Skip to main content

Dewi Sri Minggat


Entahlah kodrat atau bukan, manusia sejak zaman kuno merasa bahwa kehidupannya selalu dihantui dengan kecemasan, ketidakpastian, dan tentu saja kematian. Inilah yang menjadi pijakan para penelaah peradaban kuno untuk membaca kemunculan tuhan dan hal gaib lainnya dalam kehidupan manusia. Dalam pembacaan para peneliti itu, manusia kuno percaya bahwa di luar sana ada sesuatu yang mengatasi semua kelemahan. Ada realitas yang mengatasi semua keterbatasan manusiawi. Itulah para dewa, tuhan, sesuatu yang adikodrati. Mereka juga percaya bahwa manusia juga bisa menjadi seperti seperti dewa dengan melakukan metode hidup yang benar.

Mereka percaya dengan terlibat dalam kehidupan yang suci, dengan meniru cara-cara dewa, manusia biasa bisa menjadi manusia sejati. Dewa selalu diidentikkan bersemayam di langit, tapi untuk mewujudkan kekuatan mereka di dunia, manusia mereplikasi para dewa ke dalam alam nyata dalam bentuk kuil, festival, perayaan dan ritual harian. Dengan begitu, dunia manusia adalah replika dunia para dewa, dan ke arah itulah manusia menuju, ke ideal-ideal yang ada dalam alam kedewataan. Persepsi inilah yang membentuk mitologi dalam peradaban-peradaban kuno.

Di Iran kuno kita mengenal ada istilah dunia jasadi (getik) yang merupakan dunia arketipal yang suci (menok). Orang-orang Babylonia membangun kuil-kuil yang indah sebagai replikasi Yang Suci. Keikutsertaan rakyat dalam ritual dan ketaatan pada pempimpin menjadi syarat agar ketentraman terwujud dan keseimbangan relasi manusia-dewa tetap terjaga. Di Hindu dikenal dunia dewa dan dunia manusia. Tidak ada perbedaan antara alam dewa dan manusia. Kedunya berhubungan erat bahkan seringkali dewa muncul dalam bentuk avatar (epifani). 

Di dalam ajaran tasawuf Islam dikenal alam amtsal dan alam malakut. Keduanya juga berhubungan erat. Di Indonesia yang banyak terpengaruh mitologi India dikenal istilah dunia kahyangan dan dunia manusia. Semuanya itu sering dirumuskan secara sederhana oleh para penelaah dengan istilah mikrokosmos untuk menyebut dunia manusia dan makrokosmos untuk menyebut dunia yang lebih tinggi dari dunia manusia.  

Kapan tepatnya kepercayaan ini mulai muncul. Tak ada yang tahu pasti tapi kita bisa menyebutkan bahwa kepercayaan kuno ini muncul berbarengan dengan berakhirnya periode berburu. Pada saat manusia mulai mengembangkan pertanian, manusia menciptakan ideologi yang sama sekali baru: dewa-dewa. Rudolf Otto dalam The Idea of the Holy (1917) percaya bahwa rasa tentang yang gaib adalah dasar dari agama. 

Pada periode Paleolitik [Zaman Batu Tua (50.000 SM)], ketika pertanian mulai berkembang, kultus pertama yang muncul adalah tentang Dewi Ibu. Sosok ini muncul sebagai ungkapan perasaan tentang kesuburan. Di Eropa, Timur Tengah dan India, arkeolog menemukan penggambaran Dewi Bumi berupa pahatan patung seorang perempuan hamil telanjang.
Dewi Ibu ini ada di hampir semua peradaban, di antaranya dia disebut Inana di Sumeria Kuno, Isytar di Balilonia, Anat di Kanaan, Isis di Mesir, dan Aphrodite di Yunani. 

Sebuah kuil kecil persembahan untuk Dewi Sri dibangun di tengah sawah, Karangtengah, Jawa Tengah. Koleksi Tropen Museum.

Di Nusantara, kita masih menemukan jejak Dewi Ibu dari sosok Dewi Sri, yang disebut juga sebagai dewi kesuburan. Mungkin ada pengaruh mitologi India dalam kepercayaan ini tapi yang pasti Dewi Sri sudah dimuliakan sejak zaman kerajaan kuno di Jawa.

Dalam Wawacan Sulanjana, diceritakan bahwa Dewi Sri atau Sri Pohaci berparas cantik. Kecantikan bahkan mengalahkan semua bidadari dan para dewi kahyangan. Begitu cantiknya, hingga Batara Guru yang tak lain adalah ayah angkatnya, diam-diam berniat mempersuntingnya. Hal itulah yang membuat para dewa ketakutan. 

Mereka cemas jika Batara Guru benar-benar menikahi putri angkatnya sendiri, keselarasan kahyangan akan hancur. Maka para dewa pun mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Sudah diputuskan, mereka harus membunuh Sri Pohaci.

Para dewa meracuni Sri Pohaci dan akhirnya dia pun meninggal. Tapi setelahnya para dewa baru sadar, mereka melakukan kesalahan besar. Adalah sebuah dosa besar membunuh gadis tak berdosa. Begitu paniknya, para dewa sepakat untuk menguburkan jenazah Sri Pohaci di tempat yang jauh dan tersembunyi. Di mana lagi kalau bukan di bumi. Anehnya, dari kuburan Sri Pohaci itu tumbuhlah aneka tanaman seperti kelapa, rampah-rempah, dan umbi-umbian. Dari pusarnya, tumbuh tanaman padi yang menjadi makanan pokok orang-orang di Jawa.

Mungkin kita akan mengatakan cerita tentang Dewi Sri ini adalah mitos yang tidak berguna apa-apa bagi kehidupan modern. Tapi mitos ini memberitahukan kepada kita bahwa ada hubungan antara dunia manusia dan dunia yang lebih tinggi, yang tak terjangkau akal manusia. Padi yang kita makan juga bukan berasal dari manusia tapi adalah anugerah dari Yang Lebih Tinggi. Karena anugerah maka menjadi seperti kewajiban untuk menjaganya. 

Di Jawa, orang-orang menggelar ritual Mapag Sri dan Sedekah Bumi yang secara simbolik merupakan upaya manusia untuk menjaga keselarasan dengan Yang Tinggi. Di Sunda Wiwitan dikenal ritual Seren Taun. Kearifan budaya tersebut menjaga manusia agar tetap bersahaja terhadap alam dan tidak rakus.

Tapi sejak peradaban modern pelan-pelan merembes ke alam pikiran manusia Indonesia, kearifan tersebut pelan-pelan musnah. Bertani tak lebih dari upaya untuk bertahan hidup dan kalau bisa dari pertanian orang-orang yang punya kuasa bisa memperkaya diri. Surplus agrikultural dinikmati segelintir orang dan ketamakan semakin merajalela. Semua berawal dari pemberangusan institusi-institusi budaya yang merawat hubungan antara manusia dengan Yang Lebih Tinggi. Mitos sebagai media simbolik untuk menjelaskan hubungan kedunya dikata-katai sebagai ‘sebuah kibulan’ yang tak masuk akal.

Pelan tapi pasti, hubungan keduanya diceraikan oleh pradigma modern dengan menciptakan jurang tajam antara yang sakral dan yang profan. Dalam konsepsi Barat-kolonial, antara yang sakral dan profan tidak ada hubungan sama sekali. Kedunya tak boleh dicampur aduk dalam satu wadah. Kalau tercampur, pasti dunia akan kacau, seperti bayangan mereka tentang Perang Eropa. 

Tapi bukankah Nusantara berbeda dengan Eropa? Apa boleh buat, penjajahan mengenalkan ideologi ketakutan ala Barat itu pada kita. Kini kita mulai memercayai benar kata mereka bahwa nasib manusia berada di tangan manusia sendiri, lepas dari campur tangan Yang Gaib. Diam-diam ada sepercik harapan yang begitu naif berkembang di alam bawah sadar kita: di alam kemerdekaan, manusia (tanpa bantuan dewa) bisa melakukan apa saja.

Ritual Mapag Sri dan Seren Taun masih lestari hingga sekarang, tapi nilai-nilai telah punah lebih dulu. Ritual-ritual tersebut kosong tanpa makna dan menjadi sekadar tontonan yang menjemukan. Lakon-lakon wayang yang mendedahkan mitos-mitos pun tak pernah menjadi penghayatan mendalam, bahkan seringkali diludahi sebagai sampah dan penyebab bid’ah. Modernitas, baik yang muncul dalam alam birokrasi maupun agama impor berhasil menekan kearifan-kearifan lokal. Sekalipun masih ada ritual-ritual di pelosok desa, itu hanya kulit tanpa daging. Penghayatan manusianya sudah tak ada. Habis semuanya.

Kalau sudah begini, ke mana Dewi Sri yang dari dulu bersemayam di dalam tanah kita? Jawabannya bisa ditemukan dalam sebuah lagu campursari yang terkenal. Didi Kempot mengatakan: (Dewi) Sri Minggat. []

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: