PERTENGAHAN
Maret 2017 kemarin, publik dihebohkan dengan turunnya penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Kota Cirebon. Mereka memeriksa beberapa orang
pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon terkait penjualan tanah di Jalan
Cipto.
Meskipun kasus ini masih terlalu dini untuk disimpulkan tapi ini cukup
membuat masyarakat terperanjat. Apalagi mengingat Cirebon mempunyai catatan
yang tak terlalu baik ihwal tindak pidana korupsi.
Ingatan publik tentu tak akan pernah lupa
dengan tragedi korupsi yang pernah menjerat sekitar 30-an anggota DPRD Kota
Cirebon periode 1999-2004. Kasus korupsi ini menjadi korupsi paling besar dalam
sejarah pemerintahan Cirebon. Korupsi ini dilakukan secara berjamaah dan tentu
saja mencoreng muka ‘kota wali’ ini.
Tidak cukup sampai di situ, pada 2010 Transparency
International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
(IPK-Indonesia). TII membidik pelaku bisnis di 50 kota dengan total 9.237
responden. Dan Kota Cirebon berada di posisi terbawah bersama Kota Pekanbaru.
Meskipun survei tersebut hanya menangkap
potensi tindak korupsi dari persepi pelaku usaha, akan tetapi hal itu cukup
menjadi pijakan bahwa citra Cirebon masih buruk di mata pengusaha. Para pemimpin
daerah, anggota dewan, dan pejabat pemangku kebijakan di Cirebon kerap
tersandung masalah korupsi.
Yang terakhir tentu kita mengikuti perjalanan kasus
bansos di Kabupaten Cirebon dan pungli pegawai Disdukcapil. Kasus bansos bahkan
menjerat Wakil Bupati yang sampai sekarang masih menjadi DPO. Sungguh
memberantas korupsi dan membangun citra Cirebon sebagai daerah yang bebas
korupsi masih jauh dari angan kalau tidak bisa dikatakan mustahil.
Dan tentu saja masih banyak lagi kasus
korupsi lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu baik yang baru
dilaporkan, disidik, disidangkan, ataupun yang sudah divonis di pengadilan.
Segala peristiwa ini cukup mengusik nalar sehat kita. Umumnya kita akan
bertanya, bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi?
Korupsi
di Daerah
Hingga Maret 2016, dari 541 kepala daerah,
ada 360 kepala daerah terjerat kasus tindak pidana korupsi (tipikor) di
berbagai tingkatan, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga yang sudah
diputus. Modusnya beragam mulai dari yang bermain di ranah perizinan, mempergunakan
kewenangan di ranah sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, dan
gratifikasi atau suap.
Akar dari semua tindakan tersebut adalah
penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Kepala daerah sebagai jabatan yang mempunya kewenangan yang sangat besar pasca
otonomi daerah mempunyai sisi buruk yang tek perprediksi sebelumnya. Kepala
daerah sangat leluasa ‘mengatur’ jalannya pemerintahan di daerah.
Bagus jika
berjalan dengan baik, tapi tak sedikit yang terperosok ke dalam jurang korupsi.
Tak jarang modus korupsi mereka berkelindan dengan persekongkolan antara kepala
daerah, elit birokrat dengan aktor-aktor politik di DPRD.
Faktor pendorongnya banyak tapi yang paling
kentara adalah tingginya modal politik untuk dalam kontestasi pilkada. Banyak
aktor pemerintah daerah akhirnya gelap mata karena untuk menutup ‘utang’ saat Pilkada.
Mereka mencari sumber pembiayaan politik yang berbiaya mahal tersebut. Bahkan
sering terdengar desas-desus bahwa kepala daerah terpilih harus pintar-pintar membagi
‘jatah’ kepada aktor-aktor politik yang dianggap berjasa saat pemenangannya.
Jika tidak, tentu akibatnya akan buruk.
Kadang kepala daerah tertentu tidaklah
bermaksud memperkaya diri tapi karena berada pada medan politik berbiaya tinggi
maka sangat tinggi kemungkinan membuat siapapun terjerumus ke dalam tindak
korupsi. Maka ada orang yang bilang bahwa sangat sulit menghindarkan diri dari
habitat koruptif saat berada di dalam siklus dunia politik yang gelap gulita
dan penuh jebakan.
Satu contoh kepala daerah yang bersih di Jawa Tengah pada
akhirnya harus berkorban kehilangan banyak harta pribadinya demi ongkos yang
mahal itu. Dia harus rela menutup banyak kios dagangnya.
Budaya
Koruptif
Juni 2011, contekan massal terjadi di SD Negeri Gadel
2 Surabaya. Seorang anak, putra Ibu Siami, dipaksa wali kelasnya memberikan
contekan secara massal kepada teman-temannya pada saat Ujian Nasional (UN) SD.
Bahkan sebelum UN ada simulasi pencontekan massal segala.
Tidak setuju dengan
tindakan guru sekolah tersebut, Ibu Siami melaporkan kasus ini ke Dinas
Pendidikan setempat. Akibat perbuatan guru wali kelas tersebut, Dinas
Pendidikan kemudian memberi hukuman mutasi dan penurunan pangkat kepada oknum
guru dan kepala sekolah yang dianggap ikut bertanggung jawab.
Warga sekitar sekolah yang tidak lain orang
tua murid-murid SDN Gadel 2 tidak terima dengan hukuman tersebut, mereka marah
kepada Ny Siami dan keluarganya. Warga berunjuk rasa dan mengecam Ny Siami yang
dianggap sok pahlawan, dan puncaknya warga mengusir keluarga Ny Siami keluar
dari kampung.
Keluarga yang menolak tindak koruptif seperti keluarga Ny Siami
pada akhirnya menjadi ‘musuh bersama’.
Edgard H. Schein mengatakan
bahwa ‘budaya dipahami sebagai asumsi dasar yang diketahui secara bersama-sama
dan dianggap benar secara internal maupun eksternal sehingga perlu diteruskan
kepada anggota masyarakat baru atau generasi berikutnya.’
Budaya koruptif dalam
kasus UN di atas menunjukkan kepada kita bahwa saat semua orang ‘sepakat’
dengan ketidakjujuran maka kejujuran menjadi nilai yang patut ‘dipersalahkan’.
Dalam kajian psikologi kontemporer, diketahui
bahwa di dalam diri manusia ada hasrat ultima. Ia adalah hasrat manusia untuk
mengejar dan menggapai yang lebih dari yang sudah dia raih.
Hal ini yang
membuat manusia terus berkembang dan tidak pernah berdiri di atas titik
peradaban yang sama. Hasrat ini yang menggerakkan roda peradaban. Tapi hasrat
ini pula yang menimbulkan banyak kerusakan. Maka hasrat inilah yang jika tanpa
dibarengi dengan ajaran moral agar manusia tidak merajalela tanpa batasan.
Sigmund Freud, pencetus psikoanalisa
menjelaskan manusia dari tiga aspek: id,
ego dan superego. Id adalah aspek
kepribadian yang sadar. Ia pembawaan sejak lahir. Id adalah watak binatang
dalam diri manusia. Id hanya berprinsip pada kesenangan dan kebutuhan yang
harus diwujudkan dengan segera.
Sementara ego berprinsip pada realitas, apakah
dorongan id ini bisa ditunaikan atau tidak. Aspek ketiga adalah super-ego yang
menampung semua standar internalisasi moral dari masyarakat. Super-ego
memberikan pedoman tentang nilai, mana yang pantas dan mana yang tidak.
Sistem
dan Aktor
Kekuasaan sendiri pada dasarnya bersifat korup
(koruptif). Oleh karenanya Montesqieu mencetuskan trias politika yang membagi
kekuasaan menjadi tiga sama rata: eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Tiga
kuasa ini sama tinggi dan bisa saling menjegal satu sama lain dengan tujuan
membatasi kewenangan lembaga negara. Pembagian kekuasaan ini tak lain adalah
langkah menciptakan sistem yang diharapkan menjadi pengekang id yang tak
terkendali. Sistem menjadi ego dan super-ego.
Oleh karenanya pemberantasan korupsi di
daerah harus memperhatikan dua hal penting secara sekaligus, pembenahan sistem
sekaligus aktor politik dalam waktu bersamaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan
karena saling menunjang satu sama lain.
Dalam sosiologi, pendekatan
mikrososiologi (aktor) maupun makrososiologi (sistem) sudah usang dan
pendekatan yang lebih baru menggabungkan keduanya.
Perbaikan sistem berkait dengan penggunaan
sistem penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel dan transparan. Semakin
akuntabel dan transparan pemerintah semakin kecil kemungkinan korupsinya.
Meskipun kemungkinan untuk bergeming tetap ada.
Seperti pelaksanaan lelang
pengadaan barang dan jasa secara elektronik (online) melalui LPSE masih bisa
‘diakali’ dengan negosiasi di luar sistem tersebut. Sehingga yang muncul ke
permukaan adalah transaksi yang sudah diatur sebelumnya.
Perbaikan sistem juga harus dilakukan dengan
membenahi sistem pemilihan. Selama ini pemilihan kepala daerah terkesan sangat
transaksional. Sistem pemilihan transaksional semacam ini pada akhirnya hanya
melahirkan pemimpin-pemimpin tak berkualitas yang punya tujuan mencari
keuntungan-keuntungan tertentu dibandingkan menyejahterakan orang banyak.
Perbaikan sistem juga harus dibarengi dengan
perbaikan aktor. Sumber daya manusia atau aktor-aktor politik daerah harus
mempunyai kredibilitas dan moral yang tinggi. Masalahnya, peningkatan kualitas
para pemimpin daerah tak akan terjadi tanpa kaderisasi partai yang baik.
Seringkali
partai harus ‘mengambil’ sosok di luar partai yang punya popularitas dan
elektabilitas yang tinggi dan menggadaikan ideologi partainya. Kaderisasi yang
mampet tentu berujung pada hasil yang kurang maksimal.
Terakhir, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN harusnya membuat elit di
daerah sadar bahwa mereka adalah representasi penyelenggara negara di daerah.
Oleh karenanya mereka harus benar-benar meyakinkan bahwa negara hadir untuk
rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pengurus partai.***
Ilustrasi: Flickr.com
Ilustrasi: Flickr.com
Comments
Post a Comment