Cerita mengenai putusnya rambut Syekh Magelung oleh Sunan Gunung Jati bisa diinterpretasikan untuk tujuan mengetahui watak Islam yang dikembangkan di Cirebon pada masa itu.
Salah satu sumber lokal dari Desa Karangkendal mengatakan bahwa Syekh Magelung datang ke tanah Jawa tidak dengan tangan hampa, melainkan membawa dua perahu besar.
Perahu pertama bermuatan bahan makanan dan perbekalan selama perjalanan dari Suriah ke Jawa. Perahu kedua berisi kitab-kitab ajaran Islam yang hendak ia pakai selepas berlabuh di pulau Jawa. Informasi ini tidak terdapat dalam naskah maupun buku-buku yang menjadi rujukan utama sejarah Cirebon.
Sesampainya di pesisir Cirebon, Syekh Magelung yang hendak menyebarkan Islam dengan kitab-kitab agamanya itu diberikan saran yang mendalam dari seorang yang mendiami daerah tersebut. Orang tersebut mengatakan bahwa orang Jawa tidak memerlukan banyak kitab karena yang dibutuhkan orang Jawa adalah dua kalimat syahadat.
Ahmad Hamam Rochani membeberkan keberatan orang Cirebon terhadap Syekh Magelung tersebut dalam bukunya yang bersumber dari naskah Kuningan. Adapun menurut Rochani, orang yang menyarankan Syekh Magelung tersebut tak lain adalah orang pertama yang dia jumpai di daerah muara Kali Kedung Pane – sekarang masuk daerah Pasindangan— Syekh Bentong.
Sedangkan sumber lokal Karangendal mengatakan orang yang menyampaikan saran tersebut adalah Pangeran Cakrabuana. Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah Sunan Gunung Jati, yang sekaligus memotong rambutnya yang panjang.
Saya sendiri melihat, kisah rambut Magelung yang terpotong hanya sebatas simbol dari peristiwa ‘ditolaknya’ niatan Syekh Magelung untuk menyebarkan agama Islam yang bersumber dari kitab-kitab.
Rambut yang panjang itu tak lain merupakan simbol dari ilmu agama yang sangat berlimpah yang ditulis banyak ‘alim dan digunakan di Suriah. Tapi, kitab tersebut memuat hanya pengetahuan dan pengetahuan itu merupakan konstruksi peradaban yang berbeda dengan peradaban di Jawa.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa penduduk asli Cirebon sudah mempunyai peradaban yang mandiri sebelum Syekh Magelung datang. Dengan melihat karakter keagamannya, agama Islam datang saat para penduduk asli memeluk agama Kesahyangan atau menurut Agus Sunyoto agama Kapitayan.
Agama ini memiliki inti ajaran dengan kecenderungan esoteris oleh karenanya amat lentur untuk menerima keyakinan dari luar, termasuk Islam. Hanya saja, Islam yang akan mudah masuk ke sanubari masyarakat adalah Islam yang juga sama esoterisnya: mistisisme Islam. Dalam hal ini, Islam yang bisa terjiwai dalam diri orang-orang Cirebon.
Dengan begitu, agama apapun bagi orang Cirebon yang penting adalah bukan sesuatu yang berada di luar manusia, tetapi sesuatu yang berasal dari dalam diri menusia itu sendiri. Sehingga tidak diperlukan otoritas dalam beragama. Tidak perlu kitab-kitab dan pengetahuan yang njelimet.
Beragama dengan model ini mengedepankan aktualisasi diri sebagai subjek peradaban dibandingkan tunduk pada aturan kaku yang membelenggu subjek.
Beragama bukan merupakan upaya memberhalakan sosok melainkan upaya mengenali diri. Saat sudah bisa mengenali diri, agama akan membawa manusia mengenali Tuhannya. Mungkin ini yang menyebabkan kenapa ajaran wahdatul wujud menjadi primadona di Cirebon karena kesadaran beragama orang Cirebon lebih dekat kepada jargon dalam Islam: man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu.
Berislam bukanlah tentang aturan-turan dari luar diri yang mendisiplinkan tubuh dan jiwa dengan sangat kaku. Tapi ia datang dari dalam, dibangkitkan dan akhirnya manusia bisa mengendalikan diri dari setiap hasrat yang mempunyai daya merusak amat besar.
Sisi Islam yang demikian akomodatif terhadap kearifan lokal diserap, sisanya yang begitu kaku dan memaksa ditolak dengan halus.
Mengenai Islam yang begitu akomodatif terhadap nilai-nilai lokal juga diungkapkan oleh Dr. Ayus Mahrus EL-Mawa dalam disertasinya tentang naskah Sattariyah wa Muhammadiyah.
Menurutnya, simbolisasi iwak telu sirah sanunggal dalam ajaran tarekat Sattariyah di Cirebon merupakan salah satu bentuk pergumulan yang sangat intim antara Islam dan kearifan lokal Cirebon.
Pada akhirnya, Islam Cirebon menjadi peradaban sendiri yang berbeda dengan Islam di daerah lainnya. Islam ini menjadi Islam yang toleran dan terbuka terhadap segala jenis perbedaan agama. Maka wajar bila tak ada masalah saat banyak para pedagang dari luar negeri datang ke Cirebon, meskipun berbeda agama.
Sunan Gunung Jati pun menikahi seorang putri dari Tiongkok dan pada akhirnya paham kebinekaan itu muncul dalam kebijakan, petatah-petitih dan arsitektur keraton Cirebon yang memadukan banyak unsur dari berbagai bangsa.
Cirebon pun tumbuh menjadi kota terbuka bagi siapa saja. Nilai ini menjadi spirit luar biasa yang semakin mengokohkan paham kebangsaan Nusantara yang mengatasi segala agama-agama. Wallahu a'lamu.***
Comments
Post a Comment