SAAT Mekah mulai
berubah dari kota semi-Badui menjadi kota dengan peradaban yang lebih maju,
suku-suku kecil di sekitar mulai berurbanisasi ke Mekah. Mekah menjadi tujuan
banyak orang. Mekah semakin ramai dan perdagangan ke daerah Syiria dan Yaman
pun semakin menguntungkan. Orang-orang kaya mulai membangun rumah mereka dengan
bentuk persegi, hal yang sebelumnya dilarang karena takut akan menyerupai
Ka’bah. Pelan-pelan, norma dan nilai masyarakat telah bergeser.
Masyarakat Mekah
benar-benar menikmati status barunya sebagai kota terbesar di Arabia. Hal itu
tak lepas dari modal agama dan ekonominya. Status inilah yang membuatnya tetap
mandiri dan merdeka dari kekuasaan Bizantium dan Persia saat kota-kota lain
seperti Sanaa’ di Yaman takluk.
Semakin cepat
perubahan situasi di Mekah mengatrol perubahan tingkah polah masyarakatnya.
Kemakmuran membuat mereka suka mabuk dan berjudi. Pesta-pesta di dekat Ka’bah
dengan mengundang seorang penyair sudah menjadi kebiasaan. Tapi yang paling
mengkhawatirkan, kota ini kehilangan ‘jiwa’-nya. Mekah ‘lupa’ pada nilai-nilai
‘muru’ah’ yang berabad-abad lamanya tertanam dalam jiwa masyarakatnya.
Mekah menjadi
kota tanpa ruh. Masyarakatnya tidak peduli kepada orang lain.
MA Salahi dalam Muhammad:
Man and Prophet (1995) menggambarkan Mekah waktu itu penuh dengan
kemaksiatan. Di saat menikmati kehidupan yang enak dan mudah, masyarakat Mekah
banyak menghabiskan waktu untuk mengejar kesenangan denga berbagai cara dan
dalam berbagai bentuk. Sementara itu, nilai-nilai moral terun pada titik
terendah. Jauh sebelum Muhammad lahir, penyimpangan dari agama Ibrahim dan
Ismail (hanif) sudah jelas terlihat.
Puncaknya adalah
semakin bergesernya monoteisme Ibrahim digantikan dengan pemujaan terhadap
berhala-berhala. Ada sekira 360 berhala yang diletakkan di sekitaran Ka’bah.
Yang utama adalah Hubal, al-Lat da al-Uzza.
Berhala menjelma
menjadi pusat kehidupan masyarakat Mekah. Orang yang hendak pergi berdagang ke
daerah asing akan memberikan uang dan onta untuk mendapatkan bantuan Hubal. Peradilan
pun ditentukan berdasar pada siapa pihak yang paling besar membayar persembahan
kepada Hubal. Hukum diputuskan berdasarkan siapa yang membayar paling besar.
Keadilan pun semakin jauh dari masyarakat Mekah.
Dalam masyarakat
yang hanya mementingkan materi, kaum perempuan diperlakukan tidak selayaknya
manusia. Karena perempuan dianggap tak bisa berperang dan mencari penghasilan,
mereka tidak berhak atas warisan. Bahkan mereka diperlakukan seperti benda
warisan. Kelahiran bayi perempuan disambut dengan kemurungan. Anak dan gadis
perempuan banyak yang dikubur hidup-hidup.
Kesenangan
duniawi adalah segala-galanya bagi orang Mekah waktu itu.
Nilai-nilai muru’ah
yang masih tetap dipegang teguh waktu itu hanya keberanian, teguh pendirian dan
bisa dipercaya. Nilai-nilai yang sayangnya gagal digunakan masyarakatnya untuk
keluar dari sistem sosial dan moral yang begitu rendah.
Menurut MA
Salahi, sebelum lahirnya Muhammad, sebenarnya ada banyak orang yang gelisah terhadap
keadaan Mekah yang semakin berubah. Kebanyakan tidak berani untuk bersikap
kritis. Tapi di antara mereka ada empat orang yang berani untuk menggunakan
akal sehatnya. Mereka adalah Waraqoh ibn Naufal, Abdullah ibn Jahsy, Utsman ibn
al-Huwairits dan Zaid ibn Amr.
Keempatnya
mempunyai beberapa kesamaan. Sama-sama berasal dari Mekah, tidak suka
penyembahan berhala, dan sama-sama tidak suka berpesta. Mereka pun sepakat
bahwa apa yang saat itu diyakini masyarakat Mekah telah melenceng jauh dari
ajaran Ibrahim. Peletak pertama ajaran moral --yang berdasar pada relasi
manusia-Tuhan-- di tanah Mekah.
Dengan segala
keterbatasannya, empat pendekar itu mencoba menggali nilai-nilai lama Mekah
(ajaran Ibrahim). Tapi nilai-nilai itu tak juga mereka temukan di kota tersebut.
Saat apa yang mereka cari tak kunjung didapati, akhirnya anak-anak muda ini
melakukan pencarian hingga jauh ke daerah-daerah di luar Mekah. Ironis memang,
mereka harus mencari akar budayanya di luar negeri.
Empat pemuda itu
mengembara dan berguru pada para cendikiawan di negeri-negeri asing. Mereka banyak
bertanya kepada para pendeta agama Yahudi dan Nasrani. Dua agama yang dipercaya
berasal dari ajaran Ibrahim.
Waraqoh
mempelajari Injil dan akhirnya menjadi cendikiawan Nasrani. Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana jadinya jika Waroqoh tidak berpengetahuan luas dan dia
tidak bisa menjelaskan kepada Muhammad saat dia bersama istrinya, Khadijah,
meminta penjelasan tentang wahyu di Gua Hira.
Abdullah bin
Jahsy belum sampai memutuskan menjadi seorang pemeluk Nasrani atau agama
lainnya, tapi dia sudah mengetahui banyak tentang agama Ibrahim. Ketika
Muhammad datang membawa kabar gembira, dia menerima Islam.
Utsman ibn
Huwairits akhirnya memeluk Nasrani dan menempati posisi penting dalam Kerajaan
Byzantium. Dia diberi julukan ‘Kardinal’.
Terakhir, Zaid
ibn Amr, lama melakukan perjalanan ke Irak dan Syiria dan mempelajari
ajaran-ajaran agama yang berasal dari Ibrahim. Dia menimbang-nimbang untuk
menjadi Yahudi atau Nasrani. Tapi sebagai orang Mekah, dia pun akhirnya memilih
untuk kembali ke Mekah dan dengan lantang meneriakkan agama Ibrahim. Zaid
berani menghujat penyembahan berhala sebagai hal yang keliru di depan umum.
Dia biasa berdoa
dan memohon petunjuk kepada Allah dengan mengatakan: “Seandainya aku tahu
cara ibadah yang diterima oleh-Mu, aku akan mengikutinya. Namun aku tidak tahu
itu.”
Dari keempat
pendekar Mekah, Zaid adalah yang paling nekat. Dia pun kerap menjadi
bulan-bulanan masyarakat Mekah bahkan sempat dilarang bepergian keluar negeri
untuk belajar. Kemanapun Zaid pergi, selalu ada agen khusus yang diutus
kerabatnya, al-Khattab (ayah sahabat Umar) untuk menguntit. Al-Khattab takut
Zaid memengaruhi orang lain dengan pemikirannya.
Tapi tak ada tembok
yang mampu menghalangi Zaid untuk mencari pengetahuan ke luar negeri. Zaid
dikabarkan terbunuh saat perjalanan pulang dari menuntut ilmu di Irak. Hanya
beberapa tahun saja sebelum Muhammad lahir. Anaknya Zaid, Said menjadi orang
yang masuk Islam pada saat Muhammad masih menyebarkannya secara diam-diam.
Kisah tentang
empat pemuda yang mencari kebenaran agama hanif ini telah banyak juga
disinggung dan dibahas oleh kelompok orang-orang yang tidak senang terhadap
Islam. Mereka menganggap bahwa cerita ini –dengan sedikit bumbu—akan
menempatkan Muhammad pada sifat manusianya, dibanding dia sebagai Nabi yang
penuh kesaktian dan mukjizat.
Saya sendiri
pernah membaca kisah panjang tentang Zaid ibn Amr sebagai ‘the real prophet’
yang lahir sebelum Muhammad. Menurut saya, kisah empat orang Mekah yang luar
biasa ini sama sekali tak mengubah posisi Muhammad sebagai Nabi. Membuka kisah
ini dengan berbagai bumbu negatifnya tidaklah baik. Tetapi, menyembunyikan
kisah ini dari panggung sejarah Mekah juga kurang bijak.
Alasan kenapa
kisah ini patut diangkat ke atas meja diskusi adalah untuk membuktikan bahwa
manusia selalu berdiri di atas puing-puing bangunan masa lalu. Bahwa hakikat
kemanusiaan itu adalah menyejarah. Tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari
masa lalu. Hanya orang gila saja yang tak peduli sejarah dan nilai-nilai serta
budaya masa lalu. Muhammad menunjukkan dirinya pantas menjadi seorang utusan
karena beliau tak pernah sedikitpun putus dari akar sejarahnya.
Bukankah,
kegigihan Muhammad menyebarkan Islam tak lain adalah upaya besar beliau untuk
mengembalikan nilai-nilai luhur ajaran Ibrahim, agama hanif, dan
nilai-nilai muru’ah yang berabad-abad lamanya dipegang teguh orang-orang
Mekah? Kisah ini satu bukti bahwa ajaran yang benar selalu bersandar pada akar
dan pondasi masyarakat tempat ajaran itu disebarkan.[]
Ilustrasi: wikimedia.com
Comments
Post a Comment