Skip to main content

Perempuan Bukan Manusia Kedua

 
Ilustrasi: Pixabay
ADA yang menarik saat Menteri Luar Negeri RI, Retno LP Marsudi menerima penghargaan dalam acara yang digelar Badan Perempuan PBB dan Forum Kemitraan Global di Markas Besar PBB, Manhattan, New York, AS, Rabu 20 September 2017 lalu. Dalam sambutannya, Retno mengatakan bahwa sebagai perempuan dia dikaruniai naluri keibuan. 

Dengan naluri itu, dia menjalankan tugas-tugasnya. Menteri Luar Negeri RI perempuan pertama itu yakin, semakin banyak naluri positif itu digunakan, dunia akan semakin damai.

Menurut saya, pernyataan Ibu Retno ini secara tersirat menghadirkan kembali sebuah narasi perlawanan femininitas terhadap hegemoni maskulinitas. Bahwa sifat keperempuanan itu tak selamanya lemah dan berada di bawah sifat kelaki-lakian. Bisa jadi, justru sifat keperempuanan itulah yang akan mengubah dunia menjadi lebih baik. 

Jauh sebelum zaman ini, perempuan memang dipercaya sebagai aktor penting yang membuat kehidupan menjadi makmur. Dalam mitologi di Jawa dan Bali ada kepercayaan tentang Dewi Sri, dewi kesuburan. Sosok feminin ini sering menjadi simbol bagi kemakmuran dan pertanian. 

Bahkan masyarakat percaya dialah lambang dari sosok yang merawat dan menjaga. Ia adalah ibu kehidupan. 

Perempuan juga dianalogikan sebagai bumi. Tanah yang tenang dan menghidupi kehidupan. Rakyat Indonesia bahkan menyebut tanah airnya sebagai Ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi adalah simbol nilai-nilai bangsa yang meyakini bahwa keperempuanan adalah tempat untuk berteduh, berlindung dan pulang. 

Sifat-sifat perempuanlah yang niscaya akan memberi, menjaga dan merawat bumi.

Perempuan dan laki-laki diciptakan Tuhan dalam kedudukan yang sama, sama-sama manusia yang ditinggikan derajatnya. Oleh karenanya semua manusia mempunyai peran yang sama untuk membuat kehidupan di dunia menjadi lebih baik. 

Kalau selama ini peran perempuan dibatasi, perempuan hanya mengurus pekerjaan di dalam rumah, urusan domestik, maka jelas itu sebuah kekeliruan besar.

Peran perempuan di ranah publik nyata-nyata amat dibutuhkan. Menteri Retno adalah salah satu contoh kontemporer yang patut kita renungkan kembali. Peran aktif Indonesia dalam konflik di Rakhine, Myanmar menjadi perhatian dunia. 

Pujian pun datang kepada negara terutama kepada Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi yang bergerak lincah menggunakan senjata diplomasinya membela kemanusiaan.  

Selain Retno, di Indonesia kita juga menyaksikan betapa Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti memainkan peran sebagai pendobrak asumsi bias gender: bahwa perempuan itu cukup diam saja di rumah. Nama terakhir bahkan masuk dalam 100 wanita berpengaruh dunia tahun 2017 versi survei BBC. 

Dalam lansiran BBC, Menteri Susi menegaskan kembali bahwa setiap manusia harus menghilangkan pembatas antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan adalah setara.

Ihwal kiprah perempuan di ranah publik, belum lama ini, Singapura juga memilih Halimah Yacob sebagai presiden sekaligus menahbiskan diri sebagai perempuan pertama yang menduduki posisi publik tertinggi di negara itu. Tentu kita akan menantikan apa yang bisa dilakukannya untuk negaranya, dan dunia.

Asumsi bahwa perempuan kurang akalnya atau kalah cerdas dibandingkan laki-laki, dengan begitu, jelas tidak lagi relevan. Asumsi bias gender tersebut sekarang dengan mudah bisa kita patahkan, tentu saja jika kita melihat fakta-fakta yang ada dengan pikiran jernih. Banyak perempuan yang kecerdasannya jauh di atas rata-rata laki-laki. 

Justru dengan karakternya yang khas, menurut saya, perempuan bisa membawa perbedaan yang menggembirakan. Oleh karenanya, perempuan harus diberikan kesempatan yang sama untuk berkiprah di wilayah publik.

Saya sendiri masih suka miris melihat nasib perempuan yang belum juga membaik. Kesempatan meraih pendidikan yang tinggi memang sudah banyak diperoleh para perempuan Indonesia, tapi angka kekerasan terhadap perempuan masih tetap tinggi. Bahkan cenderung terus meningkat tiap tahunnya. 

Perempuan pun masih kerap dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki.

Kalau kita melihat kiprah perempuan-perempuan hebat di atas, harusnya masalah yang terus mendera mereka tak perlu lagi terulang. Langkah penting harus dimulai dari mengikis asumsi bahwa perempuan adalah manusia kedua setelah laki-laki. 

Perempuan dan laki-laki keduanya memiliki kedudukan yang sama tingginya, tak ada yang lebih tinggi dari yang lainnya. Tuhan pun, setahuku tak pernah menomorduakan perempuan.[]


Tulisan pertama kali diterbitkan di mubaadalahnews.com.

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...