang lebih beragam dan non-penyeragaman. Pengetahuan
sosial harus dilepaskan dari cengkraman dan patron-patron ilmu kealaman. Tanpa
begitu, kita akan terus menjauh dari identitas bangsa yang sebenarnya.***
Comments
Post a Comment