MEMBACAI kembali
tulisan teman-teman fasilitator Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman) membuatku merasa bahwa menyebarluaskan semangat toleransi itu
tidak mudah. Pekerjaan ini sangat susah bahkan mungkin sedikit gila.
Betapa
tidak, mereka harus berjibaku, telaten, mengenalkan dengan sabar dan tentu saja
mengalami banyak penolakan. Minimalnya mereka ‘mencicipi’ menjadi korban
stigma. Tapi pekerjaan itu tetap mereka lakukan. Ini hebat.
Setaman
digelar di lima daerah, Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka
dan Kuningan. Di lima daerah tersebut, fasilitator-fasilitator Setaman yang
kebanyakan anak-anak muda menularkan gagasan, semangat dan nilai toleransi di
tengah bangsa yang beragam.
Mereka
melampaui cara mengampanyekan toleransi dan pluralisme melalui paparan
teoritis. Mereka mencoba mendobrak dengan melakukan pembumian nilai-nilai itu
kepada anak-anak muda.
Mereka
melatih diri terlebih dulu sebagai fasilitator untuk kemudian menjadi
fasilitator untuk anak-anak muda lain di lima daerah. Bersama
Kepala Setaman Alifatul Arifiati, mereka kemudian menuliskan ‘pahit manisnya’
menjadi fasilitator.
Setahu saya fasilitator yang terlibat menulis ada delapan orang. Mereka adalah Zaenal Abidin, Koidah, Makmuri, Neneng Alfiyah, Muhammad Mu’tasimbillah, Ayub Al Ansori, Ida Ad’hiah dan Lika Vulki.
Melakukan
pembumian berarti mereka harus melakukan pendalaman materi tentang toleransi
dan pluralisme sekaligus menghantarkannya kepada peserta sebagai sebuah
pengalaman.
Pekerjaan
tersulitnya mungkin adalah membantu peserta untuk mempunyai pengalaman
toleransi itu sendiri, sebagai sebuah pengalaman yang mencerahkan. Pengalaman
ini akan sangat berguna untuk membantu mengikis kepicikan.
Radikalisme
muncul diawali dari kepicikan pemahaman. Bahwa pemahamannya adalah yang paling
benar dibandingkan dengan yang lain. Andai kepicikan itu kawin dengan ideologi
tertentu, maka ia selangkah lagi menjadi ekstremisme bahkan terorisme.
Anak-anak
muda yang belum mencapai kedewasaan pemikiran maupun emosional sangat rentan
terjerembab ke dalam pemikiran sempit. Apalagi, anak muda banyak merujuk bahan
bacaan agama dari internet dibandingkan mengaji atau bertanya kepada kiai.
Alhasil,
anak-anak muda menjadi sasaran empuk berbagai paham yang menyimpan kepicikan
berpikir.
Saya
mencatat, pekerjaan fasilitator Setaman ini semakin tidak mudah karena beberapa
alasan teknis . Mereka dan para pengelola sekolah harus mencari peserta dari
beragam latar belakang agama dan etnis. Selintas mungkin ini hal mudah, tapi di
lapangan, mencari peserta dari agama yang berbeda amat susah.
Selain
itu, tidak semua sekolah yang bersedia melepas siswanya untuk ikut kegiatan
selama 2-3 hari ini. Jejaring Fahmina Institute dan para pengelola Setaman
cukup membantu masalah ini. Tapi tetap saja, masalah utamanya tak terpecahkan.
Segala
hambatan tersebut tidak merusak semangat pengelola dan fasilitator Setaman.
Buktinya, kegiatan ini bisa berlangsung di lima daerah dengan frekuensi minimal
2-3 kali di tiap daerah.
Hasilnya,
banyak bermunculan kader-kader perdamaian baru yang terus mengkampanyekan
semangat dan nilai-nilai toleransi di bumi Nusantara ini. Capaian ini sudah
cukup menggemberikan.
Mendengar
kata ‘Setaman’ sendiri saya jadi teringat lagu anak-anak yang menyiratkan
nilai-nilai toleransi dan pluralisme bangsa. Kebinekaan itu melekat dan
bersemayam di dalam diri bangsa ini.
Begitu dalamnya persemayaman hingga kadang
membuat nilai-nilai itu seperti tak terlihat wujudnya, tapi sesungguhnya ada.
Kita tak pernah menyangka lagu yang berjudul ‘Kebunku’ karangan Ibu Sud
menyimpan begitu banyak pesan kebinekaan.
Lihat
kebunku penuh dengan bunga
Ada
yang merah dan ada yang putih
Setiap
hari kusiram semua
Mawar
melati semuanya indah
Lagu
ini memamerkan keberagaman yang berada dalam bangsa Indonesia dalam bait
pertama. Istilah ‘kebunku’ tak lain adalah analogi dari ‘Indonesiaku’. Di dalam
Indonesia sendiri, tumbuh manusia-manusia yang harum bak bunga, menyenangkan
dan ramah penuh kesopanan.
Bait
berikutnya, tersirat pesan bahwa kita semua memang berbeda-beda, ‘ada yang
merah’ dan ‘ada yang putih’. Dan untuk melestarikan agar tetap harum, maka
semuanya harus dirawat dengan baik, ‘disiram setiap hari’.
Lagu
ini juga berpesan bahwa semua masyarakat yang berbeda-beda itu harus
diperlakukan adil dan setara, karena satu sama lain memiliki kedudukan yang
sama sebagai anak bangsa dan sebagai warga negara: mawar, melati, anggrek,
kemuning, dan sebagainya, semua sama indahnya.
Comments
Post a Comment